'Caper' Paksa Tunarungu Bicara, 26 Organisasi Tuntut Mensos Risma Minta Maaf

Laporan: Samsudin
Sabtu, 04 Desember 2021 | 11:48 WIB
Mensos Tri Rismaharini/dok/kemensos
Mensos Tri Rismaharini/dok/kemensos

SinPo.id - Menteri Sosial Tri Rismaharini memaksa seorang anak penyandang disabilitas rungu wicara untuk berbicara di hadapan khalayak ramai saat peringatan Hari Disabilitas Internasional di kantor Kemensos, Jakarta, Rabu (1/12). 

Menurut Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin, tindakan itu tidak baik dan Risma ingin mendapatkan perhatian dari masyarakat.

Ia mengatakan, mungkin Risma ingin menyemangati para tunarungu agar percaya diri dan optimis dalam menjalani kehidupan yang tidak mudah bagi mereka.

“Namun yang namanya pemaksaan itu tidak baik. Apapun tidak boleh dipaksakan. Termasuk memaksa tunarungu untuk bicara di depan publik. Mungkin Risma juga ingin mendapatkan perhatian dari masyarakat," katanya mengutip Republika.co.id, Sabtu (4/12).

Kemudian, ia melanjutkan Risma tidak mendapatkan perhatian dari masyarakat melainkan mendapatkan kritikan atas sikapnya. Ini menjadi persoalan. Sebab, saat ia muncul ke publik selalu ada saja sikapnya yang dikritik.

"Mestinya menteri itu harus belajar psikologi agar setiap kegiatannya tidak banyak menyinggung publik. Mesti banyak belajar lah agar apa yang dilakukannya tidak kontraproduktif," ujarnya.

Sementara itu, sebanyak 26 organisasi yang bergerak dalam isu disabilitas merasa tersinggung dengan aksi Menteri Sosial Tri Rismaharini yang memaksa anak tunarungu berbicara. Mereka pun menuntut permintaan maaf dari Risma. 

Puluhan organisasi itu tergabung dalam Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas Anti Audism. Tiga organisasi di antaranya adalah Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin), Yayasan Handai Tuli, dan Kesetaraan Anak Tuli.

Pernyataan sikap mereka sampaikan lewat siaran pers yang dikemas dalam bentuk surat terbuka untuk Risma. Surat itu awalnya menyorot dua pernyataan Risma ketika memaksa seorang anak tunarungu berbicara di hadapan publik saat acara peringatan Hari Disabilitas Internasional di kantor Kemensos, Rabu (1/2). 

"Disabilitas Rungu/Tuli akan dibagikan Alat Bantu Dengar (ABD) agar dapat berbicara dan mengurangi penggunaan bahasa Isyarat", dan "Ibu paksa memang, supaya kita bisa memaksimalkan pemberian Tuhan kepada kita, mulut, mata, telinga. Jadi Ibu tidak melarang menggunakan bahasa isyarat tapi kalau kamu bisa bicara maka itu akan lebih baik lagi". 

"(Dua pernyataan itu) telah menyinggung perasaan warga negara penyandang disabilitas rungu/tuli," demikian bunyi surat terbuka itu sebagaimana dibacakan perwakilan koalisi dalam konferensi pers, Jumat (4/12)

Mereka juga menilai bahwa pernyataan Risma itu bertentangan dengan prinsip HAM yang termaktub dalam UUD 1945. Pernyataan tersebut juga bertentangan dengan berbagai prinsip dalam sejumlah undang-undang terkait disabilitas. 

Koalisi ini menjelaskan, setiap penyandang disabilitas memiliki cara berbeda dalam berkomunikasi. Alih-alih memaksa, Risma seharusnya menghormati cara berkomunikasi anak tunarungu yang menggunakan bahasa isyarat itu. 

"Pilihan komunikasi seseorang dengan menggunakan bahasa isyarat tidak boleh dilarang dan dipaksa untuk menggantinya," kata mereka dalam surat untuk Risma. 

Puluhan organisasi ini pun menuntut permintaan maaf Risma. Hal itu disampaikan Fajri Nursyamsi, moderator dalam konferensi pers virtual itu.

"Kami menyampaikan dan mencantumkan dalam siaran pers untuk Bu Risma sebagai Mensos itu meminta maaf atas yang disampaikannya di Hari Disabilitas Internasional. (Permintaan maaf kepada) penyandang disabilitas, khususnya penyandang disabilitas tuli," tegasnya. 

Sementara itu, Menteri Sosial Tri Rismaharini membantah bahwa dirinya memaksa anak disabilitas rungu untuk berbicara saat acara peringatan Hari Disabilitas Internasional. Risma mengaku hanya ingin anak itu belajar mengucapkan kata, setidaknya berujar 'tolong'. 

Risma menjelaskan, dirinya terinspirasi melakukan hal itu karena teringat pengalamannya sebagai Wali Kota Surabaya dulu. Ketika itu, ada seorang anak tunarungu diperkosa. Tapi, anak tersebut tak bisa berteriak minta tolong. 

"Itu yang saya sedih dan kenapa saya mengajarkan (anak disabilitas di acara tersebut untuk berbicara). Minimal dia bisa bilang 'tolong'," kata Risma kepada wartawan di kantor Kemensos, Kamis (2/12). 

Risma pun menegaskan bahwa dirinya tak ada niatan sama sekali untuk memaksa anak laki-laki tunarungu itu berbicara.

"Saya nggak maksa. Untuk apa saya maksa. Itu pilihan. Tapi saya ingin dalam kondisi tertentu, dia bisa menyelamatkan dirinya. Tidak ada niat apa pun dari saya. Sedih saya terus terang," imbuhnya. 

Selain itu, Risma mengaku juga terinspirasi dari keberhasilan Angkie Yudistia, seorang penyandang disabilitas tunarungu dan kini menjadi Staf Khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi). Risma melihat Angkie kini bisa berbicara lebih baik dibanding kali pertama mereka bertemu sekitar lima tahun lalu. 

"Saya pikir, Mbak Angkie kok bagus ngomongnya. Ternyata dia melatih diri terus," kata Risma.sinpo

Komentar: