Kemenkes Berupaya Kejar Target Eliminasi NTDs di Indonesia
SinPo.id - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI terus berupaya melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit tropis terabaikan atau neglected tropical diseases (NTDs).
Upaya ini dilakukan untuk mengejar target eliminasi NTDs di Indonesia.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut ada 20 penyakit yang termasuk NTDs. Penyakit tersebut disebabkan oleh berbagai patogen, termasuk virus, bakteri, protozoa, dan cacing parasit.
Di Indonesia ada sejumlah penyakit NTDs yang diprioritaskan antara lain filariasis, cacingan, schistosomiasis, kusta, dan frambusia. Kemenkes sampai saat ini tengah menargetkan eliminasi 5 penyakit tersebut.
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan pengobatan dan pencegahan penyakit-penyakit NTDs bisa dilakukan seperti COVID-19 melalui protokol kesehatan, deteksi dan surveilans, terapi atau pengobatan, dan vaksinasi.
''Untuk NTDs ini vaksinnya belum ada, jadi protokol kesehatannya harus bagus, surveilansnya mesti bagus, dan pengobatannya juga mesti bagus,'' ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu 25 Februari 2023.
Sementara itu, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dr. Maxi Rein Rondonuwu menjelaskan sejalan dengan tujuan global, sudah berbagai upaya dilakukan dalam pencegahan dan pengendalian penyakit tropis terabaikan.
Upaya eliminasi kusta di Indonesia telah termuat dalam dokumen kebijakan dan dokumen rencana strategis nasional, yaitu Renstra Kementerian Kesehatan 2020-2024 dan RPJMN Kesehatan 2020-2024, sebagai salah satu indikator penanganan penyakit tropis terabaikan.
Demikian juga adanya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta juga telah menjabarkan strategi nasional dalam penanggulangan kusta.
''Untuk memantapkan langkah mewujudkan eliminasi kusta, dalam waktu dekat akan terbit Rencana Aksi Nasional Eliminasi Kusta tahun 2023-2027,'' ucapnya.
Dalam rencana aksi nasional tersebut, ada perubahan definisi operasional status eliminasi kusta, yaitu dari angka prevalensi <1/10.000 penduduk menjadi tidak ada atau nol kasus.
Indikator ini tidak berdiri sendiri, namun menyatu dalam pencapaiannya: Zero Leprosy, Zero Disability dan Zero Stigma. Selain kusta, frambusia merupakan penyakit NTD yang meskipun sudah jarang ditemukan, namun berdasarkan laporan dari Dinkes provinsi masih ditemukan, khususnya di daerah Indonesia Timur seperti Papua, Maluku, Maluku Utara.
Tahun 2024 yang akan datang merupakan target dimana seluruh kabupaten/kota diharapkan sudah berstatus bebas frambusia. Demikian juga eliminasi filarisis sudah dilakukan secara bertahap di 236 kabupaten/kota endemis.
Terdapat dua strategi utama dalam pencapaian eliminasi filariasis yaitu pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis yang disertai dengan surveilans serta penatalaksanaan kasus kronis. Sampai dengan tahun 2022 sebanyak 37 kabupaten /kota telah dinyatakan eliminasi filariasis dan menerima sertifikat dari Menteri Kesehatan.
Sementara itu, 21 kabupaten/kota masih menjalankan pengobatan massal dan 178 kabupaten/kota memasuki tahap surveilans pasca pengobatan massal untuk persiapan penilaian eliminasi filariasis.
Selain upaya pencapaian eliminasi filariasis nasional pada tahun 2030, juga diiringi dengan pelaksanaan manajemen kasus kronis filariasis pada 8.635 kasus yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia.
Untuk Penyakit NTDs lainnya, yakni schistosomiasis dan cacingan juga masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Schistosomiasis hanya ditemukan di 2 kabupaten yaitu kabupaten Poso dan Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah.
Indonesia saat ini hanya satu-satunya negara endemis schistosomiasis di Asia Tenggara, yang juga menjadi perhatian utama dalam pencapaian eliminasi pada tahun 2030.
Sejalan dengan target eliminasi schistosomiasis tahun 2030, juga telah dilakukan penyusunan revisi Roadmap Eliminasi Schistosomiasis 2023-2030 yang melibatkan berbagai lintas kementerian, lintas sektor, para ahli dan stakeholder terkait.
''Demikian juga dengan cacingan yang tersebar di seluruh kabupaten/kota, menjadi tugas kita bersama untuk mereduksi angka prevalensi cacingan menjadi <10%,'' tutur Maxi.