AJI Bandar Lampung Tolak 19 Pasal di RKUHP yang Ancam Kebebasan Pers
SinPo.id - Sebanyak 19 pasal yang terkandung dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP) berpotensi memberangus kebebasan pers secara langsung.
Menurut Ketua Aliansi Jurnalis Indepanden (AJI) Bandar Lampung, Dian Wahyu Kusuma, RKUHP yang dipublikasikan pada 4 Juli 2022 merupakan kemunduran dalam hukum pidana.
Hal itu karena secara eksplisit hendak memasukkan pers sebagai delik atau tindak pidana sebagaimana penjelasan pasal 598 dan meruntuhkan doktrin lex specialis dalam sistem hukum pers.
“Pasal ‘delik pers’ jelas merupakan ancaman bagi kebebasan pers, karena pasal ini mengonfirmasi pengutamaan mekanisme pemidanaan yang sama sekali tak menghargai karya jurnalistik,” ungkap Dian Wahyu saat diskusi dan kampaye revisi UU ITE dan penghapusan pasal bermasalah RKUHP, Minggu, 18 September 2022.
Dian mengungkapkan, ada 12 poin atau 19 pasal pada RKUHP yang perlu dikaji atau dihapus, yakni, pasal 188 yang mengatur tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme. Pasal 218, pasal 219, dan pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.
Kemudian, sambung Dian, Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah. Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong. Pasal 264 yang mengatur tindak pindana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.
Selanjutnya, imbuh Dian, pasal 280 yang mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan. Pasal 302, Pasal 303 dan Pasal 304 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan. Pasal 351 dan Pasal 352 yang mengatur tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.
“Pasal 440 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan. Pasal 437 mengatur tindak pidana pencemaran. Pasal 443 mengatur tindak pidana pencemaran orang mati, serta pasal 598 dan pasal 599 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan,” tutur Dian.
Selain itu, ia juga meminta UU ITE yang disahakan pada 2008 untuk direvisi. Hal tersebut karena UU ITE lebih banyak memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat, bahkan menyasar ke jaminan kebebasan akademik dan kebebasan pers,
“Berdasarkan data Safenet pada triwulan II, korban kriminalisasi terhadap ekspresi di ranah digital tertinggi mahasiswa 10 orang, warga 8 orang, aktivis 7 orang, dan jurnalis 2 orang. Walapun jurnalis kecil namun peluang terancam pasal UU ITE masih ada,” pungkasnya.