Pakar Hukum Tata Negara: Batasan Umur Capres dan Cawapres Bukan Isu Konstitusional

Laporan: Tim Redaksi
Rabu, 30 Agustus 2023 | 02:07 WIB
Bivitri Susanti selaku Ahli yang dihadirkan Perkumpulan untuk Pemilu Demokrasi (Perludem) pada sidang pengujian batasan umur syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Humas/Fauzan
Bivitri Susanti selaku Ahli yang dihadirkan Perkumpulan untuk Pemilu Demokrasi (Perludem) pada sidang pengujian batasan umur syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Humas/Fauzan

SinPo.id -  Sidang lanjutan ihwal pengujian  batasan umur sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa 29 Agustus 2023. Sidang kali keenam ini untuk memeriksa tiga permohonan sekaligus, yakni permohonan Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan sejumlah perseorangan warga negara Indonesia, permohonan Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Partai Garda Perubahan Indonesia (Partai Garuda), dan permohonan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh sejumlah kepala daerah.

Agenda sidang yaitu mendengar keterangan Ahli Pihak Terkait dari Perkumpulan untuk Pemilu Demokrasi (Perludem). Persidangan juga mendengar keterangan para Pihak Terkait yaitu Evi Anggita Rahma, dkk; Rahyan Fiqi, dkk; Oktavianus Rasubala; Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), dan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).

Bivitri Susanti selaku Ahli yang dihadirkan Perludem pada sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman ini menyampaikan keterangan mengenai batasan umur pencalonan presiden dan wakil presiden, dan tingkat kematangan manusia dalam mengelola intelegensia untuk menduduki jabatan tertentu. Dalam logika hukum, Bivitri berpendapat bahwa batasan umur sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden bukan isu konstitusional. Pembatasan usia minimum dan maksimum bukan isu yang lazim diatur ketat, karena kapasitas politikus diukur dari rekam jejak. Akibatnya berbagai negara menerapkan beragam batas umur, sebab kapasitas politik dan kemampuan berpikir tidak bisa disamakan dengan kebugaran.

Lebih jelas Bivitri mengatakan karena perkembangan dunia kedokteran dan sains, lazimnya batas usia ditentukan oleh sebuah kebijakan dan bukan isu yang fiks tidak dapat diubah. Sebab ragam jabatan bisa dilakukan dengan kajian ilmu terkait dan tidak ada kaitannya dengan hukum. Selain itu, pembuat  kebijakan dapat berargumentasi mengenai batas usia yang layak dalam konteks pembentukan kebijakan berdasarkan bukti. Misalnya berupa kemampuan mengelola informasi dan komunikasi, tetapi dari aspek hukum satu-satunya hanya menyoal hak dan lainnya aspek nonhukum atau nonkonstitusional. Sebab dalam hal ini ada hak berupa batas usia dewasa. Dalam konteks kepemiluan ada batas usia minimum memilih. Oleh karena itu, dalam perkara ini bukan model usia yang perlu dibangun, tetapi akan adanya asumsi belum matangnya kultur politik Indonesia dan budaya feoadalisme yang membuat rekam jejak politik tenggelam dalam latar belakang keluarga dan gelar. Sehingga, usia sering dijadikan filter mencegah orang atau pihak yang tidak berpengalaman menjadi politisi.

“Perdebatan mengenai batas minimum untuk dipilih harus dibiarkan dalam wilayah kebijakan. Bukan dipindah ke wilayah konstitusional. Harapannya, kedewasaan dalam berpolitik berkembang dan peradaban politik kian baik, maka hal ini juga bisa diatur secara kontekstual. Jika MK yang menetapkannya dalam putusan, maka fleksibilitas yang mengikuti kontekstualitas akan hilang karena batas usia akan menjadi isu konstitusional yang harus kembali diperiksa Mahkamah dengan logika yang inkonsisten,” sampai Bivitri.

Diskriminasi bagi Warga Negara

Sunandiantoro selaku kuasa hukum Evi Anggita, dkk (Pihak Terkait) menyampaikan keterangan pihaknya yang merupakan perseorangan warga negara yang telah diberikan hak dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Sehingga adanya pembatasan usia pencalonan capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun justru akan menimbulkan diskriminasi bagi warga negara lainnya.

“Menjadi aneh dan tidak konsisten jika pada permohonan disebutkan batas minimum capres dan cawapres sekurang-kurangnya 35 tahun dianggap tidak membatasi hak konstitusional orang lain, sedangkan batas usia maksimal 70 tahun dianggap membatasi hak konstitusional orang lain. Untuk itu, kami ingin menegaskan dalam politik kami mengharapkan para elite memberikan edukasi dan etika politik yang baik, jangan sampai politik mempermainkan hukum dalam hal ini Mahkamah Konstitusi,” sebut Sunandiantoro dalam sidang yang dihadirinya secara langsung di Ruang Sidang Pleno, Gedung I, MK.

Sementara itu Rayhan Fiqi Fansuri (Pihak Terkait I) dan Sultan Bagarsyah (Pihak Terkait II) memberikan keterangan terhadap permohonan Nomor 29/PUU-XXI/2023. Sebagai perseorangan warga negara, pihaknya bebas menentukan calon presiden dan wakil presiden termasuk dalam menyikapi adanya isu penurunan batas minimum capres dan cawapres. Secara lebih jelas Sultan Bagarsyah menyebutkan pasal yang diujikan tidak melanggar nilai-nilai moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta hak warga negara untuk dipilih dan memilih.

“Pemohon ingin menurunkan usia capres dan cawapres. Justru ini menabrak logika argumentasi Pemohon. Penentuan batas usia 40 tahun adalah pilihan moral pembentuk undang-undang yang harus ditaati. UUD 1945 sebagai konstitusi tidak pernah mengatur batas usia minimum yang demikian,” sebut Sultan yang hadir bersama dan membacakan keterangan secara bergantian dengan Rayhan Fiqi Fansuri.

Kedewasaan dan Kemampuan kepemimpinan

Oktavianus Rasubala hadir sebagai Pihak Terkait untuk memberikan keterangan atas tiga perkara tersebut di atas. Sebagai perseorangan warga negara ia merasa berhak untuk mempertahankan sistem demokrasi yang berdasarkan Pancasila. Sehingga menurutnya, peraturan perundang-undangan yang terkait pemilu harus sesuai dengan amanat UUD 1945.

“Berdasarkan UU Advokat berstatus sebagai penegak hukum dan sebagai seorang praktisi hukum menilai permohonan Pemohon ini jauh dari persoalan konstitusionalitas norma. Sehingga dalam hal ini, Pihak Terkait menilai usia adalah indeks yang menempatkan individu dalam perkembangan yang terdiri atas indeks kasar yang bersifat ideologis, sosiologis, dan budaya. Oleh karenanya, kategorisasi usia harus berdasarkan fungsi sangat sulit dilakukan dan terkait pasal yang diujikan ini konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 serta aturan tersebut diundangkan secara benar,” sampai Oktavianus.

Pada kesempatan berikutnya hadir pula Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) dan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) sebagai Pihak Terkait. KIPP dan JPPR melalui Kaka Suminta menyatakan, sebagai lembaga atau organisasi terdaftar pada Pemerintah sebagai bagian dari pemantau jalannya pemilu, pihaknya memiliki kedudukan hukum atas pengajuan uji materiil atas Pasal 169 huruf q UU Pemilu.

“Jika yang ingin mencalonkan diri ingin usia 35 tahun dinyatakan adalah batas usia yang adil, maka batas usia lainnya termasuk pula usia 30 tahun juga adil. Usia tidak dapat menentukan tingkat kedewasaan dan kemampuan kepemimpinan seseorang. Jadi, tak bisa diukur hanya oleh usia kronologis. Pada usia 40 tahun atau 35 tahun sekalipun, seseorang dapat saja meraih pencapaian luar biasa dalam konstribusinya. Sehingga jika hanya mengandalkan usia calon, maka ini mungkin mengabaikan dari nilai-nilai lainnya yang juga penting seperti pendidikan, pengalaman, pencapaian, dan dedikasi. Kualifikasi pengalaman misalnya jauh lebih konkret untuk menilai pencalonan seseorang karena mencakup pada visi misai, rencana konkret, dan kemampuannya dalam mewujudkan perubahan yang diinginkan rakyat,” sampai Kaka. 

Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 29/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI/Pemohon I) dan sejumlah perseorangan warga negara Indonesia, yakni Anthony Winza Probowo (Pemohon II), Danik Eka Rahmaningtyas (Pemohon III), Dedek Prayudi (Pemohon IV), dan Mikhail Gorbachev (Pemohon V).

Pasal 169 huruf q UU Pemilu menyatakan, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”.

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (3/4/2023), para Pemohon melalui Francine Widjojo menyatakan batas minimal syarat umur untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden pada norma tersebut dinyatakan jelas yakni 40 tahun. Sementara para Pemohon saat ini berusia 35 tahun, sehingga setidak-tidaknya batas usia minimal usia calon presiden dan wakil presiden dapat diatur 35 tahun dengan asumsi pemimpin-pemimpin muda tersebut telah memiliki bekal pengalaman untuk maju sebagai calon presiden dan wakil presiden. Sehingga norma ini menurut para Pemohon bertentangan dengan moralitas dan rasionalitas karena menimbulkan bibit-bibit diskriminasi sebagaimana termuat dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

“Padahal pada prinsipnya, negara memberikan kesempatan bagi putra putri bangsa untuk memimpin bangsa dan membuka seluas-luasnya agar calon terbaik bangsa dapat mencalonkan diri. Oleh karenanya objek permohonan adalah ketentuan yang diskriminatif karena melanggar moralitas. Ketika rakyat Indonesia dipaksa hanya memilih pemimpin yang sudah bisa memenuhi syarat diskriminatif, tentu ini menimbulkan ketidakadilan bagi rakyat Indonesia yang memilih maupun orang yang dipilih,” sebut Francine.

Untuk itu para Pemohon meminta Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan materi Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun.”

Selanjutnya permohonan Nomor 51/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Partai Garda Perubahan Indonesia (Partai Garuda). Partai Garuda juga mempermasalahkan aturan mengenai syarat usia calon presiden dan wakil presiden dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (5/6/2023). Kuasa hukum Partai Garuda, Desmihardi menyebutkan, Partai Garuda sebagai peserta Pemilu 2024 hendak mencalonkan kepala daerah yang berusia di bawah 40 tahun untuk menjadi calon wakil presiden. Pasalnya, banyak kepala daerah yang berusia di bawah 40 tahun yang memiliki potensi dan pengalaman dalam pemerintahan. Sementara itu, di sisi lain, banyak pula anggota dewan yang menjabat pada 2019-2024 yang berusia di bawah 40 tahun. Sebut saja, Hillary Brigitta Lasut berusia 23 tahun dari Partai Gerindra, Andrian Jopie Paruntu yang berusia 25 tahun dari Partai Golkar.

Membandingkan dengan negara lain, sambung Desmihardi, tidak sedikit jabatan presiden atau wakil presiden yang dijabat warga negara berusia di bawah 40 tahun, seperti Gabriel Boric Presiden Chile yang berusia 35 tahun atau  Mahamat Deby Presiden Chad yang berusia 38 tahun. Sebagai perbandingan pula, pada penerapan sistem pemerintahan berdasarkan konstitusi, Amerika Serikat mengatur syarat calon presiden setidaknya berusia 35 tahun.

Oleh karena itu, Pemohon berpotensi dirugikan dengan keberlakuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang mengatur syarat calon wakil presiden. Sebab ada banyak calon potensial berusia di bawah 40 tahun yang dapat memajukan bangsa dan negara serta memiliki pengalaman dalam pemerintahan. Karenanya, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.

Sedangkan permohonan Nomor 55/PUU-XXI/2023 diajukan oleh sejumlah kepala daerah. Mereka adalah Erman Safar (Wali Kota Bukittinggi Periode 2021-2024), Pandu Kesuma Dewangsa (Wakil Bupati Lampung Selatan Periode 2021-2026), Emil Elestianto Dardak (Wakil Gubernur Jawa Timur Periode 2019-2024), Ahmad Muhdlor (Bupati Sidoarjo Periode 2021-2026), dan Muhammad Albarraa (Wakil Bupati Mojokerto Periode 2021-2026).

Para pemimpin di daerah yang masih berusia muda tersebut mengujikan persyaratan usia untuk menjadi calon Presiden dan calon wakil presiden yang termaktub dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (31/5/2023), kuasa hukum para Pemohon, Munathsir Mustaman menjelaskan, para Pemohon telah kehilangan hak konstitusional untuk maju dalam bursa pencalonan wakil presiden yang dijamin dan dilindungi khususnya Pasal 6 ayat (1) UUD 1945. Padahal para Pemohon memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara yaitu sebagai kepala daerah.

“Pengalaman sebagai penyelenggara negara seharusnya menjadi pengecualian persyaratan batas usia minimal calon Wakil Presiden. Sepanjang memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara, walaupun usianya di bawah 40 tahun. Sehingga, sudah sepatutnya dipersamakan dengan usia minimal sebagaimana yang dipersyaratkan,” jelas Munathsir.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon dalam petitum memohon agar MK menyatakan frasa “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau memiliki pengalaman sebagai Penyelenggara Negara”.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI