Ahli Sepakat KPU Sebagai Institusi yang Tepat Membentuk Dapil DPR dan DPRD
SinPo.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai sebagai institusi yang paling tepat untuk membagi alokasi kursi DPR dan DPRD serta untuk membentuk Daerah Pemilihan anggota DPR dan DPRD sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Hal ini disampaikan oleh dua orang Ahli, yakni Ramlan Surbakti dan Didik Supriyanto yang dihadirkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam sidang uji materiil UU Pemilu pada Kamis (20/10/2022) siang.
Ramlan dalam keterangannya terkait Perkara Nomor 80/PUU-XX/2022, menyebut sejumlah alasan KPU menjadi lembaga yang tepat dalam menentukan daerah pemilihan. Salah satunya karena KPU bersifat mandiri dan nonpartisan. Menurutnya, KPU menyelenggarakan Pemilu berdasarkan UU Pemilu sehingga KPU merupakan pelaksana undang-undang yang ditetapkan DPR dan Presiden. Selain itu, lanjutnya, DPR dan Pemerintah menetapkan 7 prinsip yang harus dipatuhi dalam membentuk Daerah Pemilihan (Pasal 185 UU Nomor 7 Tahun 2017), tetapi Pembuat Undang-Undang ini justeru tidak melaksanakan ketentuan yang ditetapkan sendiri, seperti Dapil 3 DPR Jawa Barat dan Dapil 1 DPR Kalimantan Selatan. Bila tugas dan kewenangan itu diserahkan kepada KPU, maka dapat dipastikan tidak akan terjadi 2 (dua) Daerah Pemilihan yang “aneh” tersebut karena KPU adalah pelaksana undang-undang.
Tak hanya itu, Ramlan menyampaikan bahwa KPU sudah memiliki pengalaman melaksanakan kedua tugas dan kewenangan tersebut sejak Pemilu 2004. Bila alokasi kursi DPR kepada provinsi pada Pemilu 2004 menimbulkan masalah disproporsionalitas, maka hal itu bukan kesalahan KPU melainkan kesalahan DPR dan Pemerintah menetapkan sejumlah kriteria alokasi kursi yang bertentangan satu sama lain.
“Oleh karena itu, kami mohon kepada MK untuk memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menyerahkan kewenangan alokasi kursi kepada KPU, tetapi harus disesuaikan dengan undang-undang,” ucap Ramlan dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto tersebut.
Mantan Ketua KPU periode 2004 – 2007 tersebut pun memberikan usulan terkait alokasi pembagian kursi DPR. Ia beranggapan kriteria jumlah penduduk dan keadilan wilayah dalam mengalokasikan kursi DPR kepada provinsi juga harus mempertimbangkan prinsip kemudahan dalam operasionalisasi kedua kriteria itu.
“Karena itu alokasi kursi DPR kepada provinsi yang saya usulkan adalah membagi kursi DPR secara sama (50% : 50%) antara provinsi di Pulau Jawa dengan provinsi di Luar Pulau Jawa. Perimbangan ini merupakan penerapan kriteria Keadilan Wilayah. Alokasi kursi DPR yang sekarang ini hanya menguntungkan sejumlah provinsi yang over represented di luar Pulau Jawa. Sedangkan yang kami usulkan ini merupakan keadilan wilayah antara provinsi di Pulau Jawa dengan provinsi di Luar Pulau Jawa. Keadilan Wilayah ini perlu pula diwujudkan karena Kepentingan Daerah (Provinsi) tidak dapat diwakili secara efektif oleh Dewan Perwakilan Daerah karena DPD tidak Ikut membuat keputusan tentang RUU yang menyangkut kepentingan daerah. Dan akhirnya untuk menjamin keadilan wilayah tersebut ditetapkan jumlah minimal kursi DPR setiap provinsi sebanyak 3 kursi,” tandas Ramlan.
Kembali kepada KPU
Pendapat mengenai KPU sebagai lembaga yang tepat ditunjuk untuk mengalokasikan kursi juga disampaikan oleh Peneliti Pemilu Didik Supriyanto. Ia menjelaskan pembentukan daerah pemilih diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga independen penyelenggara pemilu. Ketentuan Pasal 195 ayat (1) UU No 7/2017 yang berbunyi, “KPU menyusun dan menetapkan daerah pemilihan anggota DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini” menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang sudah mempercayakan pembentukan daerah pemilihan kepada penyelenggara pemilu sebagaimana sudah dipraktikkan dalam Pemilu 1999 dan Pemilu 2004.
“Oleh karena itu sudah seharusnya kewenangan untuk pembentukan daerah pemilihan DPR dan DPRD provinsi juga dikembalikan ke KPU selaku penyelenggara pemilu independen,” ujar Didik.
Kemudian Didik juga menerangkan bahwa pembentukan daerah pemilihan harus mempertimbangkan kohesivitas penduduk. Hal ini ditentukan oleh batas wilayah administratif, kondisi geografis, kesamaan budaya, dan kepentingan komunitas. Kesatuan wilayah administrasi tersebut sangat menentukan hubungan pertanggungjawaban para pemilih dan wakil-wakil yang duduk di pemerintahan, mengingat kebijakan pemerintahan selalu dibatasi dan berlaku dalam batas-batas wilayah administrasi pemerintahan. Sehingga prinsip kesatuan wilayah sangat penting guna menghindari praktik gerrymandering atau dalam arti kata menghidari terjadinya praktik pengorbanan hubungan pertanggungjawaban pemilih dan wakil-wakilnya akibat daerah pemilihan dibentuk berdasarkan kepentingan pemenangan partai politik dan calon tertentu.
Oleh karena itu, sambung Didik, sehubungan dengan praktik pelanggaran terhadap prinsip utama pembentukan daerah pemilihan, yakni kesetaraan penduduk dan kesatuan wilayah sebagaimana disebutkan Lampiran III dan Lampiran IV UU No 7/2017, seharusnya tidak perlu terjadi jika pembentuk undang-undang konsisten dengan ketentuan Pasal 185 UU Pemilu, yang menyatakan, “Penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota memperhatikan prinsip: a. kesetaraan nilai suara; b. ketaatan pada sistem Pemilu yang proporsional; c. proporsionalitas; d. Integralitas wilayah; e. berada dalam cakupan wilayah yang sama; f. kohesivitas; dan g. kesinambungan.”
“Pengabaian terhadap prinsip-prinsip pembentukan daerah pemilihan ini terjadi karena pembentuk undang-undang, khususnya DPR merupakan wakil-wakil partai politik yang tidak lain adalah peserta pemilu. Oleh karena itu, demi kepastian hukum Lampiran III dan Lampiran IV UU Pemilu dalam perkara ini harus dibatalkan. Dan untuk selanjutnya, pembentukan daerah pemilih ini diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen penyelenggara pemilu. Dengan kata lain, sudah seharusnya kewenangan untuk pembentukan daerah pemilihan DPR dan DPRD provinsi tersebut juga dikembalikan ke KPU selaku penyelenggara pemilu yang independent,” jelas Didik.
Sebelum mengakhiri persidangan, Aswanto menyebutkan sidang selanjutnya akan dilaksanakan dengan agenda mendengarkan keterangan DPR. Namun untuk waktu pelaksanaannya akan diinformasikan dalam waktu yang ditentukan kemudian. Untuk itu, kepada semua pihak diharapkan menunggu informasi kepastian pelaksanaan sidang berikutnya dari Kepaniteraan MK.
Sebagai informasi, dalam permohonan Pemohon menyatakan urgensi penyusunan daerah pemilihan harus memenuhi prinsip daulat rakyat dan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sebab, pemilihan umum merupakan sarana untuk mengejawantahkan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945. Penyusunan daerah pemilihan tersebut juga menjadi salah satu tahapan yang penting di awal proses penyelenggaraan pemilihan umum. Hal ini guna memastikan prinsip keterwakilan yang dilakukan melalui proses pemilihan umum sesuai dengan prinsip pemilu yang jujur, adil, proporsional, dan demokratis.
Pemohon juga menyatakan pembuktian penyusunan daerah pemilihan bertentangan dengan prinsip dan alokasi kursi DPR dan DPRD Provinsi yang diatur dalam norma tersebut. Prinsip utama seperti keseteraan nilai suara, ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional tersebut membatasi ruang realokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan baru untuk Pemilu DPR dan DPRD di Daerah Otonom Baru. Norma ini, mengatur jumlah alokasi kursi dan batas-batas wilayah dalam suatu daerah pemilihan DPR ke dalam lampiran III, namun tidak mengatur mekanisme pembentukan daerah pemilihan untuk daerah otonomi baru.
Untuk itu, dalam Petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan yang dimohonkan oleh pemohon untuk seluruhnya. Serta menyatakan Pasal 187 ayat (1) UU Pemilu berbunyi, “Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota yang penyusunannya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 185”. Menyatakan Pasal 187 ayat (5) UU Pemilu berbunyi, “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan pemilihan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari undang-undang ini” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan KPU”