SETARA Institute: Kontrol Tempat Ibadah Tidak Tepat dan Berpotensi Langgar Hak Konstitusional Warga
SinPo.id - Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, mengatakan kontrol terhadap seluruh tempat ibadah berpotensi menyebabkan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan. Kebebasan beragama/berkeyakinan dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, khususnya Pasal 28E Ayat (1), Pasal 28I, dan Pasal 29.
"Kontrol terhadap seluruh tempat ibadah akan merupakan langkah eksesif negara yang akan melahirkan restriksi atau pembatasan berlebihan terhadap kebebasan warga negara untuk memeluk agama/kepercayaan dan beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing," kata dia dalam keterangannya pada Selasa 5 September 2023.
Pernyataan itu disampaikan menanggapi usulan
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dalam Rapat dengan Komisi III DPR RI.
Kepala BNPT Komisaris Jenderal (Pol) Rycko Amelza Dahniel mengusulkan agar pemerintah mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia. Tujuannya, agar tempat ibadah tidak menjadi sarang radikalisme.
Pandangan yang disampaikan oleh tersebut didasarkan pada studi ke negara lain, antara lain Singapura, Malaysia, Qatar, Arab Saudi, dan Maroko. Menurut Komjen Rycko, di negara-negara tersebut, semua masjid, tempat ibadah, petugas di dalam yang memberikan tausiyah, memberikan khotbah, memberikan materi, termasuk kontennya di bawah kontrol pemerintah
Halili Hasan menjelaskan SETARA Institute setuju bahwa pemerintah perlu mengambil langkah dan kebijakan yang tepat guna untuk mencegah penyebaran paham intoleran dan radikal. Studi yang dilakukan oleh sejumlah lembaga, termasuk SETARA Institute, menunjukkan indikasi yang mengkhawatirkan terkait dengan penyebaran paham radikalisme dan ekstremisme kekerasan.
"Dalam kajian SETARA Institute, lembaga pendidikan dan tempat ibadah menjadi target kelompok intoleran dan radikal. Namun demikian, kontrol atas seluruh tempat ibadah beserta orang-orang yang menyampaikan syiar dan muatan syiar keagamaan di dalamnya, jelas bukanlah langkah yang tepat dan terukur. Langkah tersebut merupakan langkah yang lebih banyak bahaya daripada manfaatnya," ujarnya.
Dalam pandangan SETARA Institute, *solusi yang lebih tepat diambil oleh pemerintah adalah pelibatan para stakeholders, terutama kelompok dan organisasi keagamaan moderat. Reclaiming tempat ibadah dari penguasaan dan/atau target penetrasi jaringan kelompok konservatif dan radikal melalui kerjasama dengan ormas keagamaan moderat, seperti PBNU, PP Muhammadiyah, PGI, KWI dan ormas keagamaan moderat lainnya, akan jauh lebih lebih efektif.
Pemerintah, misalnya melalui BNPT dan Kementerian Agama, memiliki sumber daya yang memadai untuk melakukan asesemen awal agar radikalisasi yang berlangsung di beberapa tempat ibadah Kementerian/Lembaga dan Badan Usaha Milik Negara bisa dimitigasi dan kemudian ditangani secara presisi melalui kolaborasi dengan ormas kegaman moderat tersebut.
Di samping itu, pemerintah secara kolaboratif dengan Ormas Keagamaan moderat juga dapat merekomendasikan pencermah dan topik kebangsaan yang menarik untuk didialogkan di ruang keagamaan, bukan menetapkan, apalagi mengontrol.
Untuk itu, SETARA Institute mendorong pemerintah agar lebih memobilisasi sumber daya yang dimiliki secara presisi, alih-alih mengontrol tempat ibadah.
Jangan sampai langkah yang diambil oleh pemerintah justru kontraproduktif bagi jaminan hak konstitusional warga negara yang diatur oleh Undang-Undang Dasar.
"Pada saat yang sama, pemerintah mesti menutup ruang bagi intoleransi dan diskriminasi yang justru memberikan energi bagi konsolidasi kelompok-kelompok radikal. Sebagai contoh, eksistensi Bakor Pakem (Badan Koordinasi Pengawasan Kepercayaan Masyarakat) di bawah Kejaksaan seringkali menyediakan amunisi bagi konsolidasi kelompok-kelompok konservatif dan radikal terhadap kelompok minoritas yang mereka kategorikan sesat, melalui tempat-tempat ibadah," tambahnya