Menyelamatkan Nasib Para Wakil Tuhan di Bumi
Jakarta, sinpo.id - Menyimak refleksi akhir tahun Mahkamah Agung RI, jelas tersirat adanya ketidak percayaan sebagian besar masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Salahkah anggapan masyarakat itu? di satu sisi anggapan tersebut tidaklah salah. Kita harus mengakui bahwa penegakan hukum di Republik ini masih menyisakan persoalan tersendiri, terutama kinerja hakim.
Mungkin, bila diadakan survey terkait tingkat kepercayaan lembaga peradilan, kepercayaan terhadap hakim menduduki posisi paling buncit, alias sedikitnya kepercayaan masyarakat terhadap "wakil Tuhan" di muka bumi ini.
Seringkali masyarakat dipertontonkan oleh putusan-putusan yang membuat kita mengerutkan dahi. Ya, hakim selama ini cenderung dinilai tak mencerminkan rasa keadilan.
Akan tetapi walau bagaimanapun juga, kita sebagai negara yang menganut prinsip negara hukum (Reachstaat), stigma di atas sebaiknya tidak terlalu digeneralisir.
Hal tersebut juga membuat anggota Komisi III DPR RI Adies Kadir bertanya-tanya. Ada apa dengan "wakil Tuhan" di Bumi Pertiwi ini? Adies pun lebih lanjut mengatakan, mengapa selama ini apa yang hakim lakukan terkesan tidak ada benarnya.
"Seharusnya masyarakat memahami bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri," ungkapnya dalam sebuah tulisannya.
Kembali Adies menekankan, jelas dalam konstitusi kita UUD '45 pasal 24 menyatakan bahwa hakim tidak dapat diintervensi oleh siapapun dan pihak manapun, termasuk atasannya sendiri!
Masyarakat perlu tahu bahwa Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara harus sesuai dengan hati nuraninya yang paling dalam. Di sinilah "wakil Tuhan" di bumi ini diuji integritas dan kapabilitasnya dalam memutus suatu perkara.
Menjadi suatu hal yang biasa ketika dalam suatu perkara tentunya ada para pihak yang bersengketa dan merasa sama-sama benar, dimana akhirnya pasti ada yang kalah dan ada yang menang.
"Yang menang merasa paling benar, yang kalah pasti tidak terima. Karena merasa benar tadi, tetapi dikalahkan oleh hakim. Di sinilah awal masalah itu muncul," kata Adies melanjutkan.
Setelah itu barulah "peperangan" dimulai. Pihak yang kalah sudah hampir bisa dipastikan akan mencari jalan untuk bagaimana bisa menang, dan mengajukan peninjauan kembali.
"Dengan alasan ada kesalahan yang nyata dari putusan hakim atau ditemukan lagi bukti-bukti baru, bahkan bisa juga karena ada perlawanan dari pihak ketiga," ujar Adies.
"Hal-hal ini yang mengakibatkan kepastian hukum di negara kita tidak pernah selesai. Yang paling celaka kalau putusan PK-nya menganulir putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Maka, jadilah lembaga peradilan kita lembaga yang diklaim kurang dipercaya masyarakat," ungkap Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI ini.
Bagaimana seorang Artidjo Alkostar Hakim Agung yang selalu menghukum koruptor tanpa tedeng aling-aling, dan sudah tidak terhitung banyaknya putusan tersebut. Lalu masih pantaskah kita menuding lembaga peradilan tak mencerminkan rasa keadilan?
"Belum lagi kekuasaan kehakiman dinodai oleh sebagian kecil (14 orang dari 7.989 orang Hakim), yang terjaring kasus korupsi," kata Adies.
Adies menyayangkan, masyarakat seolah-olah langsung menganggap semua hakim di Indonesia berprilaku sama, persis dengan 14 hakim tersebut. Vonis ini sagat krusial. Jika putusannya tidak memuaskan sebagian kalangan, atau tidak memuaskan kelompok tertentu, pastinya akan langsung diartikan bahwa hakimnya tidak berintegritas.
Sungguh naif sekali jika setiap kesalahan oknum disematkan pada semuanya bahkan institusinya, ini menyedihkan.
Adies lantas memberikan contoh, kala seorang Ibu Hakim Pengadilan Negeri Surabaya menyampaikan unek-uneknya saat mendapat kunjungan Komisi III DPR RI. Adakah yang tahu kalau hakim di Pengadilan kelas I Surabaya tinggal di indekos dengan kamar seluas 4x3 meter persegi, dan hidup jauh dari keluarganya?
"Adakah yang tahu kalau hakim ini ke kantor naik angkot? Adakah yang tahu kalau hakim ini menangis karena bingung bayar cicilan rumah dan biaya kuliah anaknya kalau masa pensiunnya dipangkas?" ujarnya.
"Adakah yang tahu kalau setelah pensiun gaji mereka lebih kecil dari PNS di pengadilan? Adakah yang tahu bagaimana beratnya kehidupan 'wakil Tuhan' di bumi ini, yang menjadi tumpuan bagi pencari Keadilan?" lanjut Adies.
Dalam Kesendirian mereka tidak bisa berbuat apa-apa, sendiri tidak bisa mengomentari, dinilai seseorang tidak baik mereka harus menerima, bahkan bila dinilai baik pun mereka tidak perlu mendapt pujian.
Hal-hal seperti inilah yang sebenarnya harus diperhatikan juga oleh para pemerhati dunia peradilan dan juga Pemerintah.
Sudahkah kita memberikan perhatian lebih kepada para "wakil Tuhan" di bumi ini, yang sudah bekerja dengan hati Nuraninya, tanpa intervensi dari pihak manapun.
Tak lupa, Adies mengajak masyarakat untuk mengikuti semua aturan hukum yang sudah diatur dalam bingkai Peraturan Perundang undangan Negara Indonesia, tanpa harus mencari-cari kesalahan dari para "wakil Tuhan" ini.
Apabila ada hal-hal yang kurang baik dari sebagian kecil mereka, mari sama-sama kita perbaiki untuk kemajuan kekuasaan Kehakiman yang lebik baik dari saat sekarang.
"Adalah tugas kita semua bersama-sama untuk menyelamatkan 'wakil Tuhan' di bumi," pungkasnya.
