BRIN: Fenomena Cuaca Ekstrem Indikasi Nyata Perubahan Iklim

Laporan: Sinpo
Sabtu, 22 Oktober 2022 | 05:51 WIB
Ilustrasi cuaca ekstrem.(Shutterstock)
Ilustrasi cuaca ekstrem.(Shutterstock)

SinPo.id - Fenomena cuaca ekstrem, badai, dan banjir di banyak daerah hingga pergeseran musim akibat anomali cuaca merupakan indikasi nyata perubahan iklim, kata peneliti Klimatologi Pusat Riset Iklim dan Atmosfer dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin.

"Perubahan iklim kini semakin nyata dan bisa dirasakan langsung oleh manusia mulai dari cuaca ekstrem, badai, dan banjir di banyak daerah hingga pergeseran musim akibat anomali cuaca," kata Erma dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat 22 Oktober 2022

Menurut dia, musim telah berubah nyaris total karena musim hujan tahun 2022-2023 berkepanjangan. Artinya, durasi musim hujan menjadi lebih lama dan itu menunjukkan indikasi perubahan musim. Bukan hanya pergeseran, tetapi perubahan.

Pada Jumat 21 Oktober 2022 dini hari, BRIN mendeteksi ada badai yang terbentuk di barat daya Jawa bagian barat di dekat Ujung Kulon, Banten. Badai yang diberi nama Vorteks itu ditandai dengan pusaran angin dengan radius kurang dari 50 kilometer yang dapat menyebabkan hujan ekstrem melanda sejumlah wilayah di Pulau Jawa pada 20-22 Oktober 2022.
Erma menuturkan kondisi cuaca yang dipengaruhi oleh badai Vorteks berpotensi bertahan hingga akhir Oktober 2022.

"Selama periode itu, pembentukan dan pergerakan pusaran badai Vorteks Borneo di utara dekat wilayah Kalimantan dan Vorteks Samudra Hindia selatan Jawa akan menjadi pengontrol utama anomali cuaca yang terjadi di Indonesia," katanya.

Selama 42 tahun terakhir, kata dia, laju kenaikan suhu di wilayah Indonesia telah mencapai rata-rata 0,02 derajat Celcius hingga 0,44 derajat Celcius per dekade.
Perubahan iklim telah mengakibatkan peningkatan suhu air laut di perairan Indonesia hingga mencapai suhu 29 derajat Celsius pada saat terjadi La Nina moderat dan Badai Tropis Seroja di Nusa Tenggara Timur.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan gletser di Puncak Jayawijaya, Papua, saat ini hanya seluas kurang lebih 2 kilometer persegi atau 1 persen dari luas awalnya sekitar 200 kilometer persegi. Sejauh ini, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Ratifikasi Perjanjian Paris sebagai komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan bergerak aktif mencegah terjadinya perubahan iklim.

Regulasi itu memuat sembilan aksi prioritas menuju arah pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim. Dokumen Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional atau NDC menetapkan target pengurangan emisi di Indonesia adalah sebesar 29 persen tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41 persen bersyarat (dengan dukungan internasional) pada tahun 2030.

Pada September 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah meningkatkan target NDC menjadi 31,89 persen dengan usaha sendiri dan 43,20 persen dengan bantuan negara lain.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI