Komisi X DPR Belum Satu Suara Terkait Tugas Akhir Pengganti Skripsi

Laporan: Juven Martua Sitompul
Rabu, 13 September 2023 | 08:23 WIB
Anggota Komisi X DPR RI Himmatul Aliyah (tengah). (SinPo.id/Juven Martua Sitompul)
Anggota Komisi X DPR RI Himmatul Aliyah (tengah). (SinPo.id/Juven Martua Sitompul)

SinPo.id - Komisi X DPR belum satu suara terkait Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 episode ke-26 yang membahas soal akreditasi dan standar perguruan tinggi, serta kebebasan kampus untuk menjadikan pembuatan skripsi, tesis, dan disertasi sebagai syarat kelulusan. 

"Kami di Komisi X (DPR) memang kan belum juga satu suara untuk menyampaikan, karena kami juga sampai saat ini belum rapat tentang hal ini," kata anggota Komisi X DPR RI Himmatul Aliyah dalam diskusi Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI bertajuk 'Merdeka Belajar! Membedah Permendikbudristek No. 53 tahun 2023' di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 12 September 2023.

Himma mengaku baru mengetahui perubahan ini dua minggu lalu ketika sedang bertemu dengan rektor-rektor seluruh Indonesia. Sehingga, dia bersama para rektor mempelajari hal tersebut.

Dia mendukung ketentuan yang diatur pada episode ke-26 ini karena tidak adanya diskriminasi soal akreditasi kampus.

"Tapi dalam hal ini, keluarnya permen ini saya sendiri mendukung karena ini adanya penyederhanaan, yang tadinya akreditasi mungkin terbagi A, B, C gitu, Kalau yang C pasti udah dianggapnya, padahal kan mungkin belum tentu akreditasi C Itu kualitas pendidikannya belum tentu rendah, tapi image di masyarakat kadang kalau C itu 'ah sekolah pinggiran, sekolah kecil'," kata dia.

"Tetapi dengan adanya peraturan baru ini saya mendukung , karena ini berarti tidak ada lagi diskriminasi terhadap kampus-kampus, itu baik tapi nanti kita minta pendapat dari Moestopo dan dari Mercu Buana," timpal Himma. 

Oleh karena itu, politikus Partai Gerindra ini pun berharap pemerintah, khususnya Kemendikbudristek memastikan implementasi dari Permendikbud 53 Tahun 2023 episode ke-26. Dia ingin aturan akreditasi ini outputnya meningkatkan mutu perguruan tinggi, bukan diskriminasi perguruan tinggi.

"Kemudian juga harus meningkatkan mutu perguruan tingginya, jadi bukan malah dengan adanya akreditasi yang terstandarnya hanya unggul dan terakreditasi dan tidak terakreditasi, kemudian ada standarnya unggul, terakreditasi internasional. Jadi kalau misalnya, prodinya sudah dapat pengakuan internasional itu juga sudah dianggap terakreditasi," tegas legislator Dapil DKI Jakarta ini. 

Selain itu, Himma mendorong kampus segera melakukan pembenahan dalam segala aspek agar banyak perguruan tinggi di Indonesia mencapai world class university.

Dia juga menyoroti belanja penelitian di Indonesia hanya sebesar 0,09 persen dari PDB (produk domestik bruto) tahun 2012 yang sangat rendah dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapore dan Malaysia. Termasuk rendahnya kualitas sumber daya manusianya, baik dosen maupun peneliti di Indonesia.

"Kemudian masih adanya sistem penghargaan insentif yang ada membuat akademisi enggan menghasilkan penelitian dan pengajaran yang berkualitas tinggi. Kemudian pengelola perguruan tinggi oleh pemerintah masih bersifat sangat terpusat, top down dan restricted ataupun membatasi," kata Himma.

Kampus Dukung Fleksibilitas Tugas Akhir Mahasiswa

Sementara itu, perwakilan dua kampus yang hadir dalam diskusi ini, yakni Universitas Mercu Buana (UMB) dan Universitas Moestopo Beragama mendukung kebijakan yang diatur dalam Permendikbud 53 Tahun 2023 episode ke-26, di antaranya fleksibilitas kampus soal tugas akhir mahasiswanya.

Wakil Rektor UMB Rizki Briandana menyampaikan kampusnya merasa beruntung dengan adanya Permendikbud 53 Tahun 2023. Aturan ini dinilai sebangai penyempurnaan dari Permendikbud sebelumnya.

Apalagi, UMB sejak 5 tahun lalu sudah mengimplementasi lima pilihan tugas akhir, khusus mahasiswa sarjana ilmu komunikasi, meskipun ujungnya harus dibuat laporan bentuk skripsi. 

"Pertama adalah tugas akhir skripsi, yang kedua adalah skripsi aplikatif, kebetulan di prodi ini tuh ada mahasiswa yang memang membuat tugas akhir feature dokumenter, ada juga yang membuat program film pendek, ada juga skema skripsi KPN (Kuliah Peduli Negeri) ini seperti pengabdian masyarakat. Jadi mahasiswa datang ke sebuah daerah sebuah tempat dia memberikan penyuluhan penyampaian dan lain sebagainya kepada masyarakat setempat. Kemudian yang keempat ada pilihan untuk tugas akhir prestasi, misal ada mahasiswa mendapatkan juara lomba film di internasional, nah itu bisa direkognisi sebagai pilihan tugas akhir dan yang kelima adalah publikasi jurnal," katanya.

Tak hanya itu, kata Rizki, dengan adanya Permendikbud ini mahasiswa lebih beruntung lagi karena yang dilakukan di jurusan komunikasi UMB bisa dijadikan role model di beberapa prodi. Sebab, kalau merujuk kepada indikator kinerja utama perguruan tinggi ada sistem pembelajaran project base learning.

Misalnya jurusan ilmu komputer, mahasiswa bisa membuat sistem aplikasi yang dilaporkan dalam bentuk skripsi. Terlebih, kurikulum merdeka belajar ini memberikan keleluasaan bagi mahasiswa untuk hak merdeka belajar per 3 semester di luar prodinya.

"Sehingga di beberapa semester itu mahasiswa bisa keluar, mau dia magang, bersertifikat kemudian mau dia penelitian, mau dia KKN, tematik dan lain sebagainya. Itu sudah enggak pusing melakukan rekognisi konversi 20 SKS-nya, karena itu merupakan hak dari si mahasiswa. Nah ini sangat sejalan sekali dengan apa yang disampaikan oleh Mas Menteri dan lain sebagainya dalam beberapa kesempatan ini, itu mahasiswa beruntung sekali," kata Rizki.

Hal senada disampaikan Ketua Prodi Administrasi Publik Program Doktor Universitas Moestopo Beragama Pandji Sukmana. Dia menjelaskan kenapa mahasiswa doktoral selalu lama lulusnya bahkan di-DO.

Pertama, pengalamannya berkuliah di luar negeri itu, dosen yang aktif mencari mahasiswa, bukan sebaliknya. Kedua, yang mengambil program doktoral bukan ilmuwan, lebih kepada gelar untuk penyesuaian, sementara dari sisi akademis tentu ingin seorang doktor benar-benat memiliki karya ilmiah. 

Namun, melalui Permendikbudristek ini tidak ada lagi keharusan dan kewajiban membuat jurnal. Sebab, jurnal menjadi beban bagi para calon doktor-doktor mengingat biayanya begitu besar, apalagi Jurnal Scopus dan sebagainya yang memakan biaya Rp80 juta.

"Sebetulnya mungkin yang tadi disampaikan dari Dikti ini, mungkin akhirnya kembalikan kepada otonom atau kebalikan kepada kampus," ujarnya. 

Pandji pun mempertanyakan implementasi aturan yang tak mengharuskan tanpa jurnal itu. Khususnya, pengaruh terhadap kampus.

"Saya ingin jelas dan ini untuk kepentingan kita semuam dan pemerintah sekuat munkin juga mencari terobosan tetapi jangan membuat implementasinya kepada kami kurang jelas, makanya kapan mulainya, berlakunya surut dan apakah ada turunan Permen ini benar setiap kampus atau memang seperti apa juklaknya," tegas Pandji.

Sebelumnya, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim meluncurkan Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi dalam program Merdeka Belajar episode ke-26.

Dalam Permendikbud tersebut, mahasiswa sarjana dan mahasiswa diploma 4 tidak lagi wajib membuat skripsi untuk tugas akhir sebagai syarat kelulusan. Regulasi itu menyebutkan bahwa mahasiswa diberikan sejumlah pilihan tugas akhir sebagai syarat kelulusan.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI