Pena Kartini, Dialetika Pemikiran dan Perjuangan

Laporan: Sinpo
Jumat, 21 April 2023 | 07:00 WIB
Fitriani Djusuf
Fitriani Djusuf

“Dus Ding An Sich” filosofis yang dapat kita jadikan pedoman untuk menjelaskan bahwa segala sesuatu objek itu “ada” dan tidak terlepas dari proses hasil berfikir manusia atas keberadaanya. Ada relasi kuat antara apa, bagaimana, siapa dan mengapa atas segala sesuatunya dapat dihasilkan, sehingga “menjadi ada”.

“Jika kau tidak berupaya merubah kondisi sekitarmu jauh lebih baik, maka kau yang akan diubah oleh kondisi dan waktu” barangkali kita bisa menilik sejarah perjuangan R.A. Kartini di masa silam. Kala itu ada relasi hermeunitik yang menggambarkan kesesuaian “teks” (korespondensi) dengan “kontekstualnya” (lingkungan) Kartini lahir dan dibesarkan.

Melalui pena tulis atas catatan kritis R.A. Kartini, hasil pemikiranya tidak bisa dilepaskan dari latar sejarah dan kondisi sosial kultur masyarakat Jawa saat itu.

Setiap 21 April menjadi hari peringatan perjuangannya terhadap segala bentuk perlakuan yang menindas dan diskriminatif, mewakili proses dialektika antara Kartini dengan alam sekitar dan dengan dirinya sendiri.

Maka penting untuk kita merefleksikan bagaimana perjuangan Kartini bukan sekedar membela perempuan, namun untuk memperoleh kebebasan atas hak pendidikan bagi “kaumnya”. “Kaum” sebagai kata “subyek” mengacu tidak hanya pada perempuan saja, namun masyarakat Jepara yang terdiskriminasi oleh bentukan stratifikasi sosial Kolonialis Belanda.

Perjuangan Kartini menjadi antitesa baru sebagai bentuk perlawanan atas konstruksi nilai-nilai kultur Jawa yang patriarkis dan diskriminatif. Jawa yang patriarkis terdeskripsi pada banyak catatan historis yang tersimpul dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada era Kartini waktu itu surat-menyurat digunakan sebagai media perjuangan.

Tanpa korespondensi (surat-menyurat) Kartini tidak akan dapat mendengar maupun melihat bagaimana perempuan dan pergerakan emansipasi di dunia telah terjadi. Demikianpun dunia tak akan mendapatkan cerita tentang diskriminasi pendidikan, tidak juga mendengar pemikiran kebebasan yang diinginkan oleh Kartini.

Dari proses ini kita bisa memetik nilai penting akan urgensi kebiasaan membaca, menulis dan mengarsipkan hasil pikiran atas refleksi/respon terhadap realitas sosial yang terjadi di lingkungan sekitar. Respon Kartini terhadap realitas sosial tidak serta merta muncul tanpa sebab, hal tersebut dikarenakan proses belajar melalui banyaknya kebiasaan membaca buku dan kemudian daya kritis untuk “membaca” keadaan sekitar. Hal lainya soal kemahiran menuangkannya dalam sebuah karya tulis.

Menyuarakan Lewat Tulisan

Buku yang diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” ini menjadi kumpulan atas catatan kritisnya. Catatan demi catatan dalam surat yang dikirim kepada sahabatnya menggambarkan perasaan dan hasil berfikir atas apa yang dialami secara pribadi. Banyak hal yang dialami Kartini, mulai dari kemelut dalam dirinya secara psikologis di masa kecil hingga beranjak dewasa.

Kemelut atas perlakuan yang berbeda dengan saudara laki-lakinya, baik dalam hal aksesibilitas terhadap pendidikan maupun aspek lainnya. Belum lagi benturan dirinya terhadap norma dan kebiasaan masyarakat Jawa yang “rigit”, mengatur bagaimana perempuan remaja hingga dewasa dibatasi dalam berpakaian, berbicara, bergaul dan menentukan jalan hidup serta pikiran atas masa depannya sendiri. Semuanya diatur dan ditentukan sedemikian rupa oleh Ayahnya sebagai kepala keluarga.

Hal lainnya soal pergumulan batinnya menghadapi situasi keharusan akan tantangan poligami dan tahap pingitan. Tahap pingitan menjadi satu keharusaan bagi perempuan dewasa yang akan menikah. Menjadi dewasa teryata membuat beban tersendiri bagi Kartini, titik ini yang membawanya menuju pada kondisi diri terjebak dalam dimensi “kegelapan” hingga pikiran dan nasibnya terbebas menuju terbitnya “terang”.

Gerakan pena tulis Kartini tidak an sich ada dengan sendirinya, tanpa dipengaruhi faktor tertentu. Secara psikologis, Kartini lahir dan dibesarkan tepat berada dalam kehidupan keluarga bangsawan atau ningrat dalam struktur kuasa Kolonialis Belanda. Secara tidak langsung Kartini kecil hingga remaja terbentuk pola pikir atas Jawa yang agraris, memungkinkan masyarakat dalam kondisi tertutup, memiliki stratifikasi kaku, mobilitas terhadap struktur ketat dan lainnya soal proses adaptasi nilai Barat yang liberalis.

Nilai Barat liberalis, modern dan cenderung westernis ini dibawa oleh Kolonialis Belanda yang hidup dan bergaul ketat dengan kalangan bangsawan kaum ningrat.

Struktur dan tatanan nilai masyarakat Jawa terbentuk dari proses asimilasi dan akulturasi dengan budaya Barat menguat sejak kuasa Kolonialis Belanda di Nusantara. Hal tersebut memungkinkan terbentuknya startifikasi dan kelas sosial tertentu sehingga menjadikan pribumi berada pada kelas terbawah dari Kolonial Belanda maupun bangsa asing (Arab, China, India/Gujarat) sebagai pendatang. Hanya kalangan ningrat atau bangsawan tertentu yang dapat dekat dengan kuasa Kolonial Belanda, mendapatkan hak atas pendidikan maupun lainnya.Terlihat bahwa ada dua arus nilai yang diterima selama masa perkembangan Kartini hingga menjadi dewasa.

Sedangkan secara sosiologis, Kartini hidup di sekitar keluarga yang notabene mengenyam pendidikan Barat, dikelilingi oleh banyak saudara laki-laki terpelajar dan menemukenali adanya kesenjangan antara kehidupannya dengan masyarakat di luar.

Stratifikasi sosial yang sangat senjang membuat Kartini merasa perduli terhadap nasibnya sendiri maupun masyarakat saat itu. Pasca refleksinya terhadap diri dan kondisi masyarakat sekitar sebagai dampak bangunan stratifikasi sosial masyarakat yang dikonstruk oleh Kolonialis Belanda Kartini mulai berjuang dengan penanya.

Refleksi atas serangkaian proses melihat, mendengar, merasakan kondisi sosial masyarakat Jawa kala itu, membuatnya menuliskan apa saja yang diterima melalui panca indra. Mungkin saja jika dulu Kartini tidak banyak menulis, hari ini kita tidak akan tahu apa yang diwariskan perempuan dan perjuangannya sehingga berdampak sangat besar bagi bangsa ini.

Perjuangannya melalui pena tulis menghasilkan serangkaian karya besar yang kemudian menjadi dasar pergerakan berfikir maupun fisik atas perjuangan perempuan dan bangsanya kemudian. Perjuangan atas bangsannya untuk menjadi cerdas dan terpelajar sehingga mampu keluar dari kondisi keterjajahan atas bangsa lain.

Pemikiran Kartini Relevansi Politik Perempuan

Barangkali relevan jika kita juga dapat mengingat pada sejarah dunia atas ketertindasan masyarakat Brazil yang agraris dan bagaimana Fraire berjuang secara pemikiran. Buah dari hasil refleksinya atas kondisi Brazil yang diskriminatif dan menindas terhadap kaum buruh perkebunan.

Fraire menghasilkan karya yang mampu menginspirasi dunia. Karya tulisnya menggambarkan bagaimana ketertindasan masyarakat Brazil yang sangat agraris yang mengantarkan Brazil menjadi penghasil kopi dan perkebunan terbesar kedua di dunia.

Hal tersebut tidak lepas dari sejarah kelam bagaimana stratifikasi sosial ketat dibentuk, diskriminasi sosial terjadi antar kelas buruh dan tuan tanah sehingga menciptakan banyak praktek penindasan. Karya Fraire juga menggambarkan soal pendidikan yang mempunyai fungsi sebagai alat pembebasan bagi kaum tertindas. Kuasa yang menindas tumbuh subur dalam masyarakat agraris yang tertutup dan memiliki stratifikasi kaku, tidak memungkinkan terjadinya mobilitas sosial secara cepat baik naik maupun turun.

Dari beberapa catatan soal Kartini maupun Fraire kita dapat memetik beberapa nilai yang perlu diperjuangkan. Pertama, pentingnya memperjuangkan masyarakat yang terniscaya oleh pendidikan, sehingga menjadi masyarakat yang “cerdas tercerahkan”, yang berarti terniscaya dan mampu melakukan perubahan kondisi usai kompleksitas pemahaman melalui proses pendidikan. Karena mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan menjadi cita-cita negara dan bangsa untuk dapat membantu keluar dari kelamnya kebodohan, rasa takut, kondisi terdiskriminasi dan tertindas. Kedua, perempuan sebagai kelompok rentan atas kondisi diskriminatif dalam dimensi politik sosial masyarakat, juga punya peluang untuk memperoleh haknya berkiprah dan menentukan nasibnya sendiri maupun menjadi inspirator bagi lingkungan serta bangsanya, dalam konteks pemilu mendapatkan hak dipilih, memilih dan ikut serta dalam penyelanggaraan Pemilu.

Dalam konteks negara yang masih baru belajar menerapkan demokrasi secara sistemik, mungkin kita bisa membawa nilai tersebut untuk diadopsi dalam lingkup kerja Bawaslu dan pengawasan pemilu. Bawaslu sebagai lembaga pengawasan pemilu memiliki tugas dan kewajiban sesuai dengan amanat UU No. 07 2017 yakni mengembangkan pengawasan partisipatif melalui banyak jalan.

Salah satunya yakni mengiatkan “Pendidikan Politik” sebagai upaya pencegahan atas muncul/terjadinya potensi pelanggaran pemilu. Upaya pencegahan dapat dilakukan dalam banyak kegiatan sosialisasi baik berbentuk daring maupun luring yang dapat diinisiasi dan formulasikan oleh Bawaslu untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat. Upaya tersebut tentu didorong dengan semangat bahwa proses mendidik masyarakat untuk memahami hak pilih, menjaga hak pilihnya dan ikut serta dalam mengawasi pemilu melalui pengawasan partisipatif.

Pendidikan yang bermakna sebagai serangkaian upaya dan usaha sadar merubah kondisi fikir, mental dan perilaku suatu kelompok/bangsa menjadi lebih baik dengan niscaya pengetahuan, pelatihan maupun kegiatan lainnya. Ada tiga aspek yang dapat dirubah dalam proses pendidikan yakni, kognitif, afektif dan psikomotorik. Dalam aspek kognitif Bawaslu berupaya memberikan pemahaman soal apa, bagaimana, mengapa, siapa Bawaslu serta peran dan fungsinya dalam pengawasan pemilu, diharapkan terjadi perubahan pemahaman, dari kondisi yang “tidak tau” menjadi “tau”.

Dalam aspek afektif, diharapkan usai pemberian pemahaman dilakukan, masyarakat mengalami perubahan sikap atas kompleksitas pemahamannya terkait pemilu dan pengawasan partisipatif sehingga mengantarkan kepada perubahan sikap yang mampu menguatkan nilai-nilai jujur, adil, bebas, berintegritas dalam pemilu dan demokrasi secara praktek. Kemudian terakhir adalah aspek psikomotorik atau kemampuan melakukan tindakan yang mencerminkan kearah positif, sebagai wujud adanya feedback respon terhadap stimulus yang diberikan. Contohnya masyarakat mampu bertindak ikut serta dalam pencegahan terjadinya pelanggaran pemilu dengan cara memberikan informasi awal atau menjadi pelapor terhadap dugaan pelanggaran pemilu kepada Bawaslu, baik pelanggaran yang rentan terjadi dalam tahapan kampanye seperti penyebaran hoax, ujaran kebencian dan money politik. Upaya melakukan pencegahan terhadap terjadinya bentuk pelanggaran pemilu, baik yang bersifat administrasi, kode etik maupun pidana Pemilu.

Ketika masyarakat memiliki pengetahuan dan cerdas menemukenali jenis pelanggaran pemilu, memahami soal materi lembaga-lembaga penyelenggara pemilu, baik KPU, Bawaslu dan DKPP kemudian tugas, peran dan fungsinya dalam pemilu, pentingnya masyarakat dan pengawasan partisipatif. Hal tersebut tentu menjadi keberhasilan sebagai penguatan demokrasi dan upaya pencerdasan masyarakat. Proses menyadarkan masyarakat soal seharusnya demokrasi sehat dan kondusif tentu tercermin dari adanya tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi dalam mengawal pemilu yang jujur, adil dan berintegritas.

Maka dengan merefleksikan perjuangan dan kepahlawanan Kartini kita dapat menarik nilai-nilai luhur yang dapat diterapkan dalam proses menjadi bangsa yang terdidik dan terniscya oleh ilmu pengetahuan.

Karena hanya dengan itulah memungkinkan masyarakat berada dalam sistem terhadap penguatan demokrasi yakni demokrasi yang partisipatif.

 

*Fitriani Djusuf, Komisioner Bawaslu Jakarta Barat

BERITALAINNYA
BERITATERKINI