Pengamat Ingatkan Publik Tak Terjebat Pada  Informasi Liar Terkait Kasus Brigadir J di Media Sosial

Laporan: Tim Redaksi
Rabu, 27 Juli 2022 | 06:17 WIB
Pengamat sosial yang juga Founder KlinikDigital.org Devie Rahmawati. Foto: Istimewa
Pengamat sosial yang juga Founder KlinikDigital.org Devie Rahmawati. Foto: Istimewa

SinPo.id - Kasus pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat di rumah dinas Kadiv Propam non-aktif Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta pada Jumat, 8 Juli 2022 terus menjadi sorotan publik.

Informasi yang beredar di media sosial-pun semakin tak terbendung tanpa disertakan bukti maupun data. Untuk itu, publik harus mewaspadai tsunami informasi terkait kasus Brigadir J.

Pengamat sosial yang juga Founder KlinikDigital.org Devie Rahmawati mengatakan tak bisa dipungkiri informasi di media sosial bergerak bagaikan tsunami dalam kasus Brigadir J.

Dengan minimnya data dan fakta dari penyelidikan menyeluruh, tak jarang satu sisi persepsi menjadi penentu opini publik.

“Dalam konteks kasus Brigadir J, awal viralnya kasus ini jelas berangkat dari opini yang begitu sengkarut. Justifikasi yang santer pada awal sebuah kasus yang digiring opini publik, tak jarang memberikan dampak negatif orang yang tidak bersalah,” ujar Devie kepada wartawan, Selasa, 26 Juli 2022.

Saat ini, kata Devie, proses penyelidikan kasus Brigadir J terus berlangsung dengan mengumpulkan fakta dan data yang sebenarnya.

Komnas HAM-pun, sambung Devie, sempat menyampaikan ada kejanggalan dari pengungkapan kasus Brigadir J tersebut.

Namun, yang mengkhawatirkan dari apa yang terjadi adalah tuduhan di awal informasi viral yang sungguh merusak.

Bukan saja reputasi seseorang, kata Devie, tetapi jejaring yang terkait orang tersebut. Padahal, jika ditelusuri kesalahan dari justifikasi awal netizen bisa jadi salah.

“Akan menjadi bijak, bila kita semua mengawal terus kasus Brigadir J. Berbagai kasus yang viral lainnya di media sosial dengan pikiran terbuka, dan memberikan kesempatan para ahli yang sesuai kompetensinya untuk mengumpulkan data-data obyektif,” tutur Devie.

Menurutnya, tidak semua informasi di media sosial menjadi berkah, justru sebagian menjadi bencana karena diwarnai banyak prasangka.

Akan tetapi, ia tak menampik pergeseran cepat informasi ini, banyak menghasilkan informasi positif dan membangun.

“Tetapi sering juga kita temui informasi yang tidak bermanfaat, bahkan opini tidak berimbang. Gulungan informasi viral menjadi alat untuk menjustifikasi sebuah pembenaran yang terus disebarkan, dan justru mengaburkan kebenaran,” tutur Devie.

Pada hakikatnya, sambung Devie, media sosial menciptakan ruang tanpa tuan dan tanpa batas, yang memungkinkan setiap pengguna beraksi bebas kadang hingga kebablasan.

Apalagi, praktik anonimitas yang memungkinkan pengguna bersembunyi dalam identitas yang berbeda, memampukan pengguna untuk menjustifikasi informasi sesuai keinginannya.

“Dari beberapa kasus viral di media sosial, tak jarang tuduhan-tuduhan yang berujung kesalahan. Jari-jari netizen yang pada awal kasus viral pun tidak terkena pertanggungjawaban,” katanya.

Di universe digital, Devie mengatakan watak manusia Indonesia yang dulu ramah bahkan berubah menjadi marah dan dikenal sebagai masyarakat yang berang, bukan yang tenang.

Dimana, watak baru manusia Indonesia di ruang digital ini sering kemudian bertemu dengan fenomena cancel culture.

“Sehingga, aksi pemboikotan berbasis praduga tanpa data ini berujung menjadikan cancel culture sebagai cancer culture dalam masyarakat, yang bisa membunuh hidup dan penghidupan seseorang. Cancel culture adalah fenomena menafikan atau mengasingkan sosok, kelompok, atau produk tertentu,” tutur Devie.

 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI