Mana Lebih Ideal, Presidensial atau Parlementer, Ini Kata Para Pakar

Laporan: Lilis
Kamis, 22 April 2021 | 18:39 WIB
Ilustrasi pemilu (Dok. Instagram kpu_ri)
Ilustrasi pemilu (Dok. Instagram kpu_ri)

sinpo, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyatakan, sistem presidensial yang dianut Indonesia saat ini mengandung sejumlah masalah. Sebab itu, PSI mengajak publik untuk memikirkan ulang  sistem parlementer, termasuk menggelar diskusi yang melibatkan para pakar.

“Tema diskusi hari ini lahir dari pembicaraan internal di DPP PSI. Kami beranggapan, setelah lima pemilihan umum berjalan demokratis, saatnya kita bicara tentang bagaimana cara memperkuat demokrasi dan melahirkan stabilitas kebijakan dan politik jangka panjang,” kata Plt Sekjen DPP PSI Dea Tunggaesti saat mengantarkan diskusi online bertajuk “Presidensial vs Parlementer” yang digelar PSI, Rabu 21 April 2021.

PSI ingin mendorong percakapan politik menjadi lebih substantif dan sesuai kepentingan publik. Kepentingan publik dalam hal ini adalah bagaimana pemerintahan berjalan efektif dan di sisi lain demokrasi terjaga.

“Studi memperlihatkan sistem presidensial memiliki sejumlah masalah. Pertama, soal adanya persaingan legitimasi antara presiden dengan parlemen, karena keduanya merasa dipilih secara langsung oleh rakyat. Jika terjadi perbedaan pendapat atau konflik tajam di antara keduanya, maka pemerintahan terancam mengalami kebuntuan,” kata Dea.

Kelemahan kedua, menurut Dea, jika presiden terpilih mempunyai kecenderungan otoriter, ia akan terus-menerus mencari cara memperluas kekuasaan dan menjadikan dirinya diktator.

Selain itu, sistem presidensial juga tidak menyediakan fleksibilitas karena presiden terpilih meskipun kinerjanya buruk, tidak bisa diganti di tengah jalan – kecuali melanggar konstitusi – hingga masa jabatannya berakhir. 

Masalah lain, tambah Dea, situasi menjadi semakin rumit karena Indonesia menerapkan presidensialisme dengan multipartai. Akibatnya sulit menciptakan kemiripan mayoritas, karena Presiden terpilih bisa berasal dari partai yang tidak memenangkan pemilu atau tidak memiliki kursi mayoritas di parlemen. 

Lebih jauh lagi, kekhawatiran Dea akan kemungkinan terburuk dari sistem presidensial adalah membuka peluang “kawin paksa” antar partai yang berseberangan demi membentuk mayoritas koalisi di parlemen. 

Karenanya, Dea melanjutkan, perlu menimbang sistem parlementer. Pelbagai kajian memperlihatkan, ada harapan sistem parlementer dapat memperbaiki masalah-masalah yang berkelindan dalam politik Indonesia. 

“Pertama, sistem parlementer relatif bisa melawan ancaman gelombang populisme politik. Sebaliknya, sistem presidensial justru membuka peluang terpilihnya kandidat dengan ideologi ekstrem ke puncak kekuasaan,” ungkapnya. 

Sistem parlementer relatif mampu menjaga politik di arus mainstream – karena elemen-elemen ekstrem akan difilter ulang dalam proses rekrutmen internal partai maupun melalui proses politik parlemen. 

Di samping itu, sistem parlementer dapat menghindarkan masyarakat dari polarisasi sebagai konsekuensi dari pemilihan dua kandidat presiden sebagaimana lazimnya sistem presidensial yang berlangsung sengit. Pada gilirannya, ketegangan dan potensi konflik terbuka pun dapat diakhiri.  

Alasan ketiga, imbuh Dea, dengan sistem parlementer, guncangan ekonomi akibat kebijakan yang berganti-ganti setiap lima tahun bisa dielakkan. Mengutip penelitian, Dea menyebut jika sistem parlementer – dibanding presidensial – lebih mampu menciptakan stabilitas kebijakan jangka panjang.

Diskusi yang dimoderatori Juru Bicara DPP PSI, Faldo Maldini itu, turut menghadirkan guru besar ilmu politik Universitas Airlangga, Prof. Ramlan Surbakti.

Ramlan Surbakti menukil penelitian Juan Linz dan Arturo Valenzuela (The Failure of Presidential Democracy, 1994). Dalam karya itu, sistem presidensial bisa menyebabkan deadlock (kebuntuan) dalam hubungan antara legislatif – eksekutif, karena baik anggota parlemen dan presiden sama-sama dipilih rakyat.

“Terjadi kebuntuan antara presiden dengan parlemen, jika tidak tersedia solusi demokratis. Kalau sistem parlementer ada solusinya: parlemen bisa memberi mosi tidak percaya kepada kabinet, atau perdana menteri membubarkan parlemen dan membuat Pemilu baru,” ujar Ketua KPU periode 2004 – 2007 itu.

Kedua, imbuhnya, masa jabatan tetap presiden dalam sistem presidensial juga jadi sumber masalah. Pasalnya, belajar dari pengalaman Amerika Serikat, jika presiden tidak dapat melanjutkan tugasnya maka yang akan menggantikan adalah wakil presiden yang belum tentu kompeten, karena paket presiden dan wakil presiden ditentukan oleh partai dan akan bekerja sama sampai masa jabatan habis. 

Ada pun sistem presidensial, ucap Ramlan, ditengarai turut melahirkan “one man show”, karena presiden berperan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Hal itu merujuk pada kewenangan presiden yang relatif otonom untuk membuat dan menentukan kebijakannya sendiri. Akibatnya, kebijakan presiden sulit diprediksi. 

“Eksekutif (presiden) yang kuat dan stabil, karena presiden berperan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus, sehingga menimbulkan kecurigaan terjadinya personifikasi kekuasaan. Bahkan dikatakan, kekuasaan presiden cenderung tidak dapat diprediksi,” terang Ramlan.

Keempat, pemilihan presiden dalam sistem presidensial cenderung menerapkan “winner takes all”. Distribusi kekuasaan yang tidak merata itu menyisakan polarisasi dan ketegangan di tengah masyarakat. 

“Karena yang menang dapat jabatan dan yang kalah tidak mendapat apa-apa, maka tidak ada peluang akan terjadinya perubahan politik sehingga menyimpan ketegangan dan polarisasi,” katanya.  

Kelima, kelebihan sistem parlementer dari sistem presidensial terletak pada akuntabilitas pelaksanaan kebijakan publik yang lebih demokratis. Kelemahan presidensialisme yang terakhir adalah, karena kabinet dibentuk dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada presiden, maka tidak ada menteri yang independen (terpisah) dari presiden.   

Studi  Juan Linz dan Arturo Valenzuela ini kemudian juga dikritisii para ilmuwan politik lain. Pertama, bentuk sistem presidensial  tidak homogen. Ada sejumlah variasi kelembagaan. Di Indonesia, presidensialisme bukan fotokopi Amerika Serikat.  Hal yang sama terjadi di sistem parlementar. Malaysia atau India bukan fotokopi yang di Inggris. Karena itu, kata Ramlan, presidensialisme dan parlementarisme tidak bisa dlihat secara dikotomik. 

“Selanjutnya, presidensialisme akan menghasilkan divided government  jika, pertama, ada banyak partai, seperti di indonesia. Kedua, pemilu legislatif dan eksekutif terpisah waktunya. Ketiga, lebih menggunakan sisitem pemilu proporsional ketimbang mayoritarianisme atau plurality,” kata Ramlan. 

Fakta lain, secara statistik, kebutuntuan pemerintahan hanya sepertiga dari seluruh kasus pemerintahan presidensialisme. Pada kenyataannya, deadlock  juga terjadi di sistem parlementer. Yaitu, ketika tidak ada parpol yang menjadi mayoritas di parlemen. Akibatnya, kabinet mudah diberi mosi tidak percaya oleh parlemen,  Pemerintahan buntu dan pemilu harus digelar lagi. 

Hal lain, koalisi juga terjadi di sistem parlementar. Karena partai juga berkepentingan untuk mendapat kepercayaan dari pemilih.  Caranya adalah dengan masuk kabinet, bukan menjadi oposisi.

“Di Indonesia, kebuntuan hubungan eksekutif – legislatif tidak pernah terjadi. Sejak Pemilu 1999, belum pernah ada satu RUU atau RAPBN yang ditolakDPR. Apalagi sekarang, sejak beberapa tahun terakhr, Baleg DPR dan dan Menkum HAM di awal menyepakati agenda legislatif. Dengan agenda legislatif, kemungkinan veto eksekutif tidak terjadi,” kata Ramlan.
Ramlan juga merespons pertanyaan moderator soal perlu atau tidaknya pemberlakuan presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden) pada Pemilu 2024 mendatang. 

Menurutnya, ambang batas pencalonan presiden masih perlu, namun tidak boleh dipatok tinggi untuk membuka ruang kompetisi yang lebih terbuka. 

“Harus ada presidential threshold, tapi saya bilang jangan setinggi itu agar calonnya tidak hanya dua,” jawabnya. 

Pada kesempatan yang sama, anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Didik Supriyanto, mengetengahkan perspektif lain. Baginya, dalam konteks Indonesia, tantangan berat dalam penerapan sistem parlementer adalah mencari simbol pemersatu bangsa, mengingat sistem itu akan melahirkan dua pemimpin penting negeri. 

“Nah, presidensialisme yang menghasilkan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, dia tidak hanya simbol, tapi dia punya kekuatan untuk menyatukan republik ini. Kalau parlementer, pertanyaannya adalah, siapa yang akan melakukan itu (sosok perekat bangsa)? Atau bagaimana cara kita memilih orang untuk itu? Kalau di Inggris kan ada Raja,” ujar pendiri Perludem itu.

Dalam telaah pelaku sejarah sekaligus sejarawan Anhar Gonggong, sistem presidensial sudah sejak lama mendarah-daging dalam pemerintahan Indonesia. 

Fakta sejarah itu bisa dilacak mulai dari berbagai tulisan Soekarno di era 1930’an, naskah Pancasila 1 Juni dan penyusunan UUD 1945. Dengan presidensialisme, Soekarno melawan paham demokrasi liberal yang dibawa kolonial. 

Meski demikian, menurut Anhar, perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari presidensialisme menjadi parlementarisme karena campur tangan pemerintah Belanda tak terelakkan.

“Celakanya, ketika kita menghadapi persoalan keinginan imperialis Belanda untuk menguasai Indonesia, maka di situlah terjadi perubahan dari presidensial ke parlementer, akhirnya Sutan Sjahrir jadi Perdana Menteri,” ujarnya. 

Alih-alih terjebak pada perdebatan format sistem pemerintahan, Anhar mengatakan apa pun sistem yang dipilih harusnya memberi dampak kesejahteraan kepada rakyat. 

“Bentuk apa pun yang mau dipilih, yang harus ada dalam pikiran kita, adalah apakah bentuk itu akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat atau tidak. Intinya kan itu,” pungkas Anhar yang meraih master di Universitas Leiden, Belanda, ini. 

Indonesia pernah menerapkan sistem parlementer pada tahun 1949 – 1959. Sejumlah kalangan menyebut masa itu sebagai kejayaan demokrasi di Indonesia, karena representasi (perwakilan) dari hampir semua elemen demokrasi ditemukan di sana. 
 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI