Perlawanan Tionghoa Terhadap VOC di Batavia
Pembunuhan 10 ribu warga Tionghoa di Jakarta dulu masih bernama Batavia memicu perlawanan terhadap VOC, meluas hingga ke sejumlah kawasan di Jawa
SinPo.id - Memori kelam dirasakan warga Tionghoa ketika Jakarta masih bernama Batavia di bawah Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), sebuah kongsi dagang Belanda yang kemudian berkembang dan memonopoli perdagangan di kawasan Asia.
Sekitar tahun 1740 perekonomian VOC di Batavia sedang memburuk, imbasnya pembangunan kota tak berjalan. Kondisi lesu juga dialami oleh industri gula yang saat itu dikelola oleh orang Tionghoa. Semua keadaan tersebut berdampak pada angka pengangguran yang semakin tinggi, imbasnya muncul banyak kriminalitas.
Daradjadi dalam bukunya Geger Pecinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa Jawa Melawan VOC menulis kondisi Batavia suram, namun orang Tionghoa tak sekalipun gentar ingin segera berangkat ke Batavia meninggalkan negara asalnya. Mereka ada yang masuk secara legal dan illegal.
“Bagi VOC saat itu, kondisi penduduk Tionghoa di Batavia dianggap telah membludak. Hal ini terlihat pada catatan VOC pada tahun 1739 terdapat 10.574 orang Tionghoa,” tulis Daradjadi.
Untuk mengatasi itu, VOC mengeluarkan peraturan kuota imigrasi yang berlaku sejak tahun 1690 dan diperbarui pada 1690, 1706. Isi peraturan tersebut memberlakukan pajak bagi orang Tionghoa yang masuk ke Batavia. Meski dalam beberapa waktu peraturan tersebut diberlakukan dengan ketat dan kemudian sedikit diperlonggar.
Keadaan mulai berubah pada 1738 Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier mengeluarkan peraturan agar semua orang Tionghoa yang telah berizin maupun belum harus memiliki permissiebriefjes atau izin menetap dengan cara membayar 2 ringgit.
“Bagi yang tak bisa membayar, VOC memberlakukan sanksi dengan emigrasi atau membuang paksa mereka ke Srilanka,” tulis Daradjadi lebih lanjut.
Menjelang bulan Februari 1740 saat besamaan orang Tionghoa sedang merayakan Imlek, VOC memberlakukan sanksi tersebut. Di antaranya penangkapan terhadap 100 orang Tionghoa di wilayah Ommelanden yakni Bekasi dan Tanjung Priok.
Penangkapan tersebut membuat orang Tionghoa bereaksi. Insiden kemudian terjadi pada 7 Februari 1740 ketika orang Tionghoa mulai menyerbu penjara Batavia untuk membebaskan kawannya di penjara.
Merespon keadaan tersebut, Dewan Hindia justru memberlakukan peraturan yang memperburuk situasi. Isinya orang Tionghoa yang telah memiliki izin tinggal maupun yang tidak, jika dicurigai melakukan perbuatan yang tak baik, maka akan ditangkap dan jika terbukti tak memiliki pekerjaan akan dibuang ke Srilanka.
Pembunuhan Massal
Pasukan VOC juga masuk ke setiap rumah orang Tionghoa dengan dalih mencari senjata. Namun praktiknya mereka turut menjarah harta yang dimiliki orang Tionghoa. Keadaan ini kemudian membuat Batavia menjadi anarkis. Protes pun dilancarkan oleh beberapa tokoh pemuka Tionghoa. Namun, respon positif tak didapati oleh mereka, bahkan beberapa saat kemudian terdapat kebakaran di permukiman Tionghoa. VOC menganggap ini sebagai ajakan kepada sesama Tionghoa lainnya untuk melawan.
Gubernur Jenderal Valckenier lantas mengumumkan agar seluruh pasukan VOC untuk membunuh orang Tionghoa tanpa pandang bulu. Ia juga menghasut penduduk bumiputera, termasuk para budak untuk turut membunuh orang Tionghoa dengan dalih keselamatan mereka tak terjamin jika memihak kepada orang Tionghoa.
“Pendeknya bangsa Tionghoa hampir seluruhnya mati ditumpas pada hari itu, salah atau benar, tanpa terkecuali,” tulis Huysers sebagaimana dikutip oleh Sejarawan Leonard Blusse dalam Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakanm dan Belanda di Batavia.
Leonard mencatat akibat insiden ini VOC diperkirakan telah membunuh 10.000 korban jatuh di kalangan Tionghoa. Insiden tersebut kemudian lebih dikenal dengan Geger Pecinan atau disebut Chinezenmoord yang berarti Pembunuhan orang Tionghoa.
Geger Pecinan kemudian sempat menjadi persoalan besar bagi Belanda. Alih-alih menyelesaikan masalah, justru hukuman diberikan kepada Kapten Tionghoa Nie Hoe Kong karena dianggap menghasut.
Kapitan Sepanjang, Pemimpin Pemberontakan Tionghoa
Pada September 1740 perlawanan, salah satu tokoh yang muncul dalam catatan sejarah adalah Sepanjang atau Kapitan Sepanjang yang memimpin 1.000 orang Tionghoa untuk melawan VOC.
Lokasi perlawanan Kapitan Sepanjang bermula dari Gandaria, kemudian berlanjut ke pos VOC yang berada di Ommelanden seperti Tianggerang, Meester Cornelis dan De Qua.
VOC melihat posisi perlawanan gerombolan orang Tionghoa tersebut seakan akan menyerang Batavia. Untuk mengatasi insiden tersebut, maka VOC mengeluarkan maklumat pada tanggal 8 Oktober 1740 yang berisi tiga hal.
Pertama, semua orang Tionghoa dilarang masuk kota untuk membawa keluar para perempuan Tionghoa lainnya. Kedua, orang Tionghoa yang menolak menyerahkan senjata atau melawan pejabat hukum atau menyerang pasukan VOC yang ada di luar benteng akan dihukum mati. Ketiga, mulai jam 18.30 semua orang Tionghoa harus berdiam di rumah masing-masing dan tak boleh menyalakan lampu.
“Desas-desus beredar bahwa orang Tionghoa tahanan kompeni akan dibuang di tengah laut. Berita ini menimbulkan kepanikan luar biasa di antara orang Tionghoa, baik yang memberontak maupun yang tidak,” tulis Daradjadi.
Kondisi itu membuat banyak orang Tionghoa yang tak memberontak mencoba melarikan diri ke luar kota. Namun, pasukan VOC menghalang-halangi usaha mereka dan beberapa kali letusan tembakan dikeluarkan.
Orang Tionghoa saat itu hanya membalas secara spontan dengan senjata seadanya seperti linggis, parang dan pentungan.
Perlawanan Meluas Hingga di Sejumlah Daerah di Jawa
Di luar proses pengadilan Geger Pecinan di Batavia membuat naik pitam bagi Kapitan Sepanjang. Mereka sempat mengadakan perlawanan ke benteng Batavia, meski pada akhirnya gagal. Kapitan Sepanjang sebagai pemimpin memutuskan pasukannya melarikan diri ke Bekasi. Setelah itu pasukan pemberontak berpindah ke wilayah Mataram melintasi Cirebon-Losari hingga Tegal.
Perjalanan pasukan pemberontak Tionghoa tidaklah sekedar melarikan diri, namun sekaligus menyerang pos kompeni. Perjalanan tersebut terkadang mulus lantaran mendapat simpati dari para pejabat bumiptera.
Puncaknya ketika Sunan Pakubuwono II memutuskan berpihak mendukung ke Kapitan Sepanjang. Dukungan tersebut sempat membuahkan hasil dengan mengusir keluar pasukan VOC di Kartasura, selain itu juga sempat mengepung beberapa hari markas VOC di Semarang.
Namun loyalitas Sunan Pakubowono II hanya berlangsung beberapa saat. Ketika pasukan VOC mulai kuat dan balik menyerang pasukan Tionghoa, di sinilah pada akhir tahun 1741 Sunan Pakubuwono II memutuskan hubungannya dan berbalik mendukung VOC.
Kapitan Sepanjang kemudian menjalin kontak untuk bekerjasama dengan Raden mas Garendi. Kerjasama ini membuahkan hasil, tepat pada 30 Juni 1742 perlawanan berhasil mengusir Pakubowono II dari Kartasura. Alhasil, Raden Mas Garendi kemudian dinobatkan sebagai Sunan Amangkurat V yang kemudian dikenal sebagai Sunan Kuning.
Sayangnya memasuki akhir 1742, perlawanan Tionghoa mulai melemah, Kartasura berhasil direbot kembali oleh pasukan dari Bupati Madura Cakraningrat yang berpihak pada VOC. Imbasnya, perlawanan tersebut berlangsung ke arah timur.
Memasuki September 1743 berlangsung pertempuran di Surabaya, namun di sinilah pasukan dari Garendi sempat terpisah dengan pasukan Sepanjang. Hingga akhirnya pada 2 Desember 1743, Garendi kemudian menyerah dan kemudian harus menerima hukuman pembuangan ke Sri Lanka. Sedangkan Kapitan Sepanjang mengabdikan diri pada sebuah kerajaan di Bali. (*)