Adang Sudrajat: Sistem JKN Jadikan Dokter pada FKTP Ibarat Sapi Perahan Saja
Jakarta, sinpo.id - Adang Sudrajat yang merupakan Anggota Komisi IX DPR RI mengatakan, bahwa sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadikan Dokter pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sebagai sapi perahan saja. Imbalan yang didapat tenaga kesehatan berdasar perhitungan tiap pasiennya senilai dengan Rp 2000 dan ini hanya setara dengan 10 persen dari tarif tukang pangkas rambut paling rendah.
Legislator Daerah Pemilihan (dapil) Kabupaten Bandung dan Bandung Barat ini mengkritisi anggaran yang berat sebelah pada sisi pelayanan kesehatan, dimana pada kenyataannya terealisasi berupa pengadaan alat canggih dan kedaruratan medik dimana fasilitas tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang. Keadaan ini merupakan fakta lapangan bahwa Kementerian Kesehatan telah melalaikan perbaikan “Cold Chain” (rantai dingin) pada distribusi vaksin ke seluruh negeri.
“Seorang Dokter di FKTP, untuk mendapatkan penghasilan setara dengan income per kapita negara kita sebesar 4 Juta Rupiah, perlu memeriksa pasien sejumlah 2.000 orang sebulan atau 70 orang perhari nya,” ucap Adang kepada sinpo.id melalui keterangan tertulisnya, Ahad (1/4/2018).
Politisi PKS ini menambahkan, bahwa kondisi sistem insentif tenaga kesehatan pada FKTP ini tentu saja merugikan kedua belah pihak, baik pasien maupun Dokternya. Pasien tidak mungkin mendapatkan pelayanan yang berkualitas, sementara Dokter tidak akan mendapatkan tingkat kesejahteraan sesuai dengan tingkat sosial di masyarakatnya.
Dokter yang juga legislator Komisi IX ini menerangkan, bahwa dalam jangka panjang, bila sistem JKN ini tetap dipertahankan, akan menjadikan Dokter di FKTP menjadi Dokter yang termarginalkan dari perkembangan teknologi dan keilmuan kedokteran. Karena penghasilan yang ada menjadikan dia tidak akan mampu mengakses seminar kedokteran untuk mengupdate pengetahuannya atau mengakses kursus singkat untuk mengupdate keterampilannya. Namun pada kenyataannya, dalam kondisi imbalan yang minimal tersebut, Dokter di FKTP masih diharapkan untuk melakukan preventif dan promotif individual, yang ini lebih tidak mungkin lagi.
“BPJS perlu menata ulang sistem kerjasama antara BPJS dengan FKTP. Bukan kerjasama antara BPJS dengan FKTP sebagai lembaga, tapi menjadi kerjasama antara BPJS dengan Dokternya sebagai individu. Sedangkan peranan klinik bisa menjadi penyedia obat-obatan atau malah untuk penyediaan obat, BPJS bisa bekerjasama dengan apotek yang terdekat dengan Dokter FKTP tersebut,” paparnya.
Dengan solusi yang diusulkan Adang, nantinya sistem kesehatan kita akan memiliki kondisi dan konsekuensi sebagai berikut: Pertama, Dokter akan mendapatkan imbalan yang layak sesuai dengan tanggung jawabnya. Kedua, kewajiban untuk melakukan preventif dan promotif individual akan terjadi karena Dokter tersebut merasa itu menjadi tanggung jawabnya.
“Ketiga, Dokter FKTP akan memperoleh peluang untuk mengakses pengetahuan dan teknologi terbaru yang di butuhkan termasuk pengetahuan yang berhubungan dengan perannya sebagai Dokter. Keempat, Dokter FKTP dapat terlibat dalam program penurunan angka kematian ibu dan bayi yang posisi Indonesia masih menempati posisi yang memalukan diantara negara asian sekalipun,” imbuhnya.
Terakhir, keterlibatan Kepala Daerah dalam pengelolaan dana kapitasi menjadi tereliminir dan peran Dokter puskesmas yang menjadi komandan dalam gerakan preventif dan promotif berbasis komunitas juga dikembalikan pada peran seharusnya.
“Saya berharap, Puskesmas nanti tidak lagi terlibat dan tersibukkan dengan upaya kuratif seperti yang terjadi selama ini. Jadi kesalahkaprahan yang menjadikan puskesmas sebagai pusat kuratif dan rehabilitatif bisa diakhiri dan peran nya dikembalikan kepada peran pusat preventif dan promotif kesehatan komunitas,” tutupnya.

