Cukup Pakai Dekret, Jokowi Bisa Jadi Presiden 3 Periode, Tapi...

Laporan: Bayu Primanda
Senin, 28 Februari 2022 | 12:44 WIB
Yusril Ihza Mahendra/net
Yusril Ihza Mahendra/net

SinPo.id - Pakar hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra mengatakan ada cara lain jika Joko Widodo ingin tetap menjabat sebagai Presiden RI untuk ketiga kalinya.

Caranya yaitu cukup menerbitkan Dekret Presiden atau perintah yang dikeluarkan oleh kepala negara maupun pemerintahan dan memiliki kekuatan hukum.

Banyak konstitusi memungkinkan dekret dalam masalah tertentu, seperti halnya dalam pernyataan keadaan darurat. 

Mantan Menteri Hukum dan HAM ini menerangkan bahwa dekret adalah sebuah revolusi hukum yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum alias setelah pemberlakuannya.

Yusril mengutip Professor Ivor Jennings, bahwa revolusi yang berhasil dan mendapat dukungan mayoritas rakyat dapat menciptakan hukum yang sah. Tetapi sebaliknya, revolusi yang gagal menyebabkan tindakan revolusi hukum sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum.

Pelaku revolusi yang gagal bisa diadili oleh pengadilan dengan dakwaan makar (kudeta) atau penghianatan terhadap bangsa dan negara, atau dipecat dari jabatannya oleh lembaga yang berwenang.

"Masalahnya apakah Presiden Jokowi punya nyali untuk mengeluarkan dekrit, sebagaimana Bung Karno keluarkan Dekrit membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 45?" kata Yusril lewat keterangan tertulis yang diterima pada Minggu (27/2).

Belajar dari 2 Dekret yang pernah dikeluarkan Presiden RI terdahulu, Jokowi harus mengambil pelajaran banyak.

Yusril menilai peristiwa Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 bukanlah tindakan yang didasarkan kepada dalil “staatsnoodrechts” (keadaan darurat negara) atau “noodstaatsrechts” (hukum tata negara dalam keadaan darurat) sebagaimana didalilkan Prof Mr Djokosutono dan Prof Mr Notonegoro.

Dia tidak melihat cukup alasan untuk menyatakan adanya dua faktor tersebut. Dekrit 5 Juli 1959, kata Yusril, adalah sebuah revolusi hukum yang berhasil berkat politik cipta kondisi yang kala itu diorganisir Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal AH Nasution.

Menurut dia, saat itu Nasution lebih dulu menyatakan SOB (Staat van Oorlog en Beleg) atau “negara dalam keadaan bahaya”, serta dukungan partai-partai politik, terutama PNI dan PKI.

”Revolusi hukum tidak mungkin akan berhasil tanpa dukungan militer dan ini sejarah tahun 1959,” papar Yusril.

Peristiwa 1959 itu tentunya berbeda dengan yang terjadi pada 2001, ketika Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mengeluarkan dekrit untuk membubarkan DPR dan MPR hasil Pemilu 1999.

"Sebelum niat itu dilaksanakan, saya sudah memberikan tausiyah kepada Gus Dur dalam sidang kabinet pada 6 Februari 2001. Saya mengingatkan dalam posisi saya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM yang memang memberikan nasihat hukum kepada Presiden," ungkap Yusril.

Kepada Gus Dur, Yusril saat itu mengatakan bahwa rencana mengeluarkan maklumat atau dekrit membubarkan DPR dan MPR itu adalah tindakan inkonstitusional yang sangat berisiko.

Kalau tindakan itu mau disamakan dengan tindakan Bung Karno tanggal 5 Juli 1959, maka tidak ada landasan sosiologis, politis dan konstitusional untuk mendukungnya. Dekrit hanya akan berhasil jika didukung kekuatan militer.

"Sementara saya melihat TNI kala itu justru enggan mendukung langkah inkonstitusional tersebut. Mengingat saat itu DPR sudah mengeluarkan memorandum I kepada Presiden, saya menyarankan agar Presiden mengundurkan. Daripada dipermalukan dengan diberhentikan oleh MPR," tutur Yusril.

Bukannya direspons positif, Gus Dur malah marah. Yusril dipecat keesokan harinya, 7 Februari 2001 dan posisinya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM digantikan Baharudin Lopa. Menteri baru ini bersedia mewakili Presiden menjawab memorandum I dan II dari DPR di MPR. Tetapi Gus Dur akhirnya meneken dekret pada 23 Juli 2001.

Memang, tindakan Gus Dur mendapat dukungan begitu banyak dari kalangan aktivis, akademisi, dan tokoh-tokoh LSM. Namun karena tindakan revolusi hukum yang tidak matang, MPR segera bersidang dan menjawab dekrit dengan memberhentikan Gus Dur sebagai presiden.

"Pertanyaannya sekarang, apakah Presiden Jokowi akan memilih mengeluarkan Dekret menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan semua penyelenggara negara termasuk dirinya, yang menurut UUD 45 harus diisi melalui Pemilu? Dugaan saya Presiden Joko Widodo tidak akan melakukan itu," tukas Yusril.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI