Kuasa Hukum Protes Penangkapan WN Kanada di Canggu Bali
SinPo.id - Kuasa hukum warga negara (WN) Kanada berinisial SG alias Stephane Gagnon (50), Dalimunthe and Tampubolon (DNT) Lawyers, protes atas penangkapan kliennya. SG yang ditangkap di Canggu, Bali pada 19 Mei 2023 disebut merupakan buronan Interpol.
Perwakilan DNT Lawyers, Pahrur Dalimunthe, menyatakan bahwa SG merupakan WN Kanada yang sudah tinggal dan menetap di Bali sejak 2020. SG memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) dan membuka usaha di Bali dengan puluhan pekerja.
"Pada Februari 2023, SG didatangi oleh oknum dengan membawa selembar kertas print bertuliskan red notice interpol, pada saat pertemuan itu, oknum tersebut mengatakan bahwa SG masuk dalam red notice interpol, dan akan di tangkap dalam waktu 4sampai 6 minggu," ucap Pahrur dalam keterangannya pada Minggu, 4 Juni 2023.
"Saat pertemuan, oknum tersebut mengatakan bisa dibantu agar tidak ditangkap, dengan syarat harus menyerahkan sejumlah uang," sambungnya.
SG melihat saksama identitasnya dalam red notice tersebut, ternyata itu bukan SG karena identitasnya berbeda dengan identitas yang tertulis dalam red notice tersebut. Karena merasa identitasnya berbeda dengan identitas yang ada dalam red notice, SG menghiraukan permintaan oknum tersebut.
"Bahwa beberapa waktu kemudian, oknum tersebut kembali datang, kali ini beberapa orang. Saat pertemuan, oknum-oknum tersebut mengatakan bahwa penangkapan akan dilakukan," jelas Pahrur.
Karena merasa terganggu dan ingin agar tidak diganggu kembali, atas permintaan oknum-oknum tersebut, SG mengirimkan sejumlah uang sebesar Rp750 juta rupiah, Rp150 juta rupiah dan Rp100 juta. Semuanya dikirimkan melalui transfer.
"Berdasarkan bukti dan keterangan yang disampaikan oleh oknum tersebut, uang tersebut dikirimkan untuk oknum di Divhubinter Polri dan beberapa oknum lainnya," kata Pahrur.
"Bukti transfer, percakapan dan video tindakan-tindakan oknum ini ada dan bisa diserahkan jika ada penyidikan yang dilakukan oleh Polri maupun KPK untuk menindak oknum-oknum ini," tambah Pahrur.
Tidak lama kemudian, oknum tersebut meminta uang sebesar Rp3 miliar. Uang tersebut katanya akan dibagikan kepada beberapa pihak di divhubinter. Jika uang itu ada pada 20 April 2023, maka SG tidak akan ditangkap.
"Bahwa karena merasa bukan dia yang ada pada red notice tersebut, SG menolak memberikan uang Rp 3 miliar tersebut, dan merasa bahwa oknum-oknum ini adalah sindikat," kata Pahrur.
Pada 19 Mei 2023, SG tiba-tiba ditangkap di kediamannya di daerah Canggu Bali. pada saat ditangkap, rumah SG juga digeledah, dokumen pribadinya disita.
"Ke semua tindakan tersebut dilakukan sewenang-wenang tanpa berdasar hukum, melanggar KUHAP," ucap Pahrur.
Pada 20 Mei 2023, polisi memaksa SG untuk menandatangani beberapa dokumen Bahasa Indonesia. Padahal SG tidak bisa Bahasa Indonesia dan saat itu tidak didampingi oleh pengacara. Karena takut, SG menandatanganinya.
"Ternyata kemudian diketahui bahwa itu adalah surat penangkapan dan penahanan, dan mencantumkan nama SG sebagai tersangka atas suatu tindak pidana berdasarkan adanya LP A dan Surat Perintah Penyidikan," ucap Pahrur.
"Padahal jelas-jelas SG tidak terlibat dalam pidana apa pun di Indonesia. Adanya LP, penyidikan, dan penetapan tersangka dalam dokumen tersebut menandakan bahwa SG melakukan tindak pidana di Indonesia. Nyatanya tidak pernah ada," kata Pahrur.
"Adanya LP, Penyidikan, dan Penetapan tersangka pada hari yang sama, adalah pelanggaran serius terhadap hukum acara pidana di Indonesia. Bahwa kemudian SG ditahan di rumah tahanan Polda Bali sejak 20 Mei 2023," ucap Pahrur.
Ketika SG ditahan, oknum-oknum itu datang kembali sembari menyatakan jika masih mau bebas dan tidak akan ditangkap oleh polisi maupun Imigrasi, SG harus memberikan uang sebesar Rp3 miliar.
Bahwa karena merasa sudah menjadi korban 'scam', SG tetap menolak. Oknum-oknum tersebut masih mendatangi SG beberapa kali selama di tahanan. Sikap SG tetap menolak.
"Setelah 16 hari mendekam dalam tahanan, SG tiba-tiba diberitahukan bahwa akan oknum-oknum Polri akan membawa SG ke Australia, dengan pesawat dengan jadwal penerbangan pada Minggu, 4 Juni 2023 pukul 22.00 melalui Denpasar, Bali," ucap Pahrur.
"Selain itu, diketahui, bahwa SG dibawa tanpa ada serah terima dengan otoritas Kanada di Indonesia. Jadi tidak diketahui akan dibawa ke mana SG," kata Pahrur.
Membawa SG ke negara yang bukan negara SG merupakan pelanggaran proses ekstradisi, dan bentuk pelanggaran serius terhadap acara pidana di Indonesia dan HAM Internasional.
Beberapa alasan DNT Lawyers antara lain nama SG tidak ada dalam website red notice Interpol, identitas dalam red notice yang diberikan oleh oknum dan polisi saat penangkapan dan berbeda dengan identitas milik SG.
"Status pernikahan dalam red notice yang diberikan oleh oknum dan polisi saat penangkapan, berbeda dengan identitas milik SG," katanya.
Kemudian, di dalam red notice dinyatakan secara tegas, bahwa jika orang yang ada dalam red notice berada di wilayah negara yang tidak memiliki ekstradisi dengan Kanada, maka penangkapan tidak boleh/tidak bisa dilakukan. Indonesia tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Kanada sehingga secara hukum tidak boleh menangkap orang yang ada dalam notice tersebut.
Jadi kemungkinan diduga kuat, apa yang dilakukan oleh Kepolisian adalah melanggar UU Ekstradisi dengan membawa seseorang secara illegal ke luar negeri, lalu menyerahkannya kepada pihak lain di luar negeri.
SG bisa jadi tidak diserahkan ke Kanada, Keselamatannya terancam karena SG adalah saksi kunci yang mengetahui secara jelas modus dan bukti-bukti adanya markus dalam penangkapan buronan interpol di Indonesia.
Tindakan membawa WNA ke negara yang bukan negaranya adalah tindakan tidak lazim, karena biasanya jika negara lain ingin menangkap buronan di Indonesia maka penegak hukum dari negara tersebut secara langsung datang ke Indonesia. Penyerahan dilakukan di Indonesia, baik dengan perjanjian ekstradisi maupun tanpa perjanjian ekstradisi.
Alasan terakhir, Indonesia telah memiliki UU dan peraturan pelaksana tentang ekstradisi, yang mana dalam ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, penyerahan tahanan antar negara yang tidak memiliki hubungan ekstradisi hanya bisa dilakukan jika atas permintaan diplomatik ke kementerian luar negeri dan hanya bisa dilakukan jika memperoleh persetujuan Presiden dan diputuskan berdasarkan pengadilan negeri di mana buronan ditangkap.
"Kenapa justru ini tiba-tiba membawa orang keluar negeri? Diduga kuat karena dugaan pemerasan yang dilakukan oleh beberapa oknum akan terbongkar. Maka SG harus dimusnahkan?" kata DNT Lawyers.
DNT Lawyers melihat kasus ini janggal. Mereka mendesak tiga hal.
Pertama, perwakilan DNT Lawyers Boris Tampubolon mengatakan pihaknya meminta penundaan pelaksanaan penyerahan SG hingga status SG jelas. Pihaknya memandang, harus ada kesamaan data antara red notice interpol dan identitas SG.
"Red notice harus tercantum dalam website interpol sebagaimana buronan lainnya," katanya.

Kedua, lanjut Boris, jika akan ada handover maka pihak Kanada harus datang langsung ke Indonesia, dan harus sesuai dengan UU Ekstradisi yang berlaku dan mengikat di Indonesia.
Terakhir, ia mendorong KPK, Propam Polri dan Kompolnas ikut melakukan investigasi dalam dugaan kuat markus buronan interpol ini, karena ini merupakan tindakan yang merusak nama baik Indonesia di mata internasional.
"Pihak-pihak yang menerima uang, yang terlibat, harus ditindak, sebagaimana tindakan yang selama ini dilakukan oleh Bapak Kapolri untuk bersih-bersih oknum yang tidak bertanggung jawab," ujar Boris.