Uji Materi UU Pemilu, PKN Minta Hak Usung Capres

Laporan: Sinpo
Kamis, 16 Februari 2023 | 06:00 WIB
Tim kuasa hukum Partai Kebangkitan Nasional tengah menjelaskan dalil-dalil permohonannya dalam Pengujian UU Pemilihan Umum, Rabu, 15 Februari 2023. Foto Humas/Ilham WM.
Tim kuasa hukum Partai Kebangkitan Nasional tengah menjelaskan dalil-dalil permohonannya dalam Pengujian UU Pemilihan Umum, Rabu, 15 Februari 2023. Foto Humas/Ilham WM.

SinPo.id -  Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) mempersoalkan adanya diskriminasi terhadap partai politik pengusul pasangan presiden dan wakil presiden. Hal ini terungkap dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 16/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh PKN ini dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (15/2/2023).

PKN mengujikan Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan, ““Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi palijg sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya”.  Menurut PKN, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Rio Ramabaskara selaku kuasa hukum PKN (Pemohon) dalam persidangan mengatakan, sebaiknya kepesertaan partai politik (parpol) dalam pemilu setiap periode harus dibaca berbeda meski mayoritas pesertanya sama. Artinya setiap periode pemilu parpol harus kembali mendaftar, baik parpol peserta pemilu sebelumnya maupun peserta pemilu yang baru atau menganut stelsel daftar aktif. Dengan demikian, jika suatu parpol tidak mendaftar, maka parpol yang bersangkutan tidak bisa mengikuti pemilu selanjutnya meski pada masa ini memiliki wakil di parlemen nasional.

Sebagai ilustrasi, pada Pemilu 2019 lalu terdapat 14 partai politik peserta pemilu nasional yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan terdapat pula partai lokal Aceh yakni Parta Aceh, Partai SIRA, Partai Daerah Aceh, dan Partai Nangroe Aceh.

Selajutnya Eko Prabowo selaku kuasa hukum Pemohon lainnya menyebutkan pada Pemilu 2024 mendatang berdasarkan Keputusan KPU Nomor 518 Tahun 2022 telah ditetapkan 17 partai peserta pemilu. Selanjutnya menyusul pula Partai Ummat dan beberapa partai politik lokal Aceh. Dengan daftar tersebut, terdapat perbedaan kepesertaan antara Pemilu 2019 dan Pemilu 2024. Pada fakta di lapangan, sambung Eko, partai politik peserta pemilu pada setiap tahapan dan periode pemilu tidak sama, tetapi harus melalui tahapan yang telah dutentukan secara bersamaan. Hal ini menurut Pemohon telah menimbulkan kerancuan ketika pemilu serentak harus memaksakan secara utuh persyaratan pemilu sebelumnya sebagai persyaratan, khususnya dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden.

“Asas kepesertaan setiap pemilu dilakukan dengan didahului pendaftaran di KPU. Siapapun partai politik yang tidak mendaftar maka tidak bisa mengikuti proses tahapan di pemilu walau memiliki kursi dan suara. Jadi semua partai politik harus melewati mekanisme yang sama, pendaftaran, verifikasi, hingga kemudian penetapan untuk menjadi partai politik peserta pemilu,” ujar Eko.

Menurut Pemohon, dengan adanya putusan pemilu serentak dimana Pemilu Legislatif dan Pilpres bersamaan, tentu menjadi aneh dan janggal ada perhitungan berbasiskan data pemilih yang berbeda untuk pelaksanaan satu periode Pemilu. Untuk persyaratan mendaftar pencalonan calon Presiden dan Wakil Presiden menggunakan basis Pemilih yang lama, namun untuk pemilihannya menggunakan basis pemilih yang baru. Ini menjadi anomali dan tidak konsisten. Padahal perhitungan pemilih merupakan hal yang esensial dalam Pemilu.

Konsekwensi keserentakan menurut Pemohon, seharusnya dikembalikan kepada esensi dan substansi dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada parpol peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa persyaratan tambahan apapun Sedangkan Pasal 222 UU Pemilu mengatur soal persyaratan presidential threshold baik dengan alokasi kursi maupun suara sah, dan mahkamah menilai itu sebagai open legal policy. Maka sudah seharusnya aturan tersebut juga tidak mencabut dan menghilangkan hak konstitusional parpol peserta pemilu lainya yang tidak bisa memilih di antara dua pilihan persyaratan tersebut.

Jika melihat ketentuan Pasal 6A ayat (2) dan UUD 1945 dan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu, maka ada kekosongan norma yang berdampak hilangnya hak konstitusional sebagian partai politik peserta pemilu yang sah. Dalam Pemilu 2024, parpol yang hilang hak konstitusionalnya adalah Pemohon (Partai Kebangkitan Nusantara/PKN), Partai Gelora, Partai Buruh dan Partai Ummat. Sementara 14 partai politik peserta pemilu lainnya bisa mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden dengan menggunakan perhitungan prosentase berbasiskan alokasi kursi maupun berbasiskan prosentase suara sah dari pemilu sebelumnya. Tetapi keempat parpol peserta pemilu lainnya tidak bisa menggunakan kedua metode pengusulan seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 222 UU Pemilu tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-X12013 dan Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang menyebabkan adanya pemilu serentak sudah seharusnya tidak boleh menghilangkan hak konstitusional (constitutional right) seluruh parpol peserta pemilu, tetapi justru harus lebih memberikan jaminan kepastian dan keadilan hukum bagi semua parpol peserta pemilu. Putusan Mahkamah harus juga memberikan jaminan konsitusional tidak adanya hak partai politik peserta pemilu yang hilang atau dihilangkan atas pilihan keserentakan tersebut.

Dalam petitum, Prmohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, ”Untuk partai politik yang disahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai Peserta Pemilu pada periode pemilu tersebut yang belum memiliki kursi dan belum memiliki suara sah nasional dari Pemilu sebelumnya, dinyatakan dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, baik sendiri maupun gabungan partai politik tanpa persyaratan yang dimaksud dari ketentuan ini.

“Menyatakan Pemohon baik sendiri maupun bersama gabungan partai politik peserta pemilu lainnya berhak mengusulkan, mengajukan dan mendaftarkan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk Pemilu 2024 ke Komisi Pemilihan Umum,” kata kuasa hukum Pemohon, Dian Farizka.

Nasihat Panel Hakim

Terhadap permohonan ini, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan beberapa catatan nasihat, di antaranya legal standing Pemohon. Mengingat pengujian dilakukan terkait presidential threshold, sehingga perlu ada elaborasi keberadaan Pemohon yang dinilai berhubungan langsung dengan persoalan ini.

“Dasar pengujiannnya benar-benar harus diuji betul. Dan pada petitum perlu juga ada penegasan apakah Pemohon meminta konstitusional bersyarat, jika benar maka frasa apa dalam norma yang ingin dinyatakan bersyarat itu. Karena sepanjang kami membaca permohonan ini justru menambahkan frasa yang berarti membuat norma baru dan ini menjadi bagian dari hal baru. Mohon bedakan bersyarat dan menambah norma karena adanya frasa yang ditambahkan,” jelas Wahiduddin dalam Sidang Panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi pula oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul selaku hakim anggota Sidang Panel ini.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Manahan dalam nasihatnya menyebutkan isi dari setiap unsur dalam permohonan mulai dari identitas, kewenangan Mahkamah, hingga petitum diharapkan mengacu pada  PMK No. 2 Tahun 2021. Berikutnya Manahan juga menyoroti tentang pasal yang diuji pada pengajuan permohonan ini. Pemohon perlu fokus pada pasal yang diujikan saja.

Selanjutnya Hakim Konstitusi Saldi memberikan catatan mengenai ketua umum dan sekretaris jenderal berdasarkan AD/ART yang dapat mewakili partai dalam masalah hukum termasuk di MK. Kemudian Pemohon juga harus memperhatikan bagian kerugian hak konstitusional potensial dan faktual yang dialami atas keberlakuan norma.

“Permohonan ini sudah sering diajukan ke MK, lalu bagaimana ne bis in idem dari permohonan ini dapat dibuktikan agar bisa masuk ke pokok permohonan. Dan carikan argumentasi baru permohonan dari partai-partai baru ini. Penjelasan ini harus dikonteskan dengan norma yang diujikan,” jelas Saldi.

Sebelum menutup persidangan, Saldi menyebutkan naskah perbaikan permohonan ini selambat-lambatnya dapat diterima Kepaniteraan MK pada Selasa, 28 Februari 2023 pukul 13.30 WIB. Untuk kemudian sidang kedua akan diinformasikan lebih lanjut kepada para pihak yang berperkara pada persidangan ini.

 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI