Partai Demokrat dan Catatan Kelam Intervensi Kekuasaan Terhadap Partai Politik

Laporan: Lilis
Minggu, 07 Maret 2021 | 10:28 WIB
Agus Yudhoyono (Dok. Instagram)
Agus Yudhoyono (Dok. Instagram)

sinpo, Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat (PD) baru saja rampung digelar. Jenderal TNI Purnawirawan Moeldoko didapuk sebagai Ketua Umum terpilih. KLB yang memunculkan reaksi keras dari kepengurusan PD dibawah kepemimpinan Agus Harimurti Yoedhoyono (AHY) tersebut, pada akhirnya tetap terlaksana digelar.

Direktif Eksekutif ETOS Indonesia Institute Jakarta Iskandarsyah menilai peristiwa “intervensi” elit kekuasaan, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan menggunakan instrumen kekuasaan secara sembunyi ataupun terang-terangan, adalah catatan kelam penuh noda bagi perjalanan eksistensi partai politik di Indonesia.

"Betapa tidak, sejak era orde lama di masa kepemimpinan Soekarno, intervensi hingga bahkan pembubaran parpol pernah terjadi, dengan pendekatan kekuasaan tentunya," katanya dalam keterangannya, Minggu (7/3/2021).

Menurutnya, peristiwa “pembelahan” parpol yang tercatat dalam sejarah hitam praktik anti demokrasi, terjadi pada tahun 1996. Saat itu, dengan terang-terangan PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri yang dipilih dalam KLB PDI di Sukolilo, Surabaya tahun 1993 dianggap tidak memiliki legitimasi oleh beberapa kader dan pengurusnya. 

"Uniknya, reaksi terhadap legilitimasi Megawati saat itu justru dilakukan setelah momentum KLB lama berlalu dan pihak-pihak yang menyatakan bahwa kepemimpinan Mega tidak sah bahkan masuk dalam jajaran kepengurusan partai, baik pusat maupun daerah," katanya.

Atas ‘bantuan’ beberapa oknum kekuasaan saat itu, ia menjelaskam para pengurus partai yang tidak puas terhadap Megawati pada akhirnya berhasil menggelar KLB dan Surjadi yang pernah memimpin PDI sebelumnya, kembali muncul sebagai ketua umum.

"Dan PDI akhirnya terbelah. Bahkan peristiwa penyerbuan kantor DPP PDI yang dikenal sebagai Peristiwa 27 Juli tetap tidak mampu mempersatukan kembali PDI dan alih-alih malah memperkuat konsolidasi dukungan politik kepada Megawati," katanya.

Pasca jatuhnya Soeharto dan rezim orde baru, disaat Indonesia memasuki masa demokratisasi di era multipartai, ia menilai praktik “mengacak-acak” parpol sebenarnya masih kerap terjadi. Hanya saja cara yang ditempuh tidaklah terang-terangan. 

"Kekuasaan memanfaatkan kelemahan dasar parpol-parpol yang cenderung gagap dalam melakukan konsolidasi politik demi mencegah perpecahan yang biasanya muncul saat kongres atau muktamar partai," katanya.

Setelah pecahnya PAN pasca kongres partai 2020 yang kemudian melahirkan Partai Umat besutan pendiri PAN Amien Rais, ia menceritakan sebelumnya sempat berhembus kabar burung tentang adanya “dukungan” kekuasaan kepada Ketum PAN Zulkifli Hasan dalam kongres partai kala itu. 

"Begitu pula yang terjadi pada Partai Berkarya yang sempat beberapa bulan diambilalih oleh Moechdi PR dan kemudian dikalahkan oleh pengadilan dalam sengketa legitimasi partai," katanya.

Ia melanjutkan peristiwa yang lebih ekstrim terjadi dalam proses terlaksananya KLB PD yang memunculkan Moeldoko, figur non-organik yang berada dalam pusaran kekuasaan, sebagai ketua umum.

"Yang menarik, sama seperti peristiwa yang menimpa PDI tahun 1996, kader-kader partai yang menginisiasi KLB adalah kader-kader yang dikenal dekat dengan pendiri PD, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dan lebih menarik, mereka semua bahkan cenderung tidak bereaksi keras saat proses suksesi kepemimpinan PD dari SBY ke AHY," katanya.

Konsolidasi antar mereka justru terjadi belakangan, setelah Moeldoko “kepergok” mengumpulkan kader PD beberapa saat lalu. Dan sekalipun mendapat reaksi sangat keras dari kader dan pengurus PD pimpinan AHY, Moeldoko dan para anasir PD yang membelot terus melaju. Dan ujungnya adalah terlaksananya KLB.

Menurutnya, pertanyaan menariknya adalah, apa penyebab Moeldoko mau “membantu” kader-kader PD yang merasa tidak puas terhadap kepemimpinan AHY? Jabatan ketua umum sepertinya hanyalah sasaran antara. Seperti pisau bermata dua, peristiwa itu setidaknya memiliki dua perspektif. 

Pertama, ia menyebutkan adalah untuk melumpuhkan PD dengan menggiringnya masuk kedalam kekuasaan. Untuk tujuan itu, maka posisi ketum haruslah orang yang cukup “aman” bagi kekuasaan. 

"Setidaknya untuk mencegah perlawanan saat PD sudah didalam kekuasaan. Teori ini memperkuat asumsi bahwa ada skenario kekuasaan mengumpulkan seluruh kekuatan politik diatas panggung yang satu," katanya.

Walaupun, cara ini beresiko rubuhnya panggung karena kelebihan muatan.

Kedua, ia menilai pengambilalihan PD bagi Moeldoko adalah alat yang dianggap ampuh untuk memperkuat posisi politik dirinya dalam pusaran utama kekuasaan. 

"Posisi Ketum PD dapat dijadikan senjata menekan Jokowi dan meningkatkan posisi tawar dirinya. Hal ini menjadi penting mengingat Moeldoko hanya diberi pos Kepala Staf Presiden, lembaga yang tidak termasuk kedalam lembaga tinggi negara," katanya.

KLB sudah terlaksana, perlawanan dari kader PD dibawah kepemimpinan AHY dipastikan akan terus dilakukan. Dan akankah praktik kelam pengambilalihan parpol akan terus berlanjut? Mari kita saksikan terus.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI