Penghayat Kepercayaan Minta Proses Nikah dan Meninggal Dilakukan Sesuai Keyakinan

Laporan: Tim Redaksi
Kamis, 27 Juli 2023 | 05:56 WIB
KTP Penghayat Kepercayaan (Antara Jatim/Budi Candra Setya/zk)
KTP Penghayat Kepercayaan (Antara Jatim/Budi Candra Setya/zk)

SinPo.id -  Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) meminta proses menikah, pengurusan umat meninggal dunia, dan pendidikan agama di sekolah dilaksanakan sesuai keyakinan. Penghayat Kepercayaan adalah binaan Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Tradisi Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Staf Khusus Menteri Agama bidang Media dan Komunikasi Publik Wibowo Prasetyo 
mengatakan Kemendikbud telah menerbitkan Pedoman Pembinaan Teknis Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Salah satunya diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1991/1992.

Dikatakan, dalam bagian pendahuluan pedoman itu dijelaskan bahwa pembinaan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilakukan dalam rangka pembangunan kebudayaan karena kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dalam kenyataannya memang merupakan bagian kebudayaan nasional yang hidup dan dihayati oleh sebagian bangsa Indonesia.

“Regulasi mengatur bahwa Penghayat Kepercayaan adalah binaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bukan Kemenag. Dalam ketetapan MPR Nomor IV/MPR/ 1978 , Nomor II/MPR/ 1983 dan Nomor 11/ MPR/ 1988 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara antara lain ditetapkan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama,” ujarnya di laman Kementerian Agama pada Rabu 26  Juli 2023. 

Menurut dia, Kementerian Agama tidak memiliki kewenangan secara langsung untuk melakukan pembinaan terhadap aliran kepercayaan. Menurut Wibowo, aliran kepercayaan saat ini memang sudah dapat dicatatkan dalam kolom KTP. 

Pada 2017, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan gugatan empat penghayat kepercayaan, yaitu Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim terkait Pasal 61 yang menjelaskan tentang pengisian kolom agama pada KTP. Atas gugatan itu, MK menyatakan bahwa kata 'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk 'kepercayaan'.

“Keputusan MK bersifat final dan mengikat sehingga harus dipatuhi. Kementerian Agama tentu mematuhi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Aliran Kepercayaan,” jelasnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI