Jika Masa Depan Sudah Hilang, Masih Perlukah Ikut Panjat Pinang? (2)
Jakarta, sinpo.id - Dengan menyebutkan nama-nama konkret seperti Ibu Heli, tukang cuci di Manado, Bapak Abdul di Belawan, Ibu Satinah, buruh tani di Banyumas dan Bapak Asep, guru di Jawa Barat, pemerintahan "kerja, kerja, kerja" dimudahkan untuk menunjukan bukti dari kerjanya.
Cukup adil rasanya bila kita berikan kesempatan dan penilaian terhadap pemerintahan kini selama satu periode. Artinya, penilaian tersebut tak datang sekarang, saat mereka baru memerintah sekitar tiga tahun.
Dengan cita-cita memerintah dua periode yang sudah mulai dinyatakan dan mendapat dukungan, perbaikan kesejahteraan atas nama-nama yang disebut tadi akan dijadikan ukuran.
Namun, apakah pembangunan yang tengah digencarkan pemerintah saat ini serta merta terwujud bagi kehidupan nyata Ibu Heli, Ibu Satinah, Bapak Abdul dan Pak Asep?
Masih Ingat dengan Pak Mayar?
Pak Mayar ialah contoh lain dari sebagian kecil rakyat yang selalu dijadikan bahan "jualan" di setiap kampanye. Sama seperti nama konkret yang disebutkan di atas, sosok Pak Mayar nyata adanya.
Nama Pak Mayar muncul saat kampanye 2004. Seperti yang dilakukan Jokowi, Pak Mayar yang tinggal di Cikeas Udik, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat ini dimunculkan ke media setelah pihak lawan yang dihuni partai-partai besar pada saat itu membentuk "Koalisi Kebangsaan"
Hanya didukung tiga partai kecil, untuk maju sebagai calon presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lantas menggalang dukungan langsung dari rakyat. Representasi dukungan rakyat itu dihadirkan dalam sosok Pak Mayar, seorang buruh tani yang hidupnya pas-pasan.
Melalui skema itu, secara mengejutkan SBY yang pada 2004 berpasangan dengan Jusuf Kalla menang di putaran kedua Pilpres 2004. Megawati Soekarnoputri yang saat itu berpasangan dengan Hasyim Muzadi dan didukung partai-partai besar harus gigit jari.
Setelah dilantik dan memerintah, SBY mewujudkan janji-janjinya kepada rakyat. Khusus kepada Pak Mayar, SBY berjanji mengaspal jalan tanah, membangun irigasi dan mendirikan sekolah menengah atas negeri (SMAN) di Kecamatan Gunung Putri.
Tahun demi tahun, janji itupun terwujud. Jalan tanah yang becek hingga tak bisa dilalui kendaraan ketika hujan kini sudah diaspal. SMAN pertama di Gunung Putri juga sudah berdiri.
Lantas, apakah hal tersebut membuat Pak Mayar khususnya bahagia? Di satu sisi mungkin iya, tapi Pak Mayar tak bisa menyembunyikan kesedihannya.
Pak Mayar sedih mendapati perubahan di desanya. Jalan-jalan yang diaspal tidak memudahkannya menjual lengkuas serta serai hasil tanamannya. Jalan yang diaspal mengurangi lahan garapannya untuk menanam, karena dijadikan perumahan-perumahan, seperti yang tertera pada harian Kompas 29 Mei 2010.
Jalan-jalan yang diaspal membuka isolasi Desa Wana Herang, yang ditinggali Pak Mayar dan keluarganya. Hal tersebut sekaligus sebagai jembatan datangnya para pendatang yang ingin menguasai lahan-lahan.
Tak lama kemudian, karena desakan ekonomi, lahan yang dimiliki Pak Mayar akhirnya dijual. Tak hanya itu, rumah lengkap beserta pekarangannya juga dujual karena panen lengkuas dan serai tidak mencukupi kebutuhan ekonomi yang otomatis turut membumbung.
Sementara itu hadirnya SMAN di Gunung Putri, Pak Mayar mengaku senang karena warga desanya tak harus menempuh perjalanan nan jauh demi mengenyam pendidikan tinggi. Namun ironisnya, karena alasan biaya yang tak terjangkau, tak seorang pun anak atau cucu Pak Mayar bisa sekolah di SMAN itu.

