Korupsi Di Bawah Rp 50 Juta Tak Perlu Dipidana, Begini Alasannya

Laporan: Bayu Primanda
Selasa, 08 Maret 2022 | 15:09 WIB
Jaksa Agung St Burhanuddin/net
Jaksa Agung St Burhanuddin/net

SinPo.id -  Penanganan kasus korupsi dinilai tak perlu menggunakan pendekatan pidana. Terlebih jika kasus korupsi yang ditangani nilai korupsinya atau kerugian negara yang ditimbulkan hanya Rp50 juta. 

Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan bahwa ada ongkos yang dikeluarkan negara dalam penanganan perkara korupsi. Jika nilainya hanya sebatas Rp50 juta, maka jumlah biaya penangannya bisa lebih besar daripada jumlah uang yang dikorupsi.

Jaksa Agung menilai bahwa korupsi dengan nominal di bawah Rp50 juta sekiranya bisa menjadi bahan diskursus sendiri.

Hal ini disampaikan Burhanuddin dalam webinar bertajuk Keadilan Restoratif: Apakah Korupsi Rp 50 Juta Perlu Dipenjara, yang disiarkan virtual, Selasa (8/3).

"Terkait tindak pidana korupsi yang tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara, maupun yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara dengan nominal kerugian yang relatif kecil, misalnya di bawah Rp 50 juta, kiranya patut menjadi bahan diskursus bersama apakah perkara tersebut harus dilakukan penjatuhan sanksi pidana penjara atau dapat menggunakan mekanisme penjatuhan sanksi lain?" kata Jaksa Agung.

Menurutnya, kasus korupsi dengan kerugian keuangan negara kecil dapat diselesaikan dengan restorative justice. Adapun restorrative justice atau keadilan restoratif telah diterapkan di beberapa kasus yang berkaitan rakyat kecil.

Jaksa Agung menginginkan keadilan restoratif dapat diterapkan dengan memperhatikan kualitas, jenis, dan berat ringannya suatu perkara. Oleh karenanya, metode ini dinilai layak digunakan dalam penindakan kasus korupsi dengan tujuan pengembalian kerugian keuangan negara.

"Dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi penerapan keadilan retoratif ini dimungkinkan dapat diterapkan untuk para pelaku, satu tindak pidana korupsi yang perbuatannya tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara, maupun yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara namun dengan nominal kerugian yang kecil, dengan mengingat kejahatan tindak pidana korupsi pada dasarnya adalah kejahatan finansial," jelas Burhanuddin.

"Maka menurut hemat saya penanggulangannya akan lebih tepat jika pendekatannya menggunakan instrumen finansial," tegas Jaksa Agung.

Salah satunya dengan pendekatan follow the money, dan follow the asset dengan melakukan penelusuran aset guna pemulihan kerugian keuangan negara. 

Selain itu bisa juga melakukan gugatan perdata bagi pelaku yang telah meninggal dunia atau diputus bebas tetapi secara nyata telah ada kerugian negara.

Dengan demikian, hal tersebut menurut Jaksa Agung selaras dengan teori ekonomi yang menjelaskan proses penegakkan hukum secara efisien harus mempertimbangkan rasionalitas perhitungan biaya penanganan tindak pidana korupsi mulai dari penyelidikan hingga pelaksanaan putusan inkrah. 

Negara pun diuntungkan dengan tidak mengalami peningkatan jumlah kehilangan keuangan negara akibat perbuatan korupsi yang telah dilakukan pelaku dan akan bertambah dengan biaya-biaya yang lebih hemat dalam hal penanganan pekara yang dilakukan aparat penegak hukum.

"Teori ekonomis analisis off law sejalan dengan konsep keadilan Restorative Justice dalam mewujudkan sistem peradilan yang sederhana cepat, dan biaya ringan yang dapat menghemat anggaran dengan memperhitungkan anggaran secara cermat maka aparat penegak hukum dapat lebih fokus kepada perkara korupsi yang besar yang membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit," kata dia.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI