Catatan Sang Berandal, Novel Kisah Santri Sekaligus Seorang Punk
Catatan Sang Berandal merupakan novel seri kedua dari novel sebelumnya, yang berjudul Berandal Bermoral. Novel ini mengisahkan tentang perjalanan kehidupan sorang santri sekaligus seorang Punk bernama Fadli, yang hidup atau tinggal di lingkungan pesantren namun dekat dengan dunia jalanan. Cerita ini berawal dari kehidupan Fadli ketika mengenyam pendidikan sekolah menengah pertama, bersama kawan-kawannya dalam Komunitas Poetaw 02. Komunitas tersebut dikenal sebagai sekumpulan anak-anak yang dicap atau berlabel nakal dan suka membuat ulah, seperti bolos sekolah, berkelahi di sekolah, hingga tawuran dengan siswa sekolah lainya. Kebanyakan dari mereka juga cukup dekat dengan dunia jalanan, meski berlatar belakang pesantren. Kemudian kehidupan Fadli beranjak menuju bangku Sekolah Menengah Atas dan masih menjadi santri berjiwa punk ataupun sebaliknya. Pada masa inilah, Fadli banyak merasakan gejolak dan amarah ketika mengamati lingkungan sekitarnya maupun realitas di jalanan. Ia beranggapan system pendidikan yang hanya menekankan pada aspek formalitas saja dan menjauhkan siswa dari realitas dirinya menjadi salah satu alasan ketimpangan sosial terjadi.
Kemudan Fadli beranjak memasuki masa kuliah setelah beberapa proses perenungan yang cukup panjang. Ia mulai belajar di organisasi dan cukup aktif di dunia perkuliahan, meski pada akhirnya menemui realitas timpang yang sama seperti saat ia di sekolah, yakni menyamaratakan semua kemampuan mahasiswa sehingga sulit untuk mengetahui potensi dirinya, ditambah pendidikan yang seakan diselenggarakan guna kebutuhan pasar, membuat Fadli mulai berontak, namun dengan cara yang berbeda dengan masa-masa sebelumnya.
Sebuah novel penuh pergolakan pemikiran seorang pemuda yang merepresentasikan diri sebagai bagian dari hitam dan putih (Punk dan Santri), sehingga memunculkan sudut pandang berbeda yang anti-maenstream. Novel tersebut bisa mengantarkan penulisnya lulus 7 semester di UIN Walisongo tanpa mengerjakan skripsi, bahkan bisa mendorong berlakunya regulasi Lulus dengan Tugas Pengganti Skirpsi, yakni dengan karya di bidang jurusan masing-masing. Kabarnya penulis Novel Best Seller Catatan Sang Berandal, kini menyelesaikan studi S2 dalam kurun waktu 3 Semester yang juga mengangkat tema penelitian tentang Punk dan Pendidikan Agama.
Kelebihan
Berkisah kehidupan yang berbeda dengan kisah-kisah lainya, penulis mencoba menggambarkan sebuah cerita yang tidak seperti biasa. Novel ini mengisahkan sisi buruk tokoh utama yaitu Fadli di masa-masa sekolahnya, mengenalkan pada pembaca tentang kenakalan tokoh Fadli yang dirasa cukup unik untuk menjadi tokoh utama yang biasanya digambarkan sebagai sosok baik yang menjadi idaman pembaca. Penulis juga menuliskan kisahnya dalam bentuk alur flashback atau kilas balik, yang membuat pembaca penasaran dengan cerita apa yang ada di balik tokoh utama yang diawal hendak mengisahkan kehidupan masa remajanya kepada anaknya. Bahasa yang digunakan dalam novel cenderung ringan dan mudah dipahami oleh pembaca, sehingga pembaca tidak perlu menafsirkan dua kali dalam memaknai kalimatnya. Sampul atau cover buku di desain berawarna hitam putih yang sederhana, namun memiliki arti simbolik yang memaknai perjalanan tokoh dalam novel tersebut, antara santri yang dianggap putih atau suci dan punk yang dianggap hitam atau keburukan. Kelebihan lainya yaitu, pesan yang ingin disampaikan oleh penulis yang begitu dalam, sehingga menjadikan novel tersebut best seller (penjualan terbaik).
Kekurangan
Setiap kelebihan pasti memiliki kekurangan didalamnya. Novel ini memiliki banyak kekeliruan dalam penulisan atau biasa disebut sebagai typo, salah pengetikkan yang membuat pembaca sedikit kebingungan dengan kata apa yang sebenarnya hendak penulis sampaikan. Terdapat beberapa dialog atau percakapan yang menggunakan bahasa Jawa atau bahasa daerah lainya, yang tidak dimaknai oleh penulis di sisi bawah atau luar margin, yang membuat pembaca di luar daerah tersebut sulit menerjemahkanya. Kemudian pada istilah-istilah khusus di dunia pesantren seperti hukuman-hukuman yang diterima santri, seperti takziran dan lain sebagainya yang tidak dimaknai juga, sehingga pembaca yang awam akan dunia pondok pesantren kesulitan dalam memahami.
* Tirah Suprihatini, Mahasiswi Sastra Indonesia UNDIP