Medsos, Sebuah Industri Kreatif Atau Peluru Propaganda?
Jakarta, sinpo.id - Siapa tak kenal twitter, facebook, instagram hingga youtube. Bagi generasi Milenial (mereka yang lahir tahun 1980-2000) wajib hukumnya untuk mempunyai akun sosial media ini.
Jumlah media sosial tersebut terus meningkat dan bervariasi jenisnya. Konsekuensinya, generasi Milenial dan bahkan generasi Z (mereka yang lahir tahun 2000-2014) sudah mempunyai interaksi yang sangat intens dengan media sosial.
Terlepas dari cara, fungsi, dan efek dari penggunaan media sosial, para generasi Z dan Milenial lah yang menjadi saksi dari perjalanan perkembangan media sosial yang sangat dinamis beberapa tahun terakhir.
Media sosial (medsos) tercipta sebagai bukti pesatnya perkembangan industri kreatif dalam satu dasawarsa ini. Bahkan jumlah pekerja di industri ini mengalami peningkatan yang signifikan sejak 1980-an.
Presiden Joko Widodo pernah berujar, industri kerajinan, industri kreatif di Indonesia telah tumbuh dengan sangat cepatnya, tumbuh dengan menakjubkan. Bahkan, total nilai ekspor produk industri kerajinan dan industri kreatif mencapai Rp 852 triliun.
Dalam konteks milenial dan generasi Z, media sosial menjadi media utama dalam mempromosikan industri kreatif.
"Ajang publikasi sektor industri kreatif tidak bisa dipisahkan dari media sosial. Keduanya berjalan beriringan. Bahkan dalam publikasi antar negara, milenial dan generasi Z menjadi pemain handal dalam hal ini," terang Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) dalam sebuah tulisannya.
Sayangnya yang terjadi, tidak semua bagian dari generasi milenial dan Z yang menganggap dirinya sebagai generasi di atas rata-rata (above average) tersebut, bisa memfilter atau memilah siapa dan apa saja konten yang layak untuk dibagikan.
Pakar komunikasi dari Yale University Amerika Serikat, Harold D Lasswell dalam Propaganda Technique in the World War memperkenalkan magic bullet theory atau teori peluru.
Teori ini mengasumsikan media sebagai pistol, yang menembakan informasi pada pikiran masyarakat, dan masyarakat yang menjadi komunikan (penerima pesan) menerima pesan tersebut tanpa ada keraguan.
Magic bullet theory tidak akan hanya menjadi sekadar teori bila masyarakat menerima dan menelan mentah-mentah pesan yang merupakan asumsi, atau tidak berdasar pada riset ilmiah.
Pesan dalam konteks ini adalah konten yang kita konsumsi dalam media sosial. Sebagai salah satu bentuk dari media baru, kita tidak bisa menepis pengaruh media sosial yang dewasa ini menjadi alat propaganda kepentingan kelompok.
"Dalam konteks media sosial juga, propaganda bisa dilebur dalam hate speech atau ujaran kebencian yang seringkali dipahami secara tekstual oleh konsumen media sosial. Akibatnya, penyebaran informasi menjadi chaos," seperti yang diterangkan PPI.
Meski pelarangan ujaran kebencian telah tertera dalam perubahan UU Informasi dan Transaksi Elektronik 2016, namun sifatnya telah diubah dari delik umum menjadi sebatas delik aduan.
Pada delik aduan, pelaku ujaran kebencian hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang merasa menjadi korban dari penyebaran informasi tersebut.
Di Indonesia sudah ada kelompok-kelompok penyebar ujaran kebencian yang berhasil diungkap, yaitu Saracen. Mereka menawarkan jasa untuk menyerang kelompok tertentu dengan melakukan propaganda di media sosial.
Kliennya pun tak main-main. Disinyalir oknum pejabat teras negeri ini sering menggunakan jasa Saracen untuk menggiring opini masyarakat lewat sosial media demi mencapai kepentingan tertentu.
Sungguh ironis, sosial media yang awalnya sebagai buah hasil dari industri kreatif, malah dimanfaatkan untuk melakukan propaganda yang tak kalah kreatif pula.
Bila masyarakat tak dapat memilah informasi yang tersebar luas di sosial media, maka pesan yang disampaikan akan langsung dianggap menjadi sebuah fakta yang empiris.
"Kita harus lebih fokus terhadap bagaimana menggunakan media sosial sebagai dukungan terhadap pertumbuhan industri kreatif, atau paling tidak dengan tidak ikut-ikutan menjadi konsumen konten propaganda dalan media sosial yang hanya membuang energi," kata PPI dalam tulisannya tersebut.
Terlebih, bangsa Indonesia kini tengah dihadapkan dengan tahun yang 'panas'. Perhelatan Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 sudah di depan mata. Momentum ini lah propaganda itu masif diluncurkan. Bila tidak berhati-hati dalam menelan informasi, 'Wajah' bangsa ini akan kembali pucat pasi
Kembali lagi, pendidikan di sini menjadi ujung tombak bagi masyarakat agar dapat memilah informasi yang beredar. Dan selain itu diharapkan Pemerintah mampu memblokir dan menindak tegas pelaku propaganda yang sudah meretakkan kedauatan bangsa ini.

