TEROR KKB DI PAPUA

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan: Hentikan Operasi Tempur di Papua

Laporan: Tim Redaksi
Rabu, 19 April 2023 | 02:03 WIB
KKB Papua/Net
KKB Papua/Net

SinPo.id - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta Presiden dan DPR RI menghentikan operasi tempur dan pendekatan militeristik lainnya untuk menangani situasi keamanan di Papua. Menurut dia, Presiden dan DPR  harus melngevaluasi terhadap seluruh kebijakan keamanan, hukum, dan pembangunan di Papua.

"Pilihan operasi tempur adalah pilihan kebijakan yang akan terus memproduksi spiral kekerasan. Jika itu pilihan kebijakan yang akan ditempuh, maka Koalisi mendesak agar rencana itu dibatalkan," tulis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dalam keterangannya pada Selasa 18 April 2023.  

Peristiwa gugurnya prajurit dalam sebuah operasi yang disebut oleh TNI sebagai operasi penyelamatan Pilot maskapai Susi Air yang disandera oleh Tentara Pembebasan Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM) tentu menyisakan duka mendalam tidak hanya bagi keluarga prajurit yang gugur dan keluarga besar TNI. Karena itu, Koalisi menghaturkan rasa duka cita sekaligus berharap tidak ada lagi nyawa anak bangsa yang gugur akibat operasi militer di Papua.

"Kami memandang peristiwa baku tembak yang menewaskan prajurit kemarin harus menjadi pelajaran berharga bagi Presiden dan DPR untuk mengevaluasi pendekatan keamanan militeristik yang selama ini dijalankan di Papua. Kejadian ini bukanlah satu-satunya peristiwa. Sebelumnya Kapolri juga merilis data sebanyak 22 Prajurit TNI-Polri telah gugur dari tahun 2022 hingga sekarang," ujarnya

Selama ini, pendekatan keamanan militeristik yang terus dijalankan berdampak secara langsung dan tidak langsung terhadap terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat di Papua. Beberapa kasus yang sempat mencuat ke publik, misalnya pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani (tahun 2020), pembunuhan yang disertai mutilasi terhadap empat orang warga sipil Papua (tahun 2022), penyiksaan terhadap tiga orang anak yang dituduh melakukan pencurian (tahun 2022), dan lain-lain. Selama ini, praktik impunitas selalu menjadi persoalan yang terus terjadi dalam kekerasan yang melibatkan aparat keamanan. Penegakan hukum untuk memutus mata rantai impunitas menjadi penting untuk mencegah berulangnya kekerasan aparat keamanan terhadap masyarakat sipil di Papua. 

"Kami memandang evaluasi pendekatan keamanan militeristik harus dimulai segera dengan upaya penataan ulang terhadap gelar kekuatan pasukan TNI menjadi salah satu agenda penting yang harus dilakukan. Selama ini, ada indikasi terjadi peningkatan jumlah kehadiran pasukan TNI yang semakin tidak proporsional seiring dengan terus dijalankannya pemekaran struktur organik dan pengiriman pasukan TNI non-organik dari luar Papua," tuturnya

Berdasarkan estimasi salah satu anggota Koalisi, yaitu Imparsial, jumlah prajurit TNI di Papua baik dari unsur organik aupun non-organik diperkirakan mencapai ±16.900 prajurit, yang terdiri dari ±13.900 prajurit TNI organik tiga matra (darat, laut dan udara) dan ±3000 prajurit TNI non-organik. Pada konteks pasukan non-organik, jika dilihat latar belakang satuannya, sebagian besar (jika tidak bisa dikatakan seluruhnya) yang dikirim ke Papua adalah satuan dengan kualifikasi tempur. 

Dari sisi legalitas dan akuntabilitas, pelibatan TNI dalam penanganan Papua juga memiliki banyak persoalan dan dipandang tidak sejalan dengan UU TNI. Pasal 7 Ayat (3) UU TNI menegaskan bahwa pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang dilakukan oleh prajurit TNI, termasuk dalam hal ini penanganan separatisme dan perbantuan terhadap kepolisian, harus didasarkan pada Keputusan Politik Negara, atau dalam hal ini keputusan yang dikonsultasikan kepada DPR RI. Berdasarkan penelusuran Imparsial, hingga saat ini pemerintah tidak pernah mengeluarkan kebijakan tertulis terkait dengan pengerahan pasukan TNI ke Papua. Dengan demikian, dari sisi hukum, pelibatan militer tersebut dapat dikatakan ilegal.

Lebih jauh evaluasi operasi keamanan militeristik itu juga harus dibarengi dengan upaya konkrit penghentian spiral kekerasan di Papua salah satunya melalui jalan dialog damai bermartabat. 

Pendekatan militeristik dan agenda dialog di Papua juga sejatinya menjadi sorotan komunitas internasional yang muncul kembali dalam mekanisme Universal Periodic Review (UPR) yang dihadapi Indonesia di Dewan HAM PBB pada November 2022 lalu. Dalam forum peninjauan berkala tentang situasi HAM di negara-negara anggota PBB tersebut, Pemerintah Indonesia mendapatkan beberapa rekomendasi setidak-tidaknya dari Kepulauan Marshall dan Slovenia untuk mengadakan dialog inklusif di Papua dan menyoroti pelanggaran HAM oleh aparat keamanan di Papua. Munculnya rekomendasi-rekomendasi itu kemudian semakin menegaskan bahwa penggunaan pendekatan yang eksesif dan koersif hanya akan memperpanjang daftar pelanggaran HAM. 

Dengan keputusan Pemerintah Indonesia untuk menolak dua rekomendasi tersebut dalam sesi adopsi pada Maret 2023 yang lalu, dan munculnya wacana terkait pilihan operasi tempur ini, Pemerintah Indonesia justru tidak memberikan sinyal iktikad baik untuk memperbaiki situasi di Papua dan bahkan sebaliknya, menggunakan pendekatan yang lebih militeristik.

Sudah saatnya Presiden dan DPR merealisasikan agenda dialog dalam penyelesaian masalah Papua dan bukan menggunakan pendekatan keamanan yang militeristik. 

Pemerintah sejatinya memiliki modal dan pengalaman historis untuk menyelesaikan konflik Papua dengan pendekatan damai dan bermartabat melalui jalan dialog seperti pada konflik Aceh, Poso dan Ambon. Pengalaman penyelesaian konflik Aceh, Poso dan Ambon semestinya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk penyelesaian konflik Papua.  

"Pemerintah dan TPNPB-OPM melakukan gencatan senjata dan penghentian permusuhan segera untuk mencegah jatuhnya korban lebih jauh, serta menjajaki jeda kemanusiaan agar memungkinkan penanganan situasi pengungsi dan tahanan politik. 
Pemerintah dan TPNPB-OPM membuka ruang dialog yang setara dan bermartabat," tambahnya

Untuk diketahui Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari  KontraS, Imparsial, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, ELSAM, HRWG, PBHI Nasional, ICJR, YLBHI, LBH Jakarta, LBH Malang, WALHI, Setara Institute, Forum Defacto, AJI Jakarta, Public Virtue Institue, Centra Initiative, Amnesty International Indonesia, LBH Talenta Keadilan Papua Nabire, LBH Papua

Civil Society Coalition for Security Sector Reformsinpo

Komentar: