DPR: Ketentuan Pidana dalam UU ITE Diatur dalam KUHP Nasional

SinPo.id - Pembuat undang-undang telah memiliki politik hukum baru terkait ketentuan-ketentuan pidana dalam Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional). Hal ini didasarkan pada evaluasi terhadap penerapan pasal-pasal pidana UU ITE, kritikan masyarakat, aspek kemanusiaan, aspek demokrasi, praktik kriminalisasi, dan pengalaman buruk yang dialami masyarakat.
Hal ini disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR Taufik Basari dalam sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan juncto Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946]; Kitab Undang-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); dan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sidang keempat Perkara Nomor 78/PUU-XXI/2023 di Ruang Sidang Pleno MK beragendakan mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah ini dipimpin ketua MK Anwar Usman beserta delapan hakim konstitusi lainnya.
Taufik menyampaikan politik hukum ini juga mengakomodir beberapa keputusan ataupun kebijakan pemerintah dan institusi penegak hukum yang berupaya untuk mengeliminasi dampak negatif dari penerapan pasal-pasal pidana UU ITE yang tidak tepat. Lebih lanjut ia menerangkan, politik hukum dalam KUHP Nasional memberikan batasan-batasan dan kejelasan sehingga menutup peluang penyalahgunaan penerapan pasal, di antaranya dengan memberikan kejelasan rumusan, maksud dan tujuan pasal-pasal yang mengatur tentang penghinaan dan/atau penyerangan martabat. Beberapa pasal terkait, yakni dari Pasal 433 hingga Pasal 441 diberikan batasan melalui Penjelasan Pasal KUHP Nasional. Selain itu, Pasal-Pasal tersebut juga diturunkan ancaman pidananya dengan berbagai variasi sesuai dengan berat ringannya unsur tindak pidana tetapi tidak ada ancaman pidana yang melebihi 3 tahun 6 bulan, dan pemberatan untuk perbuatan tertentu yakni 1/3 juga tidak ada yang melebihi ancaman pidana hingga 4 tahun 2 bulan. Dibandingkan dengan ancaman pidana Pasal 27 ayat (3) UU ITE yaitu 12 tahun penurunan ancaman pidana ini sangat siginifikan.
“Berdasarkan politik hukum pembentukan KUHP Nasional melalui UU No 1 Tahun 2023 tentang KUHP maka telah terdapat perubahan paradigma yang mendasar dari KUHP yang saat ini berlaku dan ketentian pidana dalam UU ITE dengan KUHP Nasional yang akan berlaku 2 Januari 2026. Politik hukum pembentukan KUHP Nasional lebih menekankan pada tujuan pemidanaan yang lebih humanis, dengan menerapkan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dan meninggalkan kebiasaan pendekatan keadilan retributive (retributive justice). Hal tersebut juga ditunjukkan dengan diaturnya jenis pidana baru berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial yang diberlakukan untuk perampasan kemerdekaan jangka pendek (short prison sentence),” jelas Taufik.
Taufik melanjutkan, KUHP juga memiliki visi pembaruan KUHP yang diantaranya dekolonialisasi dan demokratisasi yang keduanya berakar dari keinginan menggantikan hukum kolonial yang kurang menjamin perlindungan hak asasi manusia. KUHP juga telah menganut batasan-batasan yang tegas terkait perlindungan kebebasan berpendapat dari masyarakat. Hal itu tercermin dari pembatasan dalam pasal penghinaan yang memuat alasan pemaaf dalam hal perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum dalam hal ini termasuk kritik, pendapat, opini, hasil penelitian terhadap sebuah kondisi atau lembaga atau orang/pejabat yang terhadap berhubungan dengan kepentingan umum tidak dapat dipidana Pengetatan untuk memastikan perlindungan hak aasi manusia juga tercantum dalam ketentuan mengenai penyiaran atau penyebarluasan berita bohong yang memperketat frasa “keonaran” menjadi “kerusuhan”, dengan batasan “kerusuhan adalah suatu kondisi yang menimbulkan Kekerasan terhadap orang atau Barang yang dilakukan oleh sekelompok orang paling sedikit 3 (tiga) orang”, sehingga keadaan tersebut harus merupakan keadaan yang terjadi di dunia nyata bukan di media sosial atau elektronik.
“Kerusuhan itu juga harus merupakan kondisi yang tidak dibuat-buat oleh kelompok tertentu sehingga murni merupakan reaksi dari adanya penyiaran atau penyebarluasan berita bohong tersebut. Berita bohong juga harus dimaknai sebagai sebuah informasi yang memang oleh pembuat disengaja tidak sesuai fakta atau tidak pasti atau tidak lengkap, dan bukan dihasilkan dari sebuah penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan yang dapat dipertanggungjawabkan,” terang Taufik.
Menurut Taufik, sebagai hukum yang akan diberlakukan kemudian, KUHP Nasional telah mengonsolidasikan beberapa pasal-pasal yang perlu diperbaharui baik dalam KUHP maupun undang-undang lainnya melalui penghapusan maupun penataan ulang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat, serta ketentuan pemidanaan mengakomodir asas lex certa dan lex scricta dan pemenuhan keadilan. Dengan demikian terdapat relevansi keberlakuan KUHP Nasional dengan permohonan a quo.
“Berdasarkan perubahan paradigma dalam KUHP Nasional yang menjadi Politik Hukum Pidana Indonesia yang baru maka DPR RI berharap agar Mahkamah Konstitusi yang mulia melalui kewenangan penafsiran konstitusionalnya menyatakan bahwa Politik Hukum Pidana dengan paradigma baru sebagaimana yang menjadi landasan KUHP Nasional ini selama masa transisi keberlakuan KUHP Baru agar menjadikannya sebagai pedoman, rujukan dan panduan bagi aparat penegak hukum dan badan peradilan dalam menerapkan pasal-pasal pidana, termasuk Pasal-Pasal yang menjadi objek pengujian in casu,” tegas Taufik.
Lindungi HAM
Sementara Pemerintah yang diwakili oleh Staf Ahli Politik, Keamanan, dan Penegakan Hukum Kejaksaan Agung RI Masyhudi, Pemerintah mengatakan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap hak asasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, sesuai dengan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945, serta Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang melarang setiap orang untuk mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Dengan perkataan lain, Pasal 27 ayat (3) UU ITE memuat norma kewajiban bagi setiap orang untuk menghormati hak orang lain atas nama baik dan martabat, yang pada dasarnya adalah pembatasan yang sah berdasarkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Pembatasan yang dimaksud ialah pembatasan bagi orang lain untuk mengungkapkan atau mengekspresikan perasaan sebebas-bebasnya sehingga melanggar martabat orang lain, melalui perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya konten yang memiliki muatan menyerang kehormatan orang lain untuk diketahui umum.
“Penormaan ketentuan pidana dalam undang-undang dirumuskan dengan jelas perbuatan apa yang dilanggar dan hukuman yang diancamnya. Ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan norma pelarangan yang termaktub dalam Bab VII Perbuatan Yang Dilarang dengan ketentuan sanksi pidana dirumuskan dalam Pasal 45 ayat (3) UU ITE yang termaktub dalam BAB XI Ketentuan Pidana. Dengan demikian, penormaan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dibaca secara sistematis dengan ketentuan pidana Pasal 45 ayat (3) UU ITE yang telah sesuai dengan teknis penulisan peraturan perundang-undangan,” ujar Masyhudi.
Sehingga, Pemerintah menyimpulkan bahwa ketentuan Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 45 Ayat (3) UU ITE tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Oleh karena itu, menurut Pemerintah, adalah tepat dan sangat beralasan hukum dan sudah sepatutnya jika Majelis Hakim Konstitusi secara bijaksana menolak dalil para Pemohon dimaksud. Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (3) UU ITE yang mengatur mengenai penggunaan teknologi informasi untuk mendistribusikan informasi atau dokumen yang berisi pencemaran nama baik dirancang dengan tujuan melindungi hak individu dan mencegah penyebaran informasi yang salah dalam ranah digital.
Sehingga pasal a quo merupakan ketentuan untuk melindungi perlindungan atas nama baik, harkat dan kehormatan seseorang sebagai bagian dari perlindungan hak asasi manusia dalam ruang siber tetap diperlukan untuk menjaga tatanan dalam ruang siber yang aman dan kondusif bagi semua kalangan.
“Dalam merunut kesesuaiannya dengan berbagai pasal yang ada di Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kita dapat melihat bahwa ketentuan dalam UU ITE ini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar konstitusi Republik Indonesia,” tandas Masyhudi.
Dalam permohonannya, Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanti selaku Pemohon I dan Pemohon II merasa hak konstitusionalnya dirugikan secara konkret akibat ketentuan pasal-pasal yang diuji. Para Pemohon menilai keberadaan pasal-pasal yang diuji dalam permohonan justru menghambat dan mengkriminalisasi para Pemohon yang mempunyai fokus kerja yang berhubungan dengan pemajuan hak asasi manusia danpemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Selain itu, para Pemohon juga mendalilkan pasal a quo nyatanya digunakan untuk mengkriminalisasi pihak yang kritis terhadap pejabat negara maupun kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, Pemohon I dan Pemohon II terbukti bahwa aparat penegak hukum lebih mengutamakan proses pidana terhadap Pemohon I dan Pemohon II dibanding menindaklanjuti, memeriksa, mengadili perkara yang sejatinya menjadi pokok substansi masalah.
Para Pemohon mengajukan petitum provisi agar Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan Provisi Para Pemohon. Selain itu, memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk menghentikan dan menunda pemeriksaan perkara No. 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim dan No. 203/Pid.Sus/2023/PNJkt.Tim., sampai dengan putusan pengujian undang-undang pada Mahkamah Konstitusi yang diajukan Pemohon ini. Selain itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar pasal-pasal yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.