KontraS: Haris Dan Fatia Korban Kriminalisasi Pejabat Publik Atas Skandal Bisnis Di Papua
SinPo.id - Penetapan Direktur Lokataru, Haris Azhar dan Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Fatia Maulidiyanti sebagai tersangka oleh Penyidik Polda Metro Jaya dinilai sebagai bentuk kriminalisasi dari pejabat publik.
Hal itu disampaikan Tim Advokasi untuk Demokrasi dalam keterangan tertulisnya dikutip SinPo.id dari laman resmi KontraS, Sabtu (19/3).
Penetapan keduanya merupakan tindak lanjut dari proses laporan polisi tertanggal 22 September 2021 oleh Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan terkait video di akun youtube Haris Azhar yang berjudul “Ada Lord Luhut di balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga ada!!” berdasar pada hasil riset Koalisi Masyarakat Sipil yang berjudul “Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya.”
"Padahal video tersebut mengungkap fakta penting, bahwa pejabat publik mencampurkan antara bisnis dan jabatannya. Salah satu hal yang paling dilarang dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance)," demikian keterangan tertulis Tim Advokasi untuk Demokrasi.
Namun, Tim Advokasi menegaskan, mengungkap fakta tersebut di Indonesia kini resikonya adalah pemenjaraan. Meskipun, Haris dan Fatia memiliki bukti yang solid dalam pengungkapan tersebut.
"Sejak awal, kami menilai bahwa kasus ini ialah pemidanaan yang dipaksakan mengingat terdapat beberapa kejanggalan dalam proses penyidikan," jelasnya.
Kejanggalan tersebut diantaranya ialah penerapan pasal dalam penyidikan tidak memenuhi unsur pidana, proses penyidikan yang dilakukan oleh Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dalam perkara ini melanggar SKB Pedoman Implementasi UU ITE.
"Dan proses penyidikan yang dilakukan oleh Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dalam perkara ini bertentangan dengan Surat Edaran Kapolri tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif," ungkapnya.
Sehingga, menurutnya, penetapan tersangka ini tentu harus diuji secara hukum, supaya penggunaan instrumen hukum dan aparat penegak hukum untuk tujuan membungkam tidak dibiarkan leluasa dan terus diulang-ulang oleh pihak yang merasa berkuasa.
"Sebagaimana dengan janji jabatannya, aparat penegak hukum hanya mengabdi pada konstitusi dan negara, bukan mengabdi pada kekuasaan. oleh karenanya berhentilah menjadi alat kekuasaan dan kembali melayani konstitusi dan kepentingan publik, bukan kepentingan individu," tegasnya.
Selain itu, Tim Advokasi mengatakan pemidanaan untuk tujuan pembungkaman ini juga menunjukkan garis batas tentang kebenaran dan pihak yang khawatir terbongkarnya skandal yang menempuh cara tidak demokratis.
"Di tengah praktik kriminalisasi ini, kebebasan sipil di Indonesia, terutama di Papua ada dalam kondisi krisis ketika penangkapan sewenang-wenang, pembatasan akses, pembunuhan terhadap warga sipil, serta pengungsian akibat dari dampak eksploitasi sumber daya alam dan konflik bersenjata di Papua turut terjadi," tuturnya.
Berangkat dari situasi tersebut, Tim Advokasi untuk Demokrasi menilai penetapan tersangka bukan menjadi peristiwa tunggal semata, melainkan bereskalasi terhadap kondisi di Papua yang akan menghadapi ancaman dan tantangan lebih serius.
"Baik Fatia maupun Haris akan menghadapi risiko tersebut dengan kepala tegak karena keyakinan akan kebenaran dan tujuan baik dari semua yang dilakukan demi melayani kepentingan publik terkait masalah hak asasi manusia dan eksploitasi sumber daya alam di Papua," tandasnya.

