Kemendikbud: Tidak Ada Alokasi Gaji Pokok dan Tunjangan Untuk Dosen PTS

Laporan: Tim Redaksi
Kamis, 29 Februari 2024 | 02:16 WIB
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi

SinPo.id -  Pemerintah memberikan keterangan dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXI/2023 mengenai pengujian materi Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nizam mewakili Pemerintah dalam memberikan keterangan pada persidangan Rabu ini (28/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

Nizam menegaskan, para Pemohon telah keliru dalam memaknai pengalokasian dana badan penyelenggara perguruan tinggi swasta (PTS) yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) digunakan untuk memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada dosen. Selain keliru memaknainya, para Pemohon yang meminta alokasi anggaran dari APBN atau APBD sebagai hal yang tidak berdasar.

“Artinya, tidak ada alokasi anggaran untuk gaji pokok serta tunjangan kepada dosen PTS sebagaimana hal ini telah diatur dalam ketentuan Pasal 89 ayat (1) UU Dikti,” ujar Nizam di hadapan para hakim konstitusi.

Dia juga menegaskan, tidak ada campur tangan pemerintah terhadap pengangkatan, penempatan, bahkan pemberhentian dosen pada PTS. Karena itu, tidak terdapat hubungan kedinasan antara dosen PTS dan pemerintah sehingga tanggung jawab dalam pemberian gaji pokok dan tunjangan tidak dapat dialihkan kepada pemerintah.

“Maka, penyelenggaran pendidikan oleh PTS termasuk di dalamnya terdapat komponen dosen bukan merupakan pelimpahan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang pendidikan,” kata Nizam.

Dia pun mengungkap bentuk-bentuk pendanaan perguruan tinggi yang berasal dari APBN untuk PTS. Pertama, pembayaran tunjangan sertifikasi dosen dan tunjangan kehormatan profesor. Kedua, bantuan pendanaan penelitian. Ketiga, bantuan pendanaan pengabdian kepada masyarakat. Keempat, pendanaan pengembangan kapasitas dosen dan tenaga pendidikan melalui berbagai skema seperti beasiswa studi lanjut, pelatihan, kepesertaan pertemuan ilmiah, seminar, konferensi, dan sebagainya, serta berbagai skema pendanaan bagi PTS seperti hibah institusi perguruan tinggi, hibah program studi, pendanaan pengembangan jurnal ilmiah, dan sebagainya.

Nizam mengatakan, sejumlah Putusan MK mengenai anggaran pendidikan telah menjadi acuan dalam alokasi anggaran pendidikan. Setelah putusan-putusan tersebut, dia mengeklaim, pemerintah dan DPR telah secara konsisten memedomani putusan MK dimaksud dalam hal alokasi anggaran pendidikan, cara penghitungan, dan komponen dari anggaran pendidikan.

Selain itu, Nizam menjelaskan, secara historis dan faktual, masyarakat telah menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat baik formal maupun nonformal yang dikenal dengan satuan pendidikan swasta atau PTS. Hal ini merupakan bentuk pluralisme dalam penyelenggarakan pendidikan di Indonesia sehingga bukan merupakan dualisme yang saling menegasikan serta bentuk nyata peran serta yang diletakkan dalam kerangka tanggung jawab bersama.

Dengan demikian, sifatnya pun sejajar sehingga kedudukan dosen pada PTS bukan merupakan bentuk pemerintah memberikan wewenang mendelegasikan kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa kepada dosen. Konsep tanggung jawab bersama sebagaimana dianut UU Sisdiknas telah dimaknai MK dalam Putusan 10/PUU-XIII/2015.

Kemudian, Nizam mengatakan, prinsip tanggung jawab bersama dalam hal pendanaan UU Sisdiknas tidak membiarkan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat untuk mengusahakan pendanaan sendiri sepenuhnya. Dalam hal ini ketentuan Pasal 55 UU Sisdiknas mengatur kerangka dasar penyelenggaraan pendidikan oleh masyarakat sebagai hak, tetapi dalam aspek pendanaan sumbernya tidak hanya dari masyarakat sendiri, melainkan dapat berasal dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Sebagai informasi, Perkara Nomor 135/PUU-XXI/2023 ini menguji Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.  Permohonan diajukan oleh Teguh Satya Bhakti selaku dosen Fakultas Hukum Universitas Krisna Dwipayana, Kota Bekasi, Jawa Barat dan Fachri Bachmid seorang dosen Universitas Muslim Indonesia Makassar.

Pemohon menyebutkan pada dasarnya kewajiban negara (pemerintah) terhadap perguruan tinggi swasta (PTS) dan perguruan tinggi negeri (PTN) seharusnya dipenuhi dan/atau diperlakukan secara sama dan setara. Adapun pembeda antara PTN dan PTS hanya pada konteks pendirian dan penyelenggaranya saja, yakni bahwa PTN didirikan dan/atau diselenggarakan langsung oleh Pemerintah, sedangkan PTS didirikan dan/atau diselenggarakan oleh masyarakat.

Kuasa hukum Pemohon, Viktor Santoso Tandiasa, menyampaikan dalam Dana Pendidikan Tinggi yang bersumber dari APBN dan/atau APBD tidak dialokasikan untuk gaji pokok dosen, maka kewajiban atas gaji dosen sebagaimana diatur dalam Pasal 70 ayat (3) UU 12/2012 ditetapkan berdasarkan kemampuan tiap-tiap PT. Sehingga untuk mengukur kemampuan PTS tersebut menggunakan standar Upah Minimum (UMK). “Mengingat Pasal 70 ayat (2) UU 12/2012 terhadap pengangkatan dan penempatan dosen dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja yang mengacu pada UU 13/2003,” imbuh Viktor.

Selain itu, Viktor juga menyebut pembebanan kewajiban pemberian gaji pokok dosen PTS hanya kepada badan penyelenggara jelas berdampak pada timbulnya ketidaksetaraan/kesenjangan/ketimpangan gaji pokok dosen PTS. Ketidaksetaraan/kesenjangan/ketimpangan tidak hanya terjadi antara gaji pokok dosen PTS dengan dosen PTN. Akan tetapi, lanjutnya, juga terjadi antara sesama dosen PTS. PTS yang berada di bawah naungan badan penyelenggara dengan kemampuan sumber daya keuangan yang tinggi dan berkedudukan di daerah dengan ketentuan Upah Minimum yang tinggi, tentu akan memberikan gaji pokok yang tinggi pula kepada para dosennya.

Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memeriksa dan mengadili permohonan yang menyatakan Pasal 70 ayat (3) UU Dikti sepanjang frasa “Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikut sepanjang tidak dimaknai “Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud ayat (2) wajib memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada dosen dan tenaga kependidikan yang dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan.atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”. (*)sinpo

Komentar: