Chatarina:Keluarga Mempunyai Peranan Penting Dalam Membentuk Karakter Anak Perempuan
sinpo,
Ibu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Franka Makarim menyatakan bahwa seorang superwoman adalah perempuan yang menyadari bahwa dirinya dapat melakukan apapun yang ia cita-citakan. Nilai-nilai kepemimpinan dalam diri seorang perempuan tercermin dari kepercayaan diri dan rasa tanggung jawab yang ia miliki.
Pada kesempatan ini, Franka Makarim mengungkapkan kisah masa kecilnya. Di mana saat berusia 9 tahun, ia dibesarkan oleh ibu dan neneknya karena sang ayah telah meninggal dunia. Keteladanan dan nilai tanggungjawab yang ditunjukkan oleh kedua wanita tersebut, diakui Franka telah menumbuhkan keyakinan dan rasa percaya dirinya untuk melakukan segala sesuatu dengan penuh tanggung jawab.
“Saya berterima kasih sekali pada Ibu saya yang telah membesarkan saya juga Eyang saya, yang dalam usia tuanya tetap aktif bekerja dan berorganisasi. Wanita-wanita inilah yang telah memberikan contoh dalam hidup saya, bahwa kita bisa melakukan apa yang kita mau dan bertanggungjawab. Baik itu di rumah bersama keluarga maupun dalam memberi dampak pada masyarakat,” jelas Franka yang juga sebagai pendiri label perhiasan Nusantara Tulola Jewelry.
Franka mengakui, secara global, makin banyak dukungan di antara sesama perempuan untuk terus maju menjalankan perannya. “Kita punya tanggung jawab sebagai istri, ibu, dan karyawan atau pekerja, misalnya. Ini laki-laki juga punya tanggungjawab pada keluarga dan pekerjaan. Bagaimana kita membagi tanggung jawab di rumah dan dalam pekerjaan, ini semoga bisa semakin dilakukan,” ujarnya.
Senada dengan itu, Irjen Kemendikbud, Chatarina Girsang mengatakan, bahwa superwoman adalah perempuan yang dapat melakukan apa saja di manapun posisinya saat ini. “Seorang superwoman harus percaya diri (bahwa) dia bisa mencapai cita-cita dan saya meyakini, perempuan dikaruniai Tuhan kemampuan mengerjakan segala sesuatu dalam waktu bersamaan, yaitu multitasking,” ungkap Chatarina.
Chatarina menyoroti pentingnya peran keluarga dalam membentuk karakter anak perempuan. “Sejak kecil, ayah saya mendidik anak-anak perempuannya untuk berani maju, bermanfaat bagi sesama, dan tidak perlu takut, asalkan kami bertindak sesuai prinsip yang benar. Tidak perlu juga takut bersaing dengan laki-laki, karena perempuan punya hati yang kuat dan luas untuk berbagi dengan sesama,” ungkap Chatarina.
Sementara itu, Staf Khusus Presiden Joko Widodo, Angkie Yudistia, menyoroti bahwa peran perempuan masih terkendala stigma yang ada di masyarakat, khususnya bagi perempuan difabel. Ia mengungkap kesulitan yang kerap dihadapi karena sebagai perempuan penyandang disabilitas, ia harus memakai alat bantu dengar. “Tetapi, bagi perempuan, hanya ada dua pilihan. Mau menyerah atau optimis? Alangkah sayangnya kalau kita menyerah,” ujar Angkie seraya mendorong kaum perempuan untuk juga menguasai teknologi dan literasi finansial di era modern ini.
“Kita harus punya pola pikir bagaimana beradaptasi dengan keterbatasan ini,” imbuh Angkie yang merupakan pendiri Thisable Enterprise itu.
Ditambahkan Chatarina, salah satu tantangan besar bagi perempuan sebagai pemimpin adalah dalam membagi waktu dan peran. Oleh karena itu, ia menuturkan bahwa perempuan harus mampu beradaptasi percaya diri, berani, dan memiliki empati pada sesama. “Ketika saya di rumah, saya melepaskan titel dan jabatan. Pengertian dan dukungan keluarga sangatlah penting. Sejak awal, suami dan anak-anak saya sangat mendukung, maka saya mampu berkiprah di Kemendikbud. Dengan kehadiran teknologi, kapanpun saya dapat berkomunikasi dengan keluarga,” terang Chatarina.
Menyambung pernyataan sebelumnya, Angkie juga menegaskan bahwa perempuan harus belajar menerima kondisi diri sendiri dan berdamai dengan perbedaan yang ada. “Berbeda itu tidak apa-apa. Justru dengan berbeda, lebih banyak nilai-nilai yang kita pelajari bersama. Perempuan dapat membangun cinta terhadap diri sendiri, dan kemudian bisa menumbuhkan rasa mencintai dan menyayangi sesamanya,” kata Angkie.
Salah satu isu besar dalam dunia pendidikan adalah perundungan (bullying) yang juga rentan dialami perempuan. Angkie Yudistia mengakui, peran keluarganya amat besar dalam membantunya mengatasi perundungan. “Sejak kecil, saya menerima stigma karena menyandang disabilitas. Tetapi saya beruntung tumbuh dalam lingkungan keluarga suportif. Saya diajarkan terus meningkatkan kemampuan diri dengan sekolah setinggi mungkin dan tidak membalas bullying dengan emosi,” jelas Angkie.
Senada dengan itu, Irjen Chatarina menyatakan bahwa anak-anak harus didorong agar menjadi berani dengan diberikan afirmasi terhadap karakter positif dan membangun kepercayaan diri. “Saya sering mengatakan pada anak saya, ‘Halo anak cantik, anak ganteng, anak pintar’. Itu bukan sekadar pujian, tetapi membangun kepercayaan diri bahwa mereka bukanlah seperti yang mereka pikirkan ketika mereka tidak percaya diri. Kita bisa mengajarkan pada anak kita bagaimana menyikapi bullying dengan menunjukkan diri tidak takut, dan kalau sesuatu membuat kita tidak nyaman, kita harus berani menyampaikan,” ujar Chatarina.
Ibu Mendikbud Franka Makarim menyatakan hal yang sama. Ia mengaku pernah mengalami perundungan di sekolah, dan ia menilai bahwa perundungan punya efek jangka panjang. Beruntung, saat itu belum ada yang namanya cyber-bullying (perundungan dunia maya) yang kini marak terjadi di antara peserta didik. Baginya, nilai di dalam keluarga itu yang dapat membantu menghadapi perundungan.
“Bagi saya dan Pak Nadiem, kami menekankan kepada anak-anak kami, bahwa siapa mereka dan nilai mereka sebagai manusia, tidak tergantung dari persetujuan orang, terutama di media online. Dan itu juga tanggung jawab kita sebagai orang tua yang harus semakin kita perdalam. Kita harus ingat bahwa peran kita adalah untuk memberikan ketangguhan dan nilai di dalam diri anak-anak kita,” tegas Franka.
Franka yakin, perempuan selayaknya berani untuk menyuarakan pilihan dan harapannya. Penting untuk mengkomunikasikan kemauan kita agar nilai kesetaraan dalam pekerjaan maupun keluarga dapat dirasakan. Termasuk mengutarakan keinginan dalam hal karir, seperti apakah ingin berkarya sebagai ibu rumah tangga di rumah atau mau mengikuti kursus, belajar lagi, atau mempunyai anak. “Mari kita menemukan suara kita agar dapat menyampaikan apa yang kita inginkan dengan cara yang baik, pada orang-orang yang dapat membantu kita mencapai itu,” tutup Franka

