Rupiah Masih Mengkhawatirkan, Harga Minyak Tembus USD100,99/Barel Imbas Konflik Rusia-Ukraina

SinPo.id - Invasi Rusi ke Ukraina memasuki hari kelima. Sejauh ini, belum ada tanda-tanda perang berakhir. Konflik ini masih akan menekan nilai tukar rupiah lantaran pasar khawatir akan dampak negatif perang tersebut terhadap perekonomian.
Disisi lain, harga minyak di pasar internasional pada perdagangan Senin (Selasa, WIB) melonjak di atas USD100 per barel, karena investor mulai memperhitungkan dampak sanksi terbaru negara-negara Eropa terhadap Rusia.
Analis Energi di Commerzbank Research Carsten Fritsch, Carsten Fritsch mengatakan, minyak mentah Brent untuk pengiriman April tercatat naik USD3,06 atau 3,1 persen menjadi USD100,99 per barel di London ICE Futures Exchange.
Sementara, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman April bertambah USD4,13, atau 4,5 persen, menjadi USD95,72 per barel di New York Mercantile Exchange.
"Kenaikan harga yang mencolok disebabkan oleh sanksi yang dikenakan pada Rusia oleh Barat, yang kemudian diperketat lagi secara signifikan pada akhir pekan," ujar Carsten Fritsch, mengutip Antara, Selasa, (1/3).
Amerika Serikat bersama dengan Eropa dan sekutu lainnya, mengeluarkan pernyataan bersama yang mengatakan mereka akan menghapus beberapa bank Rusia dari Society Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) atau sistem pembayaran untuk sebagian besar transaksi keuangan internasional, sebagai tanggapan atas operasi militer Moskow yang sedang berlangsung di Ukraina.
“Langkah itu memicu kekhawatiran terhadap gangguan pada pasokan energi Rusia," kata Fritsch.
Sementara itu, analis Pasar Uang Ariston Tjendra menilai konflik Rusia dan Ukraina masih akan menekan nilai tukar rupiah lantaran pasar khawatir akan dampak negatif perang tersebut terhadap perekonomian.
"Kurs rupiah masih berpeluang melemah terhadap dollar AS. Pasar masih mengkhawatirkan dampak negatif perang di Ukraina terhadap perekonomian," kata Ariston.
Dia menuturkan, nilai tukar rupiah berpotensi ke arah Rp14.400, dengan support di kisaran Rp14.350. Ariston menilai, perang yang lebih lama dikhawatirkan akan berdampak melemahkan ke perekonomian global. Hal ini juga memicu kenaikan harga energi dan komoditi.
"Perang kelihatannya belum akan berakhir. Upaya diplomasi belum berhasil. Sanksi ekonomi yang lebih berat yang diterapkan oleh AS dan sekutunya kepada Rusia berdampak negatif ke perekonomian global dan mendorong inflasi," jelasnya.
Sementara itu, faktor dari dalam negeri atas melemahnya kurs rupiah ialah kecemasan pasar akan data inflasi dan indeks aktivitas manufaktur Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur pada Februari yang akan dirilis.
Dia menambahkan, inflasi yang tinggi juga bisa menurunkan daya beli masyarakat dan menekan pertumbuhan ekonomi. "Inflasi yang tinggi dan data PMI yang di bawah ekspektasi berpotensi menekan nilai tukar rupiah dan sebaliknya," tandasnya.