Bank Dunia Sebut Harga Beras Indonesia Termahal Se-ASEAN, Guru Besar UGM Bantah

Laporan: Sinpo
Minggu, 25 Desember 2022 | 19:48 WIB
Ilustrasi panen padi (SinPo.id/Pixabay)
Ilustrasi panen padi (SinPo.id/Pixabay)

SinPo.id -  Guru Besar UGM, Prof. Masyhuri menilai harga beras di Indonesia masih memenuhi daya beli masyarakat alias dalam kondisi normal jika dibandingkan harga beras di negara lainya. Hal ini diungkapkan Masyhuri setelah adanya laporan Bank Dunia mengenai harga beras di Indonesia yang terlampau mahal.

"Yang paling penting memenuhi daya beli masyarakat. Dan sejauh ini harganya terendah kedua. Mungkin kalau ada kenaikan harga karena kita masuk musim tanam," kata Prof Masyhuri, Minggu, 25 Desember 2022.

Menurutnya, yang paling penting dilakukan saat ini adalah menutup rapat keran impor karena Indonesia akan memasuki musim panen raya dan menyebabkan harga beras jatuh. Kebijakan itu juga nantinya hanya akan menyebabkan petani malas bertani. 

"Bukankan sebaiknya kita tidak membiarkan impor beras secara terbuka karena itu akan membuat harga jatuh dan menyebabkan petani malas bertani," katanya.

Terpisah, Guru Besar Universitas Hasanuddin, Rusnandi Pandjung menilai harga beras di Indonesia terbilang rendah karena berkisar di Rp 10 ribu per kg. Harga tersebut justru menjadi harga terendah nomor dua di Asean jika dibandingkan dengan harga beras di sejumlah negara lainya.

Rusnandi mengatakan, sebagai negara dengan beras sebagai makanan utama penduduknya, Indonesia tidak boleh tergantung pada impor beras, karena volume perdagangan beras dunia sangat kecil jika dibandingkan kebutuhan komsumsi Indonesia. Sedikit saja gejolak terjadi secara gelobal, akan menyulitkan impor beras oleh Indonesia.

"Karena itu, tingkat produksi beras Indonesia harus dipertahankan secara berkelanjutan sesuai tingkat konsumsi. Pemerintah tidak hanya berpihak pada konsumen, tetapi juga pada produsen (petani)," ujarnya.

Padahal, menurut Prof Rusnandi, kebijakan yang tepat bagi sebuah negara adalah tidak membiarkan impor beras dibiarkan secara terbuka karena hal itu akan membuat harga jatuh dan menyurutkan motivasi petani dalam mengelola lahannya.

"Sejauh ini kebijakan pemerintah menyoal harga beras saya kira masih menguntungkan petani," jelasnya.

Terpisah, Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Riyanto juga menyoroti pernyataan Bank Dunia (World Bank). Menurutnya, pernyataan itu kurang tepat dan tidak mencerminkan semangat petani yang setiap hari melakukan produksi. Baginya, kebijakan impor disaat harga beras naik bukanlah solusi dan hanya melukai perasaan petani.

"Jangan begitu harga beras naik, lantas hanya memberi solusi impor. Kita jangan membiarkan impor beras terbuka luas yang membuat harga jatuh lalu menyebabkan petani malas bertani. Ini keliru menurut saya," ujarnya.

Riyanto mengatakan, harga beras di Indonesia masih berada di titik normal dan masih dalam jangkauan daya beli masyarakat. Adapun faktor kenaikan yang selama ini terjadi disebabkan beberapa faktor. Di antaranya masalah distribusi dan musiman saja. "Tidak bisa selesai hanya dengan impor. Jadi tidak benar harga beras kita paling mahal," katanya.

Sebagaimana diketahui, Indonesia membuka keran impor kedelai sejak 1998, berkaitan dengan kesepakatan yang tertuang dalam letter of intent IMF. Hal itu merupakan bagian dari paket penyehatan ekonomi nasional yang terpuruk akibat krisis ekonomi. Lembaga ini menuntut Indonesia membuka akses pada perdagangan bebas.

"Nah kita jangan mengulangi rekomendasi yang sama untuk beras versi World Bank. Utamanya membuka keran impor beras dan pangan lainnya secara luas. Kemandirian panganlah yang harus kita perkuat dengan peningkatan produksi dan memberi subsidi yang layak bagi petani serta proteksi terhadap komoditi pertanian agar petani punya insentif untuk berproduksi," katanya.sinpo

Komentar: