Bedah Buku ?Tarung Digital?, PSI Dorong Literasi Digital dan Perlindungan Data Pribadi
SinPo.id - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mendorong literasi digital menjadi mata pelajaran di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Alasannya, sebaran informasi lewat platform media sosial kerap disusupi hoaks dan ujaran kebencian. Demikian disampaikan Direktur Eksekutif DPP PSI, Andy Budiman, dalam diskusi online dan bedah buku “Tarung Digital: Propaganda Komputasional di Berbagai Negara” karya Agus Sudibyo.
“Saya sangat mendukung ide literasi digital ini, di internal PSI akan kami bahas secara serius, akan kita dorong agar pemerintah menyediakan satu slot khusus yang saya pikir bukan sekadar mata pelajaran tambahan, tapi salah satu mata pelajaran utama yang wajib diikuti seluruh pelajar di tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah umum,” kata Andy, Rabu 2 Juni 2021.
Andy menyebut, literasi digital menjadi upaya penting untuk mengimbangi pertumbuhan pengakses informasi lewat media sosial, terutama menjelang Pemilu 2024 nanti. Dia memprediksi, jumlah penetrasi informasi lewat media sosial naik mencapai 70 % dari total pengguna internet.
Mengingat jumlahnya yang sangat signifikan itu, Andy berharap, penyebaran informasi palsu, fitnah, dan propaganda untuk menjatuhkan lawan politik seperti Pemilu 2019 tidak terulang lagi.
“Saya pikir, 2024 nanti memang akan menjadi pertarungan digital yang sangat sengit. Populasi digital kita akan semakin besar. Kalau 2019 itu ada 30% daya jangkaunya (penyerap informasi lewat platform digital), mungkin di 2024 bisa sampai 70%. Jadi, ini tantangan sekaligus peluang,” lanjut mantan redaktur lembaga berita publik Jerman, Deutsche Welle, itu.
Lebih jauh Andy memaparkan, sebagai sarana kampanye, media sosial punya banyak kelebihan dibanding media konvensional. Media sosial, menurutnya, memungkinkan aktor politik berkampanye dengan murah, cepat, dan efektif.
Oleh karena itu, aturan tentang kampanye di media sosial hendaknya tidak membatasi pesan politik yang ingin disampaikan, karena itu bagian dari pendidikan politik, sepanjang tidak mengandung unsur kebohongan dan ujaran kebencian.
Andy melanjutkan, media sosial juga telah membuka ruang bagi hadirnya kekuatan-kekuatan politik alternatif baru, sesuatu yang mustahil tercapai jika mengandalkan media konvensional yang sangat mahal.
“Kalau kita mengandalkan media konvensional, maka kita akan melihat (kondisi) politik ini sulit berubah, karena orang yang punya akses terhadap media-media konvensional ini terbatas pada orang yang punya uang, bayar iklan TV mahal banget,” imbuhnya.
Selain mendorong literasi digital, menurut Andy, PSI juga konsisten mengawal pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi. Dia melihat, publik semakin sering memanfaatkan media sosial dalam urusan sehari-hari, termasuk untuk berbisnis dan bekerja. Karenanya, data publik harus dilindungi dari pencurian dan penyalahgunaan.
“Orang Indonesia punya sikap yang lebih percaya dengan platform media sosial, bahwa ini membawa kebaikan dan manfaat buat mereka, ini harus disertai proteksi terhadap diri mereka, supaya data-data mereka tadi tidak dimanfaatkan secara ilegal oleh pihak ketiga. Jadi kita berharap bahwa parlemen bisa menuntaskan soal perlindungan data ini dengan sebaik-baiknya, tidak mengkhianati kepercayaan publik Indonesia yang begitu percaya dengan media sosial. Sekaligus ini PR kita berikutnya, bahwa selain kampanye literasi digital, kita juga ingin mendorong agar data masyarakat itu dilindungi, meskipun ini tidak hanya media sosial,” tekan Andy.
Dalam diskusi yang dimoderatori Juru Bicara DPP PSI Dara Nasution itu, Agus Sudibyo mengatakan, buku yang dia tulis tersebut menjelaskan bagaimana kampanye dan propaganda politik bekerja dalam dunia digital, sehingga membawa konsekuensi pada realitas politik.
“Dalam buku saya itu, saya ingin melihat bagaimana kampanye politik dan propaganda politik terjadi dalam konteks digitalisasi. Bagaimana propaganda politik dipengaruhi atau berada dalam lingkaran sistemik digitalisasi dan bagaimana lingkaran sistemik digitalisasi itu, kemudian mempengaruhi politik dijalankan oleh partai politik dan agen-agen propaganda baik di dunia nyata maupun dunia digital,” ujar anggota Dewan Pers itu.
Ada beberapa studi kasus yang dia angkat dalam buku itu, yang menggambarkan cara kerja propaganda komputasional. Misalnya, gesekan antara fanpage The Heart of Texas dengan United Muslims of America (UMA) soal pembangunan gedung Islamic Da’wah Center di Houston, Amerika Serikat.
Ketegangan dua fanpage Facebook itu, berujung pada demonstrasi berjilid dan melahirkan kekerasan jalanan dari kelompok Muslim dengan non-Muslim. Ini terjadi beberapa bulan jelang pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016.
Setahun usai gelaran Pilpres Amerika 2016, barulah diketahui bahwa dua fanpage itu merupakan rekayasa lembaga underbow politik Rusia Internet Research Agency, dan sengaja dibuat untuk menciptakan kerusuhan di kalangan masyarakat Amerika dengan memanfaatkan isu agama.
Narasi kulit hitam vs kulit putih, native vs immigrant, muslim vs non-muslim, dan kepompong informasi (information cocoon/filter buble) lain di Amerika, juga diyakini merupakan rekayasa untuk memecah belah masyarakat dan menggalang opini, pada akhirnya demi menguntungkan kelompok politik tertentu.
Menurut Dibyo, sapaan akrab Agus, ada beberapa karakteristik yang melekat pada propaganda komputasional, sekaligus yang membuatnya berbeda dari propaganda-propaganda kain, yaitu melibatkan manusia dan robot (cyber troll, bot, dll), prinsip otomatisasi, disebarkan di media sosial dan media online, mengangkat isu identitas (ras, agama dan etnisitas), berisi disinformasi/ujaran kebencian dan bekerja lintas negara/benua.
Contoh lain dari propaganda komputasional adalah pencurian 80 juta data pribadi pengguna Facebook dalam skandal Cambridge Analytica untuk memuluskan referendum Brexit.
Dibyo pun mengingatkan publik, pencurian data pengguna media sosial rawan terjadi saat instalasi aplikasi pada gawai.
Dia juga menemukan fakta bahwa, data-data curian tersebut, digunakan sebagai sasaran kampanye politik microtargeting. Inilah yang terjadi di Pilpres Amerika 2016.
Propaganda komputasional merupakan fenomena global, yang melahirkan pemimpin-pemimpin berideologi sauvinisme, layaknya Donald Trump. Indonesia pun ditengarai sempat menjadi medan proyek politik kelompok-kelompok propaganda komputasional, namun gagal.
“Inilah yang terjadi dalam propaganda komputasional dalam konteks Pilpres Amerika, Pilpres di Brasil, Pilpres India, dan kebetulan, hasilnya adalah pemimpin-pemimpin yang sauvinistik, yang rasis. Indonesia, kita patut bersyukur, kita menjadi semacam anomali karena pemimpin yang kita pilih 2019 kemarin bukan pemimpin yang seperti itu (sauvinisme),” kata Dibyo.