Fadli Zon: Aturan Baru JHT Zalim, Jokowi Harus Mencabutnya Sebelum Timbulkan Gejolak Sosial

Laporan: Samsudin
Sabtu, 19 Februari 2022 | 00:03 WIB
Politisi Gerindra, Fadli Zon/twitter
Politisi Gerindra, Fadli Zon/twitter

SinPo.id - Politisi Gerindra, Fadli Zon ikut buka suara terkait aturan baru pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) yang saat ini ramai ditentang kalangan pekerja. Menurut Fadli Zon, dengan menahan pencairan JHT, pemerintah telah memaksa kaum buruh membiayai krisis. 

Dikatakan Fadli Zon, desakan agar Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Program Jaminan Hari Tua (JHT) dicabut, sudah banyak disuarakan.

Diketahui, melalui Permenaker tersebut Pemerintah menetapkan bahwa pencairan dana JHT secara penuh baru bisa dilakukan sesudah peserta mencapai usia 56 tahun.

Padahal, aturan sebelumnya, manfaat JHT dapat diberikan pada peserta yang mengundurkan diri dan dibayarkan secara tunai setelah melewati masa tunggu 1 bulan.

"Kalangan buruh tentu saja menolak perubahan itu, karena dinilai memberatkan. Saya lihat, mayoritas fraksi di parlemen, mayoritas pendapat publik juga telah menyampaikan penolakannya terhadap peraturan tersebut. Aturan itu dianggap menzalimi kepentingan kaum buruh," tulis Fadlin Zon melalui akun Twitternya, dikutip SinPo.id, Jumat (18/2).

Karena dilarang untuk mencairkan tabungan JHT-nya, secara tak langsung buruh sedang dipaksa untuk menjaga stabilitas keuangan negara. Sementara stabilitas kebutuhan ekonomi mereka sendiri jika terkena PHK sama sekali tak diperhatikan Pemerintah.

"Karena besarnya penolakan masyarakat tersebut, saya kira tak ada alasan bagi Presiden untuk mengabaikannya. Permenaker No. 2 Tahun 2022 sebaiknya memang segera dicabut agar tak menimbulkan gejolak sosial yg lebih besar," urainya.

Fadli Zon lantas menguraikan sejumlah alasan. Ada beberapa alasan kenapa Permenaker itu bisa dianggap telah menzalimi kaum buruh.

Pertama, filosofi JHT sebenarnya adalah tabungan, yaitu agar kaum buruh masih punya tabungan saat mereka tak lagi bekerja, atau tak lagi menerima upah. Sehingga, teorinya, saat seseorang tak lagi menerima upah, maka ia seharusnya diperbolehkan mencairkan tabungannya.

"Nah, Permenaker No. 2 Tahun 2022 secara sepihak telah memaksa kaum buruh untuk menunda pencairan tabungan tadi hingga mencapai usia 56 tahun," tuturnya.

Padahal, di sisi lain, kata Fadli Zon, pemerintah sendiri tidak bisa memberikan jaminan bahwa kaum buruh bisa terus bekerja dan menerima upah, atau tidak akan kehilangan pekerjaannya, hingga mencapai usia tersebut. 

"Ini kan zalim," sebutnya.

"Bagaimana jika buruh kena PHK pada usia 35 tahun, 40 tahun, atau 45 tahun, dan tidak bisa lagi masuk ke bursa kerja di sektor formal, apakah mereka harus menunggu 21 tahun, 16 tahun, atau 11 tahun kemudian untuk mencairkan uangnya sendiri?," tanya politisi yang dikenal vokal ini. 

Kedua, Pasal 2 Permenaker No. 2 Tahun 2022 memang memberikan opsi pencairan JHT sebelum usia 56, namun dengan syarat buruh mengalami cacat total tetap atau meninggal dunia.

"Lho, JHT ini adalah “asuransi sosial” bagi orang yang kehilangan pekerjaan dan penghasilan, bukan asuransi jiwa atau kecelakaan kerja. Masak buruh harus mengalami cacat dulu, atau mati dulu hanya untuk mencairkan tabungannya? Aturan ini, selain zalim, juga aneh," sindir Fadli.

Ketiga, kebijakan ini dirumuskan Pemerintah tanpa konsultasi publik terlebih dahulu dengan ‘stakeholder’ terkait, terutama kaum buruh serta Komisi IX DPR RI. 

"Proses perumusannya saja sudah tidak ‘fair’ dan tak terbuka, bagaimana isinya bisa ‘fair’ jika begitu?," tanya Fadli lagi.

Selain soal tidak transparan dan fair, serta zalimnya peraturan tersebut terhadap kaum buruh, ada persoalan lain yag menurut Fadli perlu kita perhatikan juga, yaitu kenapa Pemerintah tiba-tiba mengubah peraturan mengenai JHT di tengah-tengah situasi pandemi? 

"Apa yang sesungguhnya sedang terjadi?," tandasnya. 

"Jika kebijakan ini tak segera ditarik, saya khawatir masyarakat mengalami demoralisasi terhadap sistem jaminan sosial. Sesudah kisruh Jiwasraya, Asabri, serta kisruh tata kelola iuran BPJS Kesehatan, Pemerintah akan semakin kesulitan meyakinkan masyarakat bahwa suransi sosial itu penting," demikian Fadli. 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI