Jalan Berbayar di Jakarta
Kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) atau tarif jalan berbayar, sebagai upaya Pemprov DKI Jakarta mengatasi kemacetan di Ibu Kota. Aturan tersebut tercantum dalam draft Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik, yang ditetapkan oleh Gubernur Anies Baswedan.
SinPo.id - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menyebut kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) atau tarif jalan berbayar akan mulai berlaku di tahun 2023 ini. Aturan ERP tersebut telah tercantum dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengendalian Lalu Lintas secara Elektronik (PLLE).
"Ya kalau enggak dimulai, kapan (lagi) dimulainya kan seperti itu," kata Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono di Jakarta, Jumat, 13 Januari 2023 kemarin.
Meski Heru mengatakan regulasi yang mengatur jalan berbayar itu masih digodog melalui beberapa tahapan sebelum benar-benar dilaksanakan. "Ya (proses), masih lama prosesnya masih tujuh tahap. Itu tahap terakhir kan ya," ujar Heru menambahkan.
Mantan Walikota Jakarta Utara ini menyebut saat ini Pemerintah DKI masih menggali informasi dari para ahli maupun masyarakat Jakarta terkait kebijakan ERP tersebut. Bersamaan dengan kebijakan itu, Pemprov DKI juga akan merapikan transportasi umum di Jakarta agar dapat melayani masyarakat lebih baik lagi.
"Jadi kan konsepnya sambil proses itu, Pemda DKI juga harus merapikan menyiapkan Transjakarta misalnya bisa melayani dengan baik, headway diperketat, dan seterusnya. Itu kan perlu waktu sambil jalan," kata Heru menjelaskan.
Kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) atau tarif jalan berbayar, sebagai upaya Pemprov DKI Jakarta mengatasi kemacetan di Ibu Kota. Aturan tersebut tercantum dalam draft Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik, yang ditetapkan oleh Anies Baswedan saat jadi Gubernur DKI Jakarta.
Dalam draft tersebut dijelaskan secara rinci definisi, pengawasan, penanggung jawab, ruas jalan, jenis kendaraan, jam berlaku, hingga sanksi yang diterapkan bagi pelanggar.
Tak hanya itu, draf Raperda, aturan jalan berbayar secara elektronik yang bakal diterapkan di Jakarta, ditetapkan berdasarkan kriteria yang diatur dalam pasal delapan, di antaranya jalan yang tingkat kepadatan atau perbandingan volume lalu lintas kendaraan bermotor dengan kapasitas jalan pada salah satu jalur jalan sama dengan atau lebih besar dari 0,7 pada jam puncak atau sibuk.
Memiliki dua jalur jalan dan setiap jalur memiliki paling sedikit dua jalur. Hanya dapat dilalui kendaraan bermotor dengan kecepatan rata-rata kurang dari 30 kilometer per jam pada jam puncak. Serta tersedia jaringan dan pelayanan Angkutan Umum dalam trayek yang sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal dan ketentuan perundang-undangan.
Sedangkan berdasarkan kriteria itu, ada 25 ruas jalan yang bakal dikenalan tarif saat dilintasi sebagaimana tercantum dalam draf Raperda.
Kepala Dishub DKI Jakarta, Syafrin Liputo mengatakan, tarif jalan berbayar Rp5 ribu hingga Rp19 ribu. Penetapan tarif itu disesuaikan dengan tata ruang sekitarnya.
“Ada rincian kemarin kalau gak salah di angka Rp 5 ribu sampai dengan Rp19 ribu itu akan diantara angka itu," kata Syafrin.
Perbedaan jenis kendaraan juga dapat mempengaruhi besaran tarif ERP yang akan dibebankan. Namun ia menegaskan saat ini belum ada pemberlakuan terkait ERP.
Ia mengaku sudah masuk dalam program pembentukan peraturan daerah oleh DPRD Provinsi DKI Jakarta yang sudah beberapa kali dibahas.
Rencana kebijakan jalan berbayar itu menuai kritik dari partai NasDem yang menyebut jalan berbayar di DKI Jakarta bukan sebagai solusi mengatasi kemacetan, justru merugikan masyarakat, karena jalan merupakan infrastruktur publik hakikatnya untuk bagi kepentingan masyarakat.
"Keberadaan infrastruktur yang bersumber dari anggaran negara hakikatnya diperuntukkan untuk rakyat. Karena itu, gagasan jalan berbayar merupakan ide yang kontraproduktif," kata Ketua DPP Bidang Infrastruktur Partai NasDem, Okky Asokawati.
Okky menyebut jalan berbayar akan berdampak langsung kepada masyarakat yang dituntut beraktivitas di jalan, kawasan, dan waktu yang ditentukan dalam aturan jalan berbayar. Ia mencontohkan dengan warga yang berprofesi kurir yang harus mengantarkan barang di jalan dan kawasan yang berbayar.
“Tentu akan mengurangi pendapatan mereka," ujar Okky menambahkan.
Okky menyarankan sebaiknya Pemprov DKI Jakarta menguatkan transportasi publik yang berbasis integrasi untuk mengatasi kemacetan di Jakarta.
Jalan Berbayar Tak Populer Secara Politik
Pakar Transportasi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, mengatakan rencana jalan berbayar sebenarnya telah digagas sudah lama sejak zaman Gubernur Sutioso. “Namun tak terlaksana karena ketersediaan angkutan belum memadai, apa lagi ini kebijakan tak populis. Secara politik menyulitkan orang, meski tapi tujuanya agar publik gunakan angkutan umum,” kata Djoko.
Menurut Djoko, sejumlah kebijakkan mengurai kemacetan di Jakarta sebelummya telah dilakukan, namun belum juga mampu mengurai persoalan kemacetan. Di antaranya menerapkan three in one, selain itu ada larangan sepeda motor di jalan Thamrin dan Sudirman, hingga Ganjil Genap.
Terkait besaran nilai uang jalan berbayar antara Rp5 ribu hingga Rp19 ribu, Djoko mengatakan masih rendah. Ia menyarankan nilai angka pembayaran seharusnya hingga ratusan ribu. “Agar dampaknya lebih jelas, yakni mampu mengubah publik menggunakan angkutan umum,” kata Djoko menambahkan.
Jika dibandingkan dengan negara lain, penerapan jalan berbayar dilalui dengan referendum seperti di Swedia, sedangkan di Singapura semi otoriter tanpa proses itu. Bahkan di Singapura berlaku bagi semua kendaraan, meski angkutan umum lebih murah.
Djoko menyarankan kebijakan jalan berbayar di 25 ruas dalam wilayah Jakarta dilakukan secara bertahap. “Ada evalausi hasilnya bagaimana, kemudian bisa dilanjutkan,” kata Djoko yang menilai proses penerapan jalan berbayar itu masih lama karena perlu pembahasan, termasuk study banding ke negara lain.