Pembatasan Bantuan Oleh Junta Militer Myanmar Termasuk Kejahatan Perang

Laporan: Bayu Primanda
Sabtu, 01 Juli 2023 | 20:33 WIB
Kondisi Myanmar usai dihantam siklon Mocha (Sinpo.id/Gettyimages)
Kondisi Myanmar usai dihantam siklon Mocha (Sinpo.id/Gettyimages)

SinPo.id -  Pembatasan bantuan kemanusiaan yang diterapkan oleh penguasa militer atau junta militer Myanmar yang semakin ketat dinilai termasuk sebagai kejahatan perang, hal ini disampaikan Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR) menanggapi situasi terkini dari Myanmar yang baru dilanda bencana siklon Mocha.

Dilansir dari Reuters, PBB dalam pernyataannya menyebut pembatasan tersebut dapat masuk dalam kategori kejahatan perang layaknya kejahatan lainnya seperti pembunuhan yang disengaja, penyiksaan dan perlakuan merendahkan, pembiaran kelaparan, dan hukuman kolektif.

"Penolakan (bantuan kemanusiaan) yang disengaja seperti itu juga dapat (dikategorikan) kejahatan terhadap kemanusiaan seperti pembunuhan, pemusnahan, penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya, atau penganiayaan," demikian dikutip dari pernyataan OHCHR, Sabtu, 1 Juli 2023.

Sejak kudeta militer pada 1 Februari 2021, OHCHR telah mendokumentasikan bagaimana junta Myanmar terus mengedepankan tujuannya di atas prioritas-prioritas lain, termasuk kebutuhan mendesak untuk menerima bantuan keselamatan jiwa.

Meskipun militer membuka akses bagi para pekerja kemanusiaan untuk mengirimkan bantuan, pergerakan mereka justru dibatasi dan dikontrol secara ketat, kata laporan itu.

Tak hanya itu, militer selama ini juga telah beroperasi seolah-olah mereka yang memberikan bantuan kepada masyarakat sipil.

Krisis hak asasi manusia dan kemanusiaan Myanmar semakin meluas. Diperkirakan 1,5 juta orang telah mengungsi, dan sekitar 60.000 bangunan sipil dilaporkan telah dibakar atau dihancurkan.

Lebih dari 17,6 juta orang atau sepertiga dari keseluruhan populasi negara tersebut memerlukan bantuan kemanusiaan.

Secara keseluruhan, PBB melaporkan setidaknya 3.452 orang tewas di tangan militer dan afiliasinya, dan 21.807 orang telah ditangkap selama periode Februari 2021 sampai April 2023, mengutip "sumber-sumber yang dapat dipercaya".

"Laporan kami mengatakan situasi keamanan kian memburuk. Pemberi bantuan secara konsisten dihadapkan pada risiko penangkapan, pelecehan atau perlakuan buruk lainnya, atau bahkan kematian," kata juru bicara OHCHR, Ravina Shamdasani dalam jumpa pers dikutip situs web resmi kantornya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI