Konsolidasi Perempuan Maksimalisasi Pemantauan dan Pengawasan Kebijakan
sinpo, Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia bukan sekedar organisasi yang menunjukkan kehadiran perempuan di lembaga legislatif. Lebih dari itu, Kaukus Perempuan Parlemen adalah wadah konsolidasi, baik bagi perempuan parlemen di DPR RI dan DPD RI, maupun perempuan parlemen di DPRD Provinsi, dan Kabupaten/Kota, untuk menguatkan pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional, dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam demokratisasi.
Demikian antara lain sambutan Presidium KPP-RI, Dewi Asmara, saat membuka Webinar “Optimalisasi Peran Perempuan Parlemen dalam Membangun Regulasi yang Inklusif di Tingkat Daerah,” (6/4). Kegiatan yang diselenggarakan secara daring melalui aplikasi Zoom meeting itu bertujuan untuk memperkenalkan mekanisme Post-Legislative Scrutiny (PLS), atau Pengawasan, Pemantauan dan Peninjauan Pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan. Mekanisme ini dapat ditempuh oleh anggota parlemen untuk mengidentifikasi kebijakan di daerah yang tidak responsif gender dan kemudian menawarkan solusi untuk mengurangi atau menghilangkan regulasi yang tidak responsif gender.
Dalam webinar yang diselenggarakan KPP-RI bekerja sama dengan Conservative-WFD ini, hadir dua narasumber ahli yang membincangkan bagaimana optimalisasi peran perempuan dalam perumusan dan pengawasan regulasi yang lebih inklusif. Yaitu, Dr. Al Khanif, Direktur the Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2), Universitas Jember dan Riri Khariroh, M.A., Komisioner Komnas Perempuan periode 2015-2019 / Direktur Aliansi Indonesia Damai.
Bertindak sebagai moderator adalah Dina Tsalist Wildana, S.H.I, LL.M, peneliti di the Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2), Universitas Jember. Adapun penanggap dalam webinar adalah Andina Theresia Narang Ketua KPP Kalimantan Tengah, Yuni Setia Rahayu Ketua KPP DIY, Rismawati Kadir Nyampa Ketua KPP Sulawesi Selatan, Ineu Purwadewi Ketua KPP Jawa Barat, dan Aida Ketua KPP Sumatera Barat. Forum ini tidak hanya menjadi ruang konsolidasi, tetapi juga menjadi ruang di mana KPP RI konsisten mendukung dan mendorong aleg perempuan di manapun untuk bisa berperan maksimal sebagai anggota parlemen.
Dalam paparannya, Al Khanif menyampaikan bahwa sebagai mekanisme yang relatif baru, pemantauan dan peninjauan peraturan perundang-undangan belum banyak dilakukan oleh DPRD, baik DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. “Ini menunjukkan bahwa DPRD kita masih belum bergeser dari paradigma law making,” ujar Al Khanif. Padahal, di banyak negara demokrasi, paradigma pembentukan regulasi baru sudah banyak ditinggalkan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota, mekanisme pelaksanaan fungsi pemantauan dan peninjauan peraturan perundang-undangan tersebut diselenggarakan sebagaimana pembentukan Perda pada umumnya. Dengan demikian, dalam tataran praktis tidaklah sulit untuk dilakukan. Bedanya, mekanisme PLS ini adalah bagian dari siklus pembentukan peraturan perundang-undangan yang dapat berkontribusi dalam usulan penyusunan program legislasi daerah.
Mekanisme PLS ini diharapkan menjadi salah satu pintu untuk mengevaluasi atau mereview kebijakan yang terindikasi diskriminatif. Riri Khariroh menyampaikan, temuan Komnas Perempuan pada 2016, terdapat setidaknya 421 kebijakan diskriminatif di berbagai daerah, antara lain yang mengkriminalisasi perempuan dan kelompok minoritas, mengatur moralitas, dan membatasi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Namun demikian, Riri menyatakan bahwa perubahan suatu regulasi, sekalipun hanya untuk mengubah satu kata atau dua kata yang terindikasi diskriminatif, tetap merupakan proses yang memakan waktu cukup panjang. Oleh karena itu, Riri menyarankan agar selain membangun konsolidasi antarperempuan parlemen, juga mendorong konsolidasi ekstraparlemen dalam rangka menghadirkan kebijakan yang inklusif terhadap perempuan.