Batimung Mandi Uap ala Masyarakat Banjar
SinPo.id - Indonesia dikenal memiliki banyak khazanah keanekaragaman budaya. Berbagai macam kekayaan budaya mempunyai nilai luhur kearifan lokal. Khazanah budaya ini mengungkapkan kemampuan nenek moyang dalam meletakkan dasar-dasar kearifan dan karakterisasi keunggulan mereka.
Batimung adalah salah satu “harta karun” keanekaragaman budaya Indonesia. Mandi uap atau sauna tradisional untuk perawatan diri ini pada awalnya digunakan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh wisa atau racun hewan, seperti ular dan kalajengking, ataupun wisa alam yang disebabkan oleh kekuatan gaib.
Kearifan lokal tradisi batimung memberi gambaran atas eratnya hubungan antara manusia dan alam, sauna tradisional, dan religiusitas masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan.
Peneliti Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Budi Agung Sudarmanto bersama peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan mengkaji nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalam tradisi Batimung.
Pemilihan lokasi riset ditentukan secara sengaja, dengan pertimbangan bahwa secara sosiokultural, sebagian besar dihuni oleh masyarakat Banjar yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai budaya. Selain itu, lokasi penelitian ini mewakili subetnis Banjar Kuala, yang secara historis bersinggungan dengan pusat Kesultanan Keraton Banjar. Keraton ini pernah berdiri di Kuin (kota Banjarmasin) dan Martapura (kabupaten Banjar).
Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, Budi dan tim mengkaji metode, proses, praktik, dan media yang digunakan pada tradisi batimung. Hal ini untuk melihat peran para aktor batimung yang ada pada masyarakat Banjar.
Subjek penelitian ini adalah mereka yang masih menjalankan tradisi batimung, tokoh-tokoh pelestari tradisi dan budaya Banjar, penjual rempah-rempah/bahan timungan, masyarakat yang menggunakan jasa timung, dan informan penting lainnya yang mengetahui dan memiliki kemampuan memberikan informasi mengenai aspek-aspek yang diperlukan.
Riset yang telah dipublikasikan dalam ISVS e-journal, Vol. 11, Issue 01 tahun 2024 ini mengkaji metode, proses, dan media yang digunakan dalam praktik batimung. Serta, mengungkap kearifan lokal yang terkandung di dalamnya yang berkaitan dengan alam, sauna tradisional, dan religiusitas.
Secara umum, batimung digunakan sebagai pengobatan tubuh dan sarana untuk menjaga kesehatan (disebut batimung kesehatan) dan menyembuhkan penyakit (disebut batimung garing).
Arti garing atau gagaringan dalam bahasa Indonesia adalah sakit. Sakit bagi masyarakat Banjar dikategorikan sebagai sakit magis dan medis (termasuk psikologis).
Sakit nonmedis disebabkan oleh gangguan pikiran yang dipengaruhi oleh supranatural. Batimung garing dimaksudkan untuk menyembuhkan penyakit tertentu dengan metode pengobatan timung.
Dalam praktiknya, rempah-rempah yang digunakan untuk pengobatan adalah tanaman tambahan yang mempunyai khasiat obat. Bacaan atau mantra tertentu disertakan dalam perawatan untuk mempercepat penyembuhan pasien. Perawatan ini menggunakan air disertai ramuan yang bahan-bahannya berasal dari tanaman obat lokal Kalimantan Selatan.
Batimung memanfaatkan bahan-bahan seperti rempah-rempah, daun-daunan, ranting, dan batang tumbuhan yang ada di sekitar masyarakat Banjar. Bahan-bahan ini dicampur dan direbus sampai suhu tertentu, lalu dijadikan semacam mandi uap (sauna).
Orang yang akan melaksanakan timung ditempatkan pada posisi tertentu, ditutupi dengan purun (Lepironia articulata) tikar dan perlengkapan lainnya. Durasi yang digunakan sekitar satu jam atau diperkirakan suhu air tidak terlalu panas lagi.
Sebagai alat kesehatan, batimung digunakan seperti halnya pada sauna atau spa. Batimung berfungsi sebagai relaksasi, membuat badan berkeringat, dan memperlancar peredaran darah.
Selain untuk kesehatan, batimung juga digunakan dalam prosesi persiapan dan ritual pernikahan, yang merupakan salah satu siklus kehidupan manusia. Artinya, batimung juga termasuk salah satu penanda siklus hidup masyarakat Banjar.
Sebelum resepsi pernikahan, dilakukan prosesi batimung bagi calon pengantin. Biasanya, satu minggu atau setidaknya tiga hari sebelum pernikahan, pihak calon pengantin secara adat diharuskan melakukan batimung.
Banyak nilai filosofis yang bisa dirasakan dalam batimung pangenten ini. Tujuannya, agar pada saat resepsi pernikahan, calon pengantin wangi, tidak bau badan, badan terlihat lebih bugar dan segar. Sehingga, tidak ada kendala dalam menjalankan seluruh rangkaian panjang prosesi pernikahan.
Prosesi batimung dimulai dengan menyiapkan air dalam wadah berupa periuk atau kuantan yang berisi air dengan bahan timungan berupa daun serai wangi, lengkuas, pandan, dilam (nilam), pudak setagal, irisan temugiring, purut daun atau buah jeruk, aneka bunga seperti melati, akar bunga kenanga (cananga orodata), mawar, cempaka (magnolia campaka), tuak-tuak, krim kulit kayu susu, dan lain-lain. Setelah itu, semua bahan direbus bersama dan sesekali diaduk.
Setelah mendidih, panci diangkat dan diletakkan di bawah dudukan. Orang yang akan ditimung diminta untuk duduk di kursi kecil setinggi sekitar 20 sentimeter, hanya mengenakan sarung tanpa celana dalam.
Seluruh tubuhnya, kecuali kepala, diselimuti tikar purun berbentuk kerucut. Lapisan luarnya ditambah kain tebal agar kelembapannya tidak keluar. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan seluruh tubuh terkena uap yang dapat mencapai pori-pori tubuhnya.
Sesekali, air yang dimasak diaduk dengan alat yang telah disediakan hingga uapnya naik. Ini dimaksudkan untuk mengeluarkan keringat sehat. Masuknya uap beraroma harum ke dalam pori-pori tubuh membuat tubuh menjadi harum.
Jika air dalam panci mulai dingin atau tidak beruap, maka, alas dan selimut kainnya dipindahkan. Panci dipanaskan kembali hingga air mendidih, lalu diangkat dan digunakan untuk memanaskan kembali.
Jika batimung dirasa cukup, badan dilap dengan handuk dan dibersihkan dengan air bersih. Tubuh tidak hanya wangi tetapi juga terlihat lebih bersih. Kotoran yang menempel di badan pun ikut terlepas.
Batimung pada pengantin wanita untuk menyambut hari pernikahan biasanya dilakukan sebanyak tiga kali atau bahkan lebih untuk mengeluarkan keringat tubuh.
Dalam berbagai tradisi, termasuk batimung, terdapat dua aspek kebudayaan yaitu berwujud dan tidak berwujud yang harus diperhatikan. Aspek tak berwujud berkaitan dengan konsep, simbol, makna, fungsi, dan isi pesan yang terkandung di dalamnya.
Kearifan lokal masyarakat Banjar terkait batimung adalah kemampuan memanfaatkan kekayaan alam di sekitar mereka. Masyarakat Banjar menyadari bahwa alam menyediakan apa yang mereka butuhkan. Hal ini terlihat dari bahan yang digunakan dalam batimung.
Selain itu, masyarakat Banjar yang berdiam di Kalimantan Selatan menjadikan Islam sebagai identitasnya. Masyarakat Banjar adalah masyarakat etno religius yang menempatkan agama (dalam hal ini Islam) dan suku sebagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Islam menjadi urat nadi masyarakat Banjar. Budaya Banjar dan “aroma” Islam sangat kental dalam keseharian mereka. Islam begitu kokoh tertanam dan berakar pada kehidupan masyarakat Banjar.
Pembentukan identitas dan budaya Islam didukung oleh kecerdasan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Banjar. Kecerdasan lokal ini terlihat di berbagai bentuk budaya Banjar. Dengan identitas budaya ke-Islaman yang melekat di dalamnya, batimung mendasarkan perlakuannya pada sendi ke-Islaman.
Di dalam batimung, terdapat bacaan atau doa yang dipanjatkan. Doa-doa ini diturunkan dari ajaran Islam sebagai identitas kuat masyarakat Banjar.
Pembacaan yang biasa dilakukan adalah empat surat dalam Al-Qur’an, yaitu Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas. Masing-masing dibaca tiga kali dan baru dilanjutkan dengan doa. Mereka juga dapat menambahkan beberapa ayat dari Surat Yusuf.
Kearifan lokal lainnya terkait dengan religiusitas pada tradisi batimung adalah tentang arah. Dalam batimung mayat atau matahari, pasien dibaringkan telentang dengan kedua kaki menghadap Ka'bah.
Ka'bah merupakan arah salat umat Islam. Pasien akan berserah diri kepada Yang Maha Kuasa, seperti halnya makhluk yang berserah diri saat berdoa