BMKG Imbau Daerah Punya Sistem Peringatan Dini Bencana Seperti Aceh

Laporan: Tisa
Sabtu, 06 Maret 2021 | 12:26 WIB
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam acara Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Rakornas PB) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jumat (5/3/2021)
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam acara Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Rakornas PB) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jumat (5/3/2021)

sinpo, JAKARTA - Kearifan lokal atau local wisdom dianggap menjadi salah satu bagian dari sistem informasi peringatan dini potensi bencana yang harus tetap dirawat dan ditingkatkan di setiap daerah.

Sebab, upaya mitigasi bencana dan implementasi dari sistem peringatan dini tidak bisa hanya mengandalkan infrastruktur dan sarana prasarana yang dibangun dengan teknologi modern.

“Perlu perkuatan tentang local wisdom,” kata Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam acara Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Rakornas PB) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jumat (5/3/2021).

Dwikorita mencontohkan masyarakat Simeulue di Aceh yang sudah memiliki kearifan lokal mengenai ‘smong’ atau tsunami dalam bahasa daerah setempat.

Cerita dan informasi yang disampaikan secara turun-temurun melalui ’tutur’ oleh masyarakat Simeulue itu kemudian menjadi sistem peringatan dini yang baik bagi masyarakatnya, sehingga banyak yang selamat dari peristiwa Tsunami Aceh 2004 silam.

Menurut Dwikorita, sistem informasi peringatan dini dengan kearifan lokal tersebut juga lebih mudah diterima dan dipahami masyarakat. Harapannya, ini dapat mendorong masyarakat menjadi lebih mandiri.

“Yang ada di Aceh dan beberapa wilayah di Indonesia. Ketika (masyarakat) merasakan goyangan gempabumi saat berada di pantai sampai 10 - 20 hitungan, (mereka) terus saja lari ke tempat yang lebih tinggi. Tidak perlu lagi menunggu sirine dari BPBD,” katanya.

Dwikorita mencontohkan peristiwa Gempabumi dan Tsunami Palu 2018 yang menelan korban sebanyak 2.045 jiwa. Saat itu, kemunculan gelombang tsunami hanya berselang kurang lebih dua menit setelah adanya guncangan gempa.

Pada saat itu, sistem peringatan dini yang dimiliki BMKG baru mengeluarkan tanda bahaya pada menit keempat.

Menurut Dwikorita, korban jiwa seharusnya dapat ditekan apabila masyarakatnya juga memiliki pengetahuan dan pemahaman dari kearifan lokal yang kemudian diterapkan sebagai upaya mitigasi bencana.

Sebab, sistem peringatan dini berbasis tekonologi modern sekalipun masih belum cukup membantu masyarakat dalam mitigasi bencana. Perlu adanya aspek dari sisi kearifan lokal dan juga infrastruktur evakuasi yang memadai.

“Sehingga local wisdom itu yang harus dicanangkan,” tegas Dwikorita.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI