Sidang Uji Materi MK: Keikutsertaan Pejabat Negara dalam Kampanye, Bentuk Hak Warga Negara
SinPo.id - Keikutsertaan presiden, wakil presiden, menteri, dan kepala daerah dalam Pemilu harus ditempatkan sebagai sikap sebagai seorang warga negara dalam menggunakan hak suaranya sebagaimana diatur Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum.
Hal ini disampaikan oleh Togap Simangungsong selaku Plh. Dirjen Politik PUM Kemendagri mewakili Pemerintah dalam sidang uji materiil uji aturan kampanye dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Sidang Perkara Nomor 166/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh Gugum Ridho Putra ini digelar pada Selasa (6/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Lebih jelas Togap menganalogikan dengan praktik yang terjadi di beberapa negara yang juga menganut sistem demokrasi. Salah satunya Amerika Serikat pada masa Pemilu Tahun 2016, bahwa Presiden Obama membantu kampanye kandidat Partai Demokrat, yakni Hillary Clinton. Demikian juga dengan Pemilu Presiden Prancis pada 2017, Francois Hollande berkampanye untuk kandidat Emmanuel Macron. Dengan kata lain, aktivitas kampanye sejatinya menjadi wujud dari pelaksanaan hak pilih secara universal sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Singkatnya, setiap orang mempunyai hak untuk mengambil bagian di dalam pemerintahan negaranya secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas.
Berikutnya, Togap membacakan keterangan Pemerintah/Presiden tentang dalil Pemohon yang menyatakan tentang ketiadaan larangan bagi Peserta Pemilu untuk menggunakan citra diri berupa foto/gambar, suara, gabungan foto/gambar dan suara dengan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan secara digital ataupun teknologi artificial intelligence (AI) yang dianggap seolah-olah sebagai citra diri yang otentik.
Pemerintah menyebut demokrasi digital memunculkan tantangan baru bagi praktik demokrasi karena sifatnya yang dapat menembus batas waktu dan hambatan ruang. Penggunaan teknologi AI sebagai alat peraga kampanye bagi para calon peserta pemilu sesungguhnya menjadi jalan efektif dan efisien dalam strategi kampanye. Justru, sambung Togap, pengaturan pengunaan AI dalam kampanye dapat menghambat inovasi teknologi dam membatasi kemampuan calon peserta untuk memanfaatkan alat dan teknik mutakhir dalam berinteraksi dengan pemilih.
Bahkan pengaturan penggunaan AI dalam kampanye berisiko pada pelanggaran terhadpa kebebesan berpendapat dan berekspresi para aktor politik dan dapat pula melemahkan prinsip demokrasi yang mendasari proses pemilu.
“Berdasarkan asas hukum nullum delictum nulla poena sine praevua lege poenali, maka selama belum terdapat larangan penggunaan AI dalam kampanye, maka hal tersebut diperbolehkan dan tidak tergolong pada bagian dari melanggar norma,” jelas Togap.
Berikutnya, Mochammad Afifuddin selaku Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan Komisi Pemilihan Umum RI dalam keterangannya menyebutkan pengaturan dan larangan kampanye dalam UU Pemilu dan Peraturan KPU. Pada dasarnya kampanye berperan dalam meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi misi dan program dan/atau citra diri peserta pemilu. Sehingga, aturan penyelenggaraan pemilu menjadi bagian dari pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Maka, metode kampanye dapat dilakukan dalam berbagai cara termasuk iklan di media cetak dan elektronik, rapat umum, debat pasangan calon, dan kegiatan lain yang tidak melanggar ketentuan perundang-undangan.
Pasal 280 ayat (2) UU Pemilu bahwa tim kampanye dilarang mengikutsertakan badan peradilan, pejabat negara dan BUMN/BUMD, ASN, Kepolisian, TNI, dan warga negara yang tidak memiliki hak memilih. Pengaturan demikian dapat dilakukan selama memperhatikan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan (daerah). Selain itu, pada saat melakukan kampanye, para pejabat tersebut tidak dibenarkan untuk menggunakan fasilitas negara, kecuali daerah terpencil dengan tetap memperhatikan sistem keadilan.
“Maka kampanye oleh presiden/wakil presiden dan pejabat negara ini telah diatur dalam aturan tentang calon pengunduran diri, permintaan izin, dan cuti dalam pelaksanaan pemilu,” urai Afifuddin.
Sementara itu, Rahmat Bagja selaku Ketua Bawalu RI dalam keterangan Bawaslu menyebutkan terkait kampanye yang mengikutsertakan pejabat negara, Bawaslu berpedoman pada Pasal 62, Pasal 62A, Pasal 63, dan Pasal 64 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum. Norma tersebut secara jelas telah mengatur tentang mekanisme cuti para pejabat negara saat melaksanakan kepesertaannya untuk berkampanye. Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2023 juga menerangkan mekanisme pengunduran diri dan permintaan izin kampanye bagi pejabat negara tersebut.
“Berdasarkan data penanganan pelanggaran pemilu pada tahap kampanye pada Pemilu 2024 hingga 6 Februari 2024 ini, tidak terdapat temuan dan/atau laporan pelanggaran administrasi pemilu terstruktur, sistematis, dan massif. Demikian juga dengan dugaan pelanggaran kampanye pemilu terkait citra diri dengan menggunakan teknologi AI,” terang Bagja.
Pada Sidang Pendahuluan, Kamis (21/12/2023) Pemohon menyebutkan terdapat kekosongan hukum dalam aturan kampanye pada penyelenggaraan Pemilu 2024 mendatang di tengah potensi adanya konflik kepentingan, pelanggaran secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM), serta tidak adanya pembatasan penampilan citra diri. Pemohon menjelaskan, presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota sepatutnya dilarang mengikuti kampanye keluarganya yang menjadi peserta pemilu. Sebab, hal ini sebetulnya telah diatur Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menginginkan pemilu dilaksanakan secara bebas, jujur, dan adil.
Pemohon mengatakan, pembiaran bagi presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota untuk dapat mengikuti kampanye anggota keluarganya yang ikut kontestasi pemilu secara langsung bertentangan dengan prinsip pemilu yang bebas, jujur, dan adil. Kehadiran secara fisik para pejabat itu akan menjadi perintah non-verbal yang sangat kuat kepada khalayak luas bahwa sang pejabat secara tidak langsung meminta seluruh masyarakat mengikuti pemilihannya untuk turut mendukung keluarganya yang ikut dalam kontestasi pemilu.
Berikutnya, Pemohon mempersoalkan ketiadaan larangan bagi Peserta Pemilu untuk menggunakan citra diri berupa foto/gambar, suara, gabungan foto/gambar dan suara dengan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan secara digital ataupun teknologi artificial intelligence (AI) yang dianggap seolah-olah sebagai citra diri yang otentik. Melalui kecanggihan teknologi, Peserta Pemilu dapat melebih-lebihkan citra dirinya melebihi keadaan yang sebenarnya. Ketiadaan larangan ini dapat menyebabkan misinformasi bagi Pemilih sehingga berpotensi memanipulasi persepsi Pemilih terhadap kandidat. Menggiring Pemilih menggunakan hak pilihnya secara keliru (misguided voting). Pemohon menjelaskan, UU Pemilu belum mengatur seluk-beluk citra diri peserta pemilu yang akan dipergunakan dalam materi kampanye. Pembatasan penggunaan teknologi digital termasuk bantuan AI juga belum diatur. Akibatnya, peserta pemilu dapat dengan leluasa melakukan pemolesan tanpa batasan.