DEEP Indonesia Anggap Sindiran Hasyim Asy'ari ke KPU Jabar Inkonsistensi

Laporan: Tio Pirnando
Senin, 18 Maret 2024 | 14:17 WIB
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati. (SinPo.id/Dok. Pribadi)
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati. (SinPo.id/Dok. Pribadi)

SinPo.id - Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati menganggap, sindiran Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari terhadap KPU Provinsi Jawa Barat, yang tak menghadiri rekapitulasi nasional, merupakan sebuah inkonsistensi dan lepas tanggung jawab. Menurutnya, persoalan pemilu di Jawa Barat, cukup kompleks.

"Pernyataan Ketua KPU RI yang menyalahkan KPU Provinsi Jawa Barat karena terlambat proses rekapitulasi di tingkat provinsi, menjadi inkonsisten, dan penuh anomali dengan surat keputusan KPU yang telah diterbitkan dan dijadikan acuan oleh KPU sesuai dengan tingkatannya," kata Neni saat dikonfirmasi SinPo.id pada Senin, 18 Maret 2024. 

Surat keputusan yang dimaksud Neni ialah surat KPU RI Nomor 454/PL.01.8-SD/05/2024 tentang Pelaksanaan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu 2024, yang menyatakan bahwa jadwal rekapitulasi dan penetapan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di tingkat provinsi dilaksanakan pada tanggal 19 Februari 2024-10 Maret 2024.

Namun, dalam point tiga dinyatakan, dengan memperhatikan situasi dan kondisi pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan suara di berbagai tingkatan dalam hal tidak dapat terlaksana karena rentang waktu ditentukan terjadi force majeur maka dilakukan penyesuaian

Menurut Neni, seharusnya KPU RI  juga melakukan monitoring agar diketahui bagaimana kondisi di lapangan yang terjadi.

"Ketika melempar permasalahan ke penyelenggara pemilu tingkat bawah, justru malah terlihat KPU RI lepas tanggung jawab," tegasnya.

Neni menjelaskan, hasil pemantauan DEEP Indonesia menunjukkan banyak problematika di Jawa Barat. Baik permasalahan teknis rekapitulasi dan penghitungan suara, kualitas data pemilih, profesionalitas penyelenggara pemilu, problem sirekap serta kejadian khusus saat rekapitulasi.

Problem tersebut, lanjut dia, dipicu karena banyaknya TPS yang dilakukan pemungutan suara ulang (PSU), tidak sinkronnya Data C Hasil, C Salinan dan Sirekap yang terjadi di seluruh daerah. Termasuk, dugaan penggelembungan suara dari PPP ke PSI, seperti yang terjadi di Kabupaten Tasikmalaya, pergeseran suara caleg di Kabupaten Majalengka.

Selain itu, juga ada permasalahan diberhentikannya 5 anggota PPK Karawang lantaran terbukti melakukan penggeseran suara baik dari partai ke partai, partai ke caleg, caleg ke caleg dan pemindahan surat suara tidak sah ke suara caleg, jumlah TPS yang gemuk seperti di Tambun Selatan sejumlah 1222 TPS serta dinamika rekapitulasi di tingkat PPK karena ketidakpuasan saksi. 

Dan, kondisi ini diperparah dengan Bawaslu yang tidak memiliki data kuat secara berjenjang. Sehingga proses pengawasan dan penanganan pelanggaran yang kurang maksimal di lapangan dan potensi pelanggaran tidak dapat terhindarkan

DEEP Indonesia juga menemukan permasalahan pada sirekap yang membuat rekapitulasi berjenjang berlangsung lama. Saat melakukan pemantauan di KPU Provinsi Jawa Barat, DEEP menemukan berkali-kali Sirekap mengalami server down sehingga harus menunggu beberapa saat.

"Sirekap ini yang tadinya hanya sebagai alat bantu malah menjadi alat kerja utama. Tidak menyelesaikan permasalahan tetapi justru yang terjadi adalah membuat permasalahan baru dan menjadi ruang gelap dalam pemilu. Di tingkat pusat kebijakan sirekap yang buka tutup justru semakin jauh dari asas transparansi dan akuntabilitas," tutur Neni.

Ke depan, Neni mendorong masalah rumit yang terjadi terutama berkaitan teknis dan tata kelola manajemen pemilu, harus dilakukan evaluasi secara komperhensif.

"Agar ada perbaikan dan kejadian serupa tidak kembali terulang," ucap Neni.

DEEP Indonesia juga sempat mendorong KPU untuk bisa melaksanakan rekapitulasi sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Karena keterlambatan rekapitulasi di tingkat provinsi akan berimplikasi pada terlambatnya rekapitulasi di tingkat nasional.

Sebelumnya, Hasyim menyindir KPU Jawa Barat, karena tak kunjung menghadiri rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara Pemilu 2024 di tingkat nasional hingga Sabtu, 16 Maret 2024. 

Padahal, KPU Jabar berada di Pulau Jawa dan bukan di klaster Papua. Sementara, semua provinsi di Pulau Jawa lainnya telah selesai melakukan rekapitulasi di tingkat nasional.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI