Anak Anggota DPRD Pekanbaru Pemerkosa Siswi SMP Dibebaskan, Begini Respons LPSK

Laporan: Samsudin
Sabtu, 08 Januari 2022 | 19:47 WIB
Ilustrasi. Anak Anggota DPRD Pekanbaru dibebaskan usai korban cabut laporan/net
Ilustrasi. Anak Anggota DPRD Pekanbaru dibebaskan usai korban cabut laporan/net

SinPo.id - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendorong kepada pihak kepolisian untuk tetap menuntaskan kasus pemerkosaan anak di bawah umur di Riau, walaupun dalam perjalanannya para pihak sudah berakhir damai.

Diketahui, seorang siswi SMP berinisial AS (15) di Pekanbaru, menjadi korban perilaku biadab anak anggota DPRD Pekanbaru berinisial AR (21). AR diduga dengan keji menyekap dan memperkosa korban yang masih duduk di bangku sekolah.

Korban menjadi korban kekerasan seksual AR itu terjadi pada 25 September 2021 di rumah anggota DPRD Pekanbaru berinisial ES. Pada perjalanan kasus ini, korban mencabut laporanya. Pelaku AR pun melenggang bebas dan hanya dikenakan wajib lapor dua kali seminggu.

Informasinya, perdamaian kedua belah pihak dilakukan di Mapolresta Pekanbaru, 19 Desember lalu. Turut hadir orang tua korban dan pelaku, kuasa hukum korban, dan Kasat Reskrim saat itu, Kompol Juper Lumban Toruan.

Kapolresta Pekanbaru Kombes Pria Budi membenarkan kedua pihak berdamai. Dia memastikan laporan sudah resmi dicabut keluarga korban, AS (15).

"Korban (AS) mencabut laporannya. Ada pernyataan mencabut laporannya dan pernyataan perdamaian kedua belah pihak," kata Kapolresta, Selasa (4/1).
 

Menciderai Rasa Keadilan

Wakil Ketua LPSK RI, Maneger Nasution mengatakan kasus pemerkosaan anak di bawah umur di Riau menambah panjang kasus kejahatan seksual di Indonesia.

Karena itu ia berharap kepada polisi untuk tetap mengusut perkara ini, walaupun korban telah berdamai atau mencabut laporan.

"Peristiwa pencabutan laporan korban di Pekanbaru ini tentu mencederai rasa keadilan publik," kata Maneger dalam keterangannya kepada wartawan, Sabtu (8/1).

Selain itu, ia khawatir publik juga menduga bahwa keluarga pelaku yang merupakan anggota DPRD, menggunakan pengaruhnya. Seperti menekan korban untuk berdamai dan pada ujungnya menangguhkan penahanan pelaku.

Karenanya, meskipun korban atau pelapor telah mencabut laporannya, kepolisian tetap berkewajiban memproses perkara tersebut

"Polisi sejatinya tidak bisa menghentikan proses penyidikan dengan bersandar adanya persetujuan perdamaian antara korban dan keluarganya dengan pelaku, mengingat perkosaan adalah delik biasa,” imbuhnya.

Maneger juga meminta, pihak-pihak yang memfasilitasi proses perdamaian dan kemudian berujung penangguhan penahanan terhadap pelaku, perlu dilakukan pemeriksaan.

Sebab, menurut dia, bisa jadi disinyalir, langkah mereka benar-benar tidak sesuai prosedur atau diduga terjadi pelanggaran.

Ia juga mengingatkan langkah perdamaian itu, berbeda dengan restoratif justice. Sebab sebagaimana dalam Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana, memiliki prinsip pembatasan.

Misalnya, pemenuhan syarat formil salah satunya adalah bahwa semua tindak pidana dapat dilakukan restorative justice terhadap kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia.

"Pemerkosaan ini korbannya manusia. Jika benar dilakukan langkah-langkah untuk mendamaikan, tindakan tersebut telah melanggar Surat Edaran Kapolri dimaksud," jelasnya.

“Maka, meskipun pada akhirnya terjadi perdamaian, LPSK mendorong kepolisian untuk tetap menuntaskan kasus tersebut secara profesional dan independen,” tuntasnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI