Budaya Hingga Pangan Lokal Telah Dicuri, Kelaparan Menghantui Masyarakat Papua
Jakarta, sinpo.id - Papua, dikenal dengan warganya yang tangguh. Tak mudah menyerah. Bahkan untuk mendapatkan makanan atau kayu untuk dibakar menjadi perapian, mereka harus mendapatkannya sendiri di hutan.
Mungkin seperti itu gambaran masyarakat Papua yang masih bermukim di pedalaman. Mereka sudah terbiasa untuk bisa mendapatkan kebutuhannya mereka haruslah berkorban raga, persis seperti contoh di atas.
Contoh lain, untuk membuat rumah, jangan harap ada bata, semen atau beton yang menjadi pondasi rumah idaman kita semua. Tetapi mereka bahkan tak menggunakan uang sepeser pun untuk membangun rumah. Hampir semua barang untuk hidup disediakan oleh alam.
Untuk membuat atau membetulkan rumah, warga pedalaman cukup pergi ke hutan, menebang berbagai jenis kayu untuk tiang dan lantai, serta mengumpulkan daun-daun nipah untuk dinding.
Papua memang dikaruniai Tuhan dengan kekayaan alam yang melimpah. Kali ini kita tak memasukan Freeport sebagai kekayaan alam Papua. Perlu diketahui, menurut pakar sagu, Nadirman Haska mengatakan, dari total 2,2 juta ha lahan sagu dunia, 1,4 juta ha diantaranya ada di Indonesia. Dan Papua sendiri memiliki lahan sagu seluas 1,2 juta ha.
Artinya 90 persen potensi sagu tersimpan di Papua, dan hampir 50 persen potensi sagu dunia ada di Papua. Maka tak heran, sagu menjadi makanan pokok masyarakat Papua. Karena memang sangat mudah mendapatkannya ketimbang padi.
Akan tetapi, merujuk pada pentas musik kontemporer bertajuk Sagu (Da') vs Sawit karya Septina Rosalina Layan digelar pada 6–7 Juni 2017 di Waena, Jayapura, Papua. Merefleksikan keprihatinannya terhadap semakin langkanya sagu sebagai makanan pokok di Papua, akibat kian meluasnya lahan perkebunan kelapa sawit. Padahal, tanah Papua sangat cocok untuk pembudidayaan tanaman sagu.
Itu baru sagu. Alih fungsi lahan pangan lokal menjadi lahan-lahan padi pun membuat pelik masalah. Masyarakat Papua yang dalam sejarah dan tradisi konsumsi pangannya sangat bergantung pada ubi dan sagu, mulai terbiasa mengkonsumsi nasi seiring dengan kebijakan pangan pemerintah yang berorientasi pada beras.
Perlahan pengetahuan masyarakat Papua terhadap arti penting pangan lokal dalam kesehariannya mulai terputus. Masyarakat Papua sedikit demi sedikit seakan dipaksa untuk mengkonsumsi pangan yang tidak biasa.
Wajar jika pada 10 Mei 2016, Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah menyatakan bahwa wilayah Papua tidak cocok untuk pengembangan tanaman semusim seperti padi. Sebaliknya, yang cocok adalah tanaman perkebunan dengan masa tanam panjang.
Namun pernyataannya justru bertolak-belakang dengan kebijakan pangan Presiden Joko Widodo sendiri yang pada Mei 2015 mendukung konversi lahan seluas 1,2 juta ha untuk program The Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
MIFEE merupakan kelanjutan dari program Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) yang dimulai pada 2006 pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Apa yang terjadi dari pelaksanaan program MIRE dan MIFEE tak lebih membuahkan hilangnya kawasan hutan, ekosistem, potensi pangan lokal, serta tersingkirnya penduduk lokal dari tanahnya sendiri.
Inilah salah satu akar dari cikal-bakal pergeseran konsumsi pangan lokal yang dalam jangka panjang bakal mengikis memori kolektif masyarakat Papua terhadap kekayaan potensi pangan lokalnya. Karena tak bisa kita memaksakan apa yang sudah menjadi konsumsi pangan mereka selama berabad-abad lalu, dengan seketika diubah menjadi pangan yang tidak biasa dikonsumsinya.
Sebagai contoh kecil, bagaimana orang Indonesia sangat merindukan nasi, sambal hingga makanan berbumbu rempah ketika berada di luar negeri, khususnya di kawasan yang mempunyai pangan lokal yang berbeda jenis. Jangan berbohong, perut Anda pasti tidak bisa menerima makanan itu.
Lantas, apakah dalam jangka pendek program-program pangan pemerintah telah memenuhi kesejahteraan fisik masyarakat Papua sendiri? Kesejahteraan tak bisa dipukul rata, bahkan tak seluruh berbuah baik ketika terjadi kasus kelaparan dan gizi buruk massal di Asmat yang ramai diberitakan media beberapa pekan terakhir.
Kementerian Sosial mencatat, sejak September 2017 hingga Januari 2018 ada 63 anak meninggal akibat campak dan gizi buruk, 393 jiwa menjalani rawat jalan, dan 175 menjalani rawat inap. Meski sudah mulai terjadi sejak September tahun lalu, peristiwanya baru ramai diberitakan sekarang. Artinya, ada kasus-kasus kelaparan tersembunyi di Bumi Cendrawasih yang tidak/belum diketahui. Ironisnya, meski terhitung banyak jumlah korban, tapi sebagai sebuah isu nasional, peristiwanya lekas terlupakan.
Tidak hanya terjadi tahun ini, majalah Tempo pernah melakukan investigasi yang diterbitkan 15 November 2009. Kala itu Tempo melakukan investigasi di Kabupaten Yahukimo di Kaki Pegunungan Jayawujaya. Tercatat, sejak Januari hingga Agustus 2009 ada 92 orang meninggal kelaparan. Ternyata bukan hanya di tahun itu. Pada 2005 bencana kelaparan sudah terjadi di Yahukimo. Tercatat ada 55 jiwa yang meregang nyawa akibat kelaparan saat itu.
Kelaparan dan gizi buruk seperti pernah terjadi di Yahukimo dan kemudian Asmat adalah bukti dari ketiadaan edukasi dan pendampingan dalam menjaga tradisi budidaya dan konsumsi pangan lokal. Ditambah pula dengan mulai masuknya produk-produk makanan instan ke Papua lambat laun semakin mengikis memori dan kebiasaan konsumsi kolektif masyarakat terhadap potensi pangan lokalnya.
Padahal pangan lokal sejatinya adalah bagian dari identitas pokok setiap kebudayaan manusia di mana pun. Pupusnya tradisi budidaya dan kebiasaan konsumsi pangan lokal dapat berandil pula dalam memupus jatidiri generasi suatu bangsa atau suku bangsa.
Tak heran kelaparan-kelaparan tersembunyi terjadi dan banyak memakan korban jiwa. Tapi ini bukan semata soal urusan perut belaka. Lebih dalam dari itu, ini soal bagaimana menjaga kelestarian pangan lokal demi menjaga masa depan generasi penerus dari ancaman kelaparan-kelaparan tersembunyi.

