Perludem: Calon Peserta Pemilu Harus Diisi Orang Berintegritas

Laporan: Sinpo
Selasa, 07 Februari 2023 | 05:55 WIB
Perludem
Perludem

SinPo.id -  Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Senin 6 Februari 2023. Permohonan Perkara Nomor 12/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Perludem.

Perludem (Pemohon) mempersoalkan norma Pasal 182 huruf g UU Pemilu yang menyatakan, “Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: g. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”

Dalam persidangan yang digelar secara luring di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Perludem yang diwakili kuasanya, Fadli Ramadhanil mengatakan  Pemohon menganggap ketentuan Pasal 182 huruf g UU Pemilu ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), (3), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selanjutnya Fadli menguraikan alasan permohonan.

“Adapun yang menjadi basis argumentasi kami dalam menjelaskan dan menguraikan permohonan ini ada empat, yakni mengenai kontestasi politik dan masifnya politik uang. Kita semua mengikuti sejak perubahan UUD 1945 kita menyepakati bahwa proses penyelenggaraan pemilu mesti dilaksanakan secara demokratis sesuai dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia dan adil. Tetapi dalam perkembangannya proses penyelenggaraan pemilu masih belum sepenuhnya bebas dari praktik korupsi. Dan data dari KPK misalnya tahun 2018 pejabat politik atau pejabat yang dipilih melalui proses pemilu atau politik menjadi yang tertinggi yang terjebak dalam kasus korupsi. Salah satu yang menjadi penyebab banyaknya pejabat politik yang dipilih melalui proses pemilu  yang terjebak karena tingginya biaya politik yang harus dijalani oleh peserta pemilu,” terang Fadli ke hadapan panel hakim yang dipimpin Hakim Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.

Oleh sebab itu, sambung Fadli, dalam situasi seperti itu penting kiranya adanya kerangka hukum  yang kemudian membuka ruang dan kesempatan agar calon peserta pemilu adalah orang-orang yang mempunyai integritas yang baik dan tata kelola penyelenggaraan pemilu menyediakan ruang untuk melaksanakan demokrasi dan pembangunan yang berkelanjutan.

“Argumentasi selanjutnya yakni pentingnya persyaratan calon bagi kandidat anggota DPD  dan rentannya anggota DPD terjebak praktik koruptif. Kita tahu bahwa pemilihan anggota DPD adalah pejabat yang dipilih melalui proses pemilu, mereka dipilih secara langsung oleh rakyat dan secara institusional anggota DPD juga memiliki kewenangan yang sangat strategis sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945 utamanya berkaitan dengan kewenangan pengawasan, kewenangan legislasi yang memiliki kaitan relasi yang sangat erat dengan pusat dan daerah. Selain itu, proses pemilu atau pejabat politik yang memilih melalui proses pemilu esensinya menghendaki adanya kepercayaan dari masyarakat dan kepercayaan itu akan timbul kalau yang dipilih melalui proses demokrasi pemilu adalah orang-orang yang mempunyai rekam jejak dan integritas yang baik,” ungkapnya. 

Syarat Mantan Napi Maju Pemilu

Fadli mengungkapkan, MK telah mengeluarkan putusan untuk memperketat syarat calon yang akan berlaga dalam proses pilkada atau pemilu. Dalam hal ini yakni melalui Putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019, yang mengatur soal syarat mantan terpidana di dalam pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, dan Putusan Nomor 87/PUU-XX/2022 yang mengatur persyaratan bagi calon anggota DPR dan DPRD  yang berstatus sebagai mantan terpidana.

Sementara untuk syarat mantan terpidana bagi calon anggota DPD itu menimbulkan inkonsistensi karena masih belum sama dengan syarat calon mantan terpidana bagi pemilihan kepada daerah apalagi pemilihan DPR dan DPRD. Padahal secara prinsip pemilihan anggota DPD sama-sama dipilih langsung oleh rakyat sehingga untuk persyaratan apalagi status mantan terpidana sangat penting disamakan dengan syarat  mantan terpidana bagi mantan terpidana calon anggota DPR dan DPRD.

Selain itu, ia mengatakan syarat calon anggota DPD masih terbatas pada hanya mantan terpidana disyaratkan untuk secara terbuka dan jujur mengumumkan statusnya kepada publik. Belum ada masa jeda lima tahun yang harus dijalani oleh mantan terpidana yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Padahal jangka waktu lima tahun ini merupakan sesuatu yang sangat penting untuk kemudian memberikan ruang bagi mantan terpidana untuk beradaptasi kembali kepada masyarakat untuk kepentingan yang lebih luas. “Masa tunggu ini penting untuk memberikan efek jera sekaligus daya cegah kepada pejabat politik yang kemudian dipilih melalui proses pemilu untuk berhati-hati agar tidak melakukan praktik tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan jabatan yang dipegang,” jelasnya.

Oleh karena itu, Pemohon dalam petitum provisinya meminta MK untuk menjadikan permohonan ini sebagai prioritas dalam pemeriksaan. Hal ini untuk memberikan kepastian agar penerapan syarat pencalonan anggota DPD existing tidak lagi diberlakukan, mengingat tahapan ini sudah mulai berjalan mulai dari 6 Desember 2022.

Kemudian dalam petitum terhadap pokok permohonan, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 182 huruf g UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.”

Nasihat Hakim

Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan saran perbaikan. Wahiduddin meminta Pemohon menguraikan dalil kerugian baik secara aktual maupun potensial terkait dengan lingkup kerja Pemohon di bidang advokasi, khususnya menyangkut DPD.

“Selain itu, ada atau tidaknya caleg atau yang mendaftar merupakan mantan narapidana. Akan lebih kuat kalau itu apakah tersedia data informasinya, coba nanti dilengkapi,” ujar Wahiduddin Adams. 

Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta Pemohon untuk memberikan pandangan kepada MK mengenai permohonannya. Sebab permohonan Perludem kali ini berbeda dengan Putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019 dan Putusan Nomor 87/PUU-XX/2022.

“Kemudian, di dalam pertimbangan meminta provisi. Itu kan tahapan-tahapan tentang pendaftaran telah berjalan. Apakah bisa putusan ini menjangkau hal-hal yang sifatnya sudah berjalan?” kata Suhartoyo.

Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Berkas perbaikan permohonan sudah diterima oleh Kepaniteraan MK paling lambat Senin, 20 Februari 2023 pukul 10.00 WIB.

 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI