Joe Biden Presiden AS, Ketua MPR: Pemerintah Harus Bisa Manfaatkan untuk Kepentingan Nasional
sinpo, JAKARTA, Dengan terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden AS, yang kebijakan luar negerinya dipastikan berbeda dengan Donald Trump, baik ekonomi maupun politik, pemerintah Indonesia harus mampu memainkan peran politik bebas aktifnya untuk mengambil manfaat yang sebesar-besarnya untuk kepentingan negara.
“Indonesia ini seperti gadis cantik dan molek berusia 17 tahun, banyak diperebutkan oleh banyak negara. Tak terkecuali AS, China, Rusia dan lain-lain. Sehingga negara-negara tersebut merasa perlu untuk investasi di Indonesia,” tegas Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet).
Hal itu disampaikan Bamsoet saat membuka Forum Group Discussion (FGD) MPR RI bekerjasama dengan Brain Society Center, tentang ‘Politik Luar Negeri Joe Biden’ bersama Rektor Universitas Achmad Yani yang juga Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana, Makarim Wibisino (mantan Dubes RI untuk PBB), Alvan Alvian dan lain-lain, yang dihadiri oleh Sekjen MPR RI Ma’ruf Cahyono dan para undangan lainnya, di Gedung MPR RI Senayan Jakarta, Rabu (2/12/2020).
Harapan itu lanjut Bamsoet, memang tidak berlebihan karena Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan dianggap berpengaruh di kawasan Asia Tenggara. Namun, harapan itu harus tetap diperjuangkan. Apalagi, Indonesia bukan satu-satunya negara yang akan ambil manfaat dari Joe Biden, maka dibutuhkan kemampuan negosiasi yang handal dan tak boleh berdiam diri agar menghasilkan manfaat yang optimal.
Hanya saja kata Hikmahanto meski pilpres AS masyarakatnya terbelah, tapi kebijakan luar negeri AS tak akan banyak berubah dibanding sebelumnya. Sebab, pengelolaan pemerintahannya tak akan banyak dipengaruhi oleh politisi Partai Demokrat maupun Republik. “Para politisi bisa keluar-masuk setiap 8 tahun, tapi birorat pemerintah terjadi regenerasi dan berjalan dengan baik, sehingga manuver politisi akan terbatas,” jelasnya.
Karena itu kalaupun ada perubahan kebijakan menurut Hikmahanto, itu tak signifikan. Bahkan Indonesia pernah gagal memimjam uang ke AS di era Barack Obama, karena Amerika memang tidak punya uang. Alhasil, kemudian Indonesia bisa pinjam ke China, Jepang, dan negara-negara lain.
Hikmahanto mengakui jika Indonesia seperti gadis cantik dan molek 17 tahun, dan diikuti kelas menengah ekonomi yang terus tumbuh, kedua tak ada kompetitor yang mampu bersaing di luar negeri ditambah lagi referensi masyarakatnya gampang berubah. “Misalnya, dengan memperbanyak iklan saja perilaku masyarakat sudah mudah berubah. Seperti handphone, mobil, dan lain-lain,” kata Hikmahanto lagi.
Tapi, kenapa para investor justru lari ke Vietnam dan negara lain, karena kondisinya berbeda dengan era Orde Baru. “Dulu UU-nya sedikit, pemerintah daerah tunduk ke pusat, kemauan buruh tak seperti sekarang. Jadi, Indonesia ini menjadi pasar yang bagus, hanya saja bukan menjadi produksi. Makanya, investor hengkang ke luar negeri, tapi pasarnya tetap Indonesia. Nah, saat ini bagaimana mengembalikan Indonesia sebagai produksi sekaligus pasar agar membuka banyak lapangan kerja,” tambahnya.
Untuk itu kata Hikmahanto, pemerintah memperbaiki iklim investasi tersebut dengan lahirnya Omnibus Law UU Cipta Kerja. Tapi, akibat aparat pemerintah kurang bagus dalam berkomunikasi, maka menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Karena itu, dengan menjalankan politik bebas aktif, tidak berpihak, tetap berteman dengan AS dan China, maka investasi dari mana saja sepanjang untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat harus diterima.
“Kita bisa contoh China, dengan satu partai komunis dan tak ada demokrasi, tapi rakyatnya sejahtera. Artinya kesejahteraan itu tak harus dengan demokrasi,” pungkasnya.

