ASEAN Bakal Bertindak Lebih Tegas Atas Kelakuan Junta Militer Myanmar
SinPo.id - Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyoroti tindakan junta militer Myanmar yang tak kunjung mengimplementasikan Konsensus Lima Poin, yang disepakati para pemimpin Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Diketahui konsensus tersebut merupakan upaya ASEAN dalam rangka mengakhiri krisis di negara itu.
“Posisi Indonesia sangat jelas, kita melihat bahwa saat ini tidak ada kemajuan signifikan dari pelaksanaan Konsensus Lima Poin,” ujar Retno, ketika menyampaikan pernyataan pers secara daring mengenai Pertemuan Menlu ASEAN (AMM) dari Phnom Penh, Kamboja, Rabu, 3 Agustus 2022 malam.
Banyak negara yang membahas isu Myanmar dalam working lunch di sela-sela pertemuan tersebut, juga menyampaikan banyaknya janji yang tidak ditepati (broken promises) oleh junta.
“Jadi pada saat diskusi dengan junta, komitmen seolah-olah ada tetapi yang dilakukan justru semuanya bertolak belakang dengan apa yang disampaikan pada saat pertemuan,” tutur Retno.
Oleh karena itu, Indonesia bersepakat dengan ASEAN bahwa Myanmar tidak boleh diwakili oleh pejabat politik dalam pertemuan-pertemuan ASEAN.
Indonesia menekankan kembali pentingnya keterlibatan dengan semua pemangku kepentingan di Myanmar, sesuai mandat Konsensus Lima Poin.
“Indonesia juga menyampaikan jika tidak ada perubahan sama sekali sampai berlangsungnya KTT pada November, maka para menlu ASEAN harus menyampaikan rekomendasi kepada para pemimpin ASEAN mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan oleh ASEAN ke depan,” ujar Retno.
Dalam working lunch yang khusus membahas isu Myanmar tersebut, para menlu ASEAN sepakat mengenai pentingnya AMM mengeluarkan komunike bersama (joint communique), dengan paragraf mengenai Myanmar yang akan dibahas pada tingkat menlu.
“Jadi ada kesepakatan bahwa joint communique akan dikeluarkan. Saat ini negosiasi mengenai paragraf Myanmar pada level menlu masih berlangsung,” kata Retno.
Terlepas dari berbagai perkembangan mengenai situasi Myanmar, Retno menegaskan bahwa penyaluran bantuan kemanusiaan akan terus dilakukan karena menyangkut kepentingan langsung rakyat Myanmar.
“Kepentingan rakyat Myanmar selalu menjadi perhatian utama ASEAN,” tutur dia.
Sebelumnya, pemimpin junta Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan beberapa poin dari Konsensus Lima Poin akan dijalankan tahun ini.
Dalam pidatonya di televisi pemerintah pada 1 Agustus 2022, Min Aung Hlaing mengatakan tahun ini, karena semua situasi sedang berlangsung, poin-poin yang paling mungkin dari Konsensus Lima Poin akan dilaksanakan di bawah kerangka kerja ASEAN.
Myanmar tidak dapat memenuhi konsensus tersebut tahun lalu karena "kurangnya stabilitas", yang sebagian disebabkan oleh pandemi virus corona.
Konsensus Lima Poin itu telah disepakati oleh para pemimpin ASEAN, termasuk perwakilan Myanmar, dalam pertemuan di Jakarta pada April tahun lalu.
Konsensus tersebut menyerukan “penghentian segera kekerasan” dan semua pihak melakukan “pengendalian sepenuhnya”; dialog konstruktif di antara semua pihak; mediasi pembicaraan oleh utusan khusus ketua ASEAN; ketentuan bantuan kemanusiaan yang dikoordinasikan oleh ASEAN; serta kunjungan ke Myanmar oleh delegasi ASEAN yang dipimpin oleh utusan khusus, untuk bertemu dengan semua pihak yang berkonflik.
Sebelumnya, junta militer Myanmar mengumumkan keadaan darurat setelah menggulingkan pemerintah sipil Aung San Suu Kyi pada Februari tahun lalu, dan menyebabkan negara itu jatuh ke dalam kekacauan.
Junta Myanmar sebelumnya mengatakan pemilihan umum akan diadakan dan keadaan darurat akan dicabut pada Agustus 2023 - memperpanjang batas waktu satu tahun yang sebelumnya telah diumumkan beberapa hari setelah kudeta.
Junta militer telah menjustifikasi perebutan kekuasaannya dengan menuduh kecurangan besar-besaran selama pemilihan umum tahun 2020 di mana partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi mengalahkan partai yang didukung militer.
Tahun lalu, junta membatalkan hasil pemilu tersebut, mengatakan telah menemukan lebih dari 11 juta kasus kecurangan pemilu.
Suu Kyi telah ditahan sejak kudeta dan menghadapi serangkaian dakwaan yang bisa membuatnya dipenjara selama lebih dari 150 tahun.
Dalam pidato yang disiarkan pada hari Senin, Min Aung Hlaing tidak menyebutkan tanggal untuk pemilu baru tetapi mengatakan bahwa pemilu hanya dapat diadakan ketika negara itu "damai dan stabil".