DPR Ingatkan Tak Ada Lagi Penolakan Pasien BPJS

Laporan: Juven Martua Sitompul
Selasa, 01 Agustus 2023 | 20:08 WIB
Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo (Sinpo.id/DPR)
Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo (Sinpo.id/DPR)

SinPo.id - Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo mengingatkan agar tidak ada lagi penolakan terhadap pasien pengguna BPJS Kesehatan yang ingin dirawat. Pemberian perawatan terhadap masyarakat sudah menjadi pekerjaan rumah (PR) dari pemerintah yang melayani jalur BPJS.

"Yang paling utama saat ini adalah, bagaimana fokus pada pelayanan BPJS. Kita ketahui bersama, masih ada rumah sakit yang bandel dengan menolak pasien BPJS Kesehatan. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang harus ditingkatkan," kata Rahmad dalam keterangan tertulis, Selasa, 1 Agustus 2023.

Selain itu, legislator dari Dapil Jawa Tengah V ini mengungkapkan ada keresahan di masyarakat terkait kuota pasien BPJS Kesehatan di tiap rumah sakit yang memungkinkan adanya penolakan bagi pasien. Menurut dia, hal tersebut merupakan langkah diskriminatif terhadap pasien yang menggunakan BPJS Kesehatan. 

"Tidak adanya standarisiasi membuat pasien terdiskriminasi karena semestinya tidak boleh ada penolakan pelayan bagi seluruh warga indonesia baik mereka yang mengakses pelayanan menggunakan BPJS, asuransi maupun mandiri," kata dia.

Dari catatan Ombudsman Republik Indonesia, terdapat 700 pengaduan pada 2021-2022 terkait pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sebagian laporan tersebut adalah soal penolakan terkait kuota pelayanan kesehatan pada peserta BPJS Kesehatan.

Oleh karena itu. Rahmad berharap tidak ada lagi rumah sakit yang bermitra dengan BPJS Kesehatan menolak memberikan layanan bagi peserta jaminan sosial tersebut. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

"Kesehatan adalah hak bagi masyarakat yang harus dipenuhi pelayanannya oleh negara. Jadi pemerintah harus memberi penekanan kepada setiap rumah sakit, bahwa harus memberikan layanan terbaik bagi setiap pasien," kata Rahmad.

Apabila ada rumah sakit yang membandel, BPJS diminta memberi sanksi tegas agar menjadi pembelajaran bagi yang lainnya. Dengan begitu, akan tercipta transformasi pelayanan kesehatan yang baik, ramah, dan nyaman bagi setiap pasien BPJS Kesehatan. 

"Kalau perlu sanksinya pemutusan kontrak kerja sama dengan BPJS Kesehatan. Tindakan tegas ini akan menimbulkan persepsi positif di masyarakat terkait transformasi pelayanan kesehatan," kata dia.

Di sisi lain, Rahmad mengingatkan harus ada peningkatan pelayanan kesehatan untuk masyarakat. Apalagi, saat ini ada wacana kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada 2025.

"Yang utama berpegang dari keterangan pemerintah bahwa sampai 2024 tidak ada kenaikan. Yang menjadi fokus saat ini adalah bagaimana fokus pelayanan BPJS. Di rumah sakit-rumah sakit harus terus di tingkatkan,” ucap Rahmad.

"Peserta BPJS Kesehatan harus menjadi tuan rumah yang baik, rumah sakit yang tidak menaati kerja sama harus ditertibkan, serta tidak ada alasan lagi RS menolak pasien," timpal dia.

Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) memperkirakan iuran BPJS Kesehatan berpotensi naik pada Juli 2025, menyusul perubahan tarif standar layanan kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2023.

Permenkes ini mengatur standar tarif terbaru yang menggantikan standar tarif pelayanan kesehatan lama baik untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) maupun Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) yang diatur dalam Permenkes Nomor 52 Tahun 2016.

"Soal ancaman adanya minus BPJS perlu dipikirkan oleh manajemen dengan melakukan terobosan yang memungkinkan agar terhindar dari defisit yang besar," kata Rahmad.

Dari analisa DJSN, surplus aset neto BPJS Kesehatan hingga 31 Desember 2023 yang sebesar Rp56,5 triliun bisa berbalik negatif pada 2025. Defisit ini akan muncul pada Agustus-September 2025, sekitar Rp11 triliun.

Selain itu, juga ada hitungan utilitas atau pemanfaatan BPJS Kesehatan yang meningkat hingga 2023, ditambah dengan adanya perluasan kontrak antara BPJS Kesehatan dengan pihak rumah sakit dari 2.963 pada 2022 menjadi 3.083 pada 2024.

"Potensi kenaikan tarif iuran itu belum mempertimbangkan rencana kebijakan implementasi single tarif iuran atau kelas rawat inap standar (KRIS) yang menghapus sistem kelas 1, 2, 3 BPJS Kesehatan," kata Rahmad.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI