Jelang Nataru, BPOM Razia Pangan Ilegal dan Kedaluwarsa Senilai Rp42 Miliar

Laporan: Tio Pirnando
Jumat, 19 Desember 2025 | 12:26 WIB
Kepala BPOM Taruna Ikrar. (SinPo.id/dok. BPOM)
Kepala BPOM Taruna Ikrar. (SinPo.id/dok. BPOM)

SinPo.id - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melaksanakan Intensifikasi Pengawasan Pangan Jelang Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Nataru), selama periode 28 November hingga 31 Desember 2025. Hasilnya  hingga 17 Desember 2025, BPOM menemukan pangan ilegal, kedaluwarsa, dan rusak dari jalur distribusi offline dan online, yang nilainya lebih dari Rp42 miliar.

Kepala BPOM Taruna Ikrar menjelaskan, pengawasan dilakukan dengan pendekatan berbasis risiko, terutama pada sarana yang memiliki rekam jejak pelanggaran dan menjadi salah satu faktor yang memengaruhi peningkatan temuan tersebut. 

"Hasil pemeriksaan menunjukkan sebanyak 1.049 sarana (65,1 persen) telah memenuhi ketentuan (MK), sementara 563 sarana (34,9 persen) TMK," kata Taruna dalam keterangannya, Jumat, 19 Desember 2025. 

Taruna merincikan, sarana TMK tersebut terdiri dari 273 ritel tradisional (16,9 persen), 264 ritel modern (16,4 persen), 25 gudang distributor (1,6 persen), dan 1 gudang importir (0,06 persen).

Dibandingkan Inwas Nataru 2024, lanjut dia, jumlah sarana yang diperiksa pada 2025 menurun sebesar 46,2 persen. Namun, persentase temuan sarana yang tidak memenuhi ketentuan (TMK) meningkat dari 27,9 persen menjadi 34,9 persen.

BPOM mencatat temuan sebanyak 126.136 pieces pangan TMK. Jenis temuan terbesar adalah pangan olahan tanpa izin edar (TIE) sebesar 73,5 persen  (92.737 pieces), disusul pangan kedaluwarsa sebesar 25,4 persen (32.080 pieces), serta pangan rusak sebesar 1,1 persen (1.319 pieces). 

"Pangan TIE banyak ditemukan di wilayah kerja unit pelaksana teknis (UPT) BPOM Tarakan, Jakarta, Pekanbaru, Dumai, dan Tasikmalaya, khususnya di wilayah perbatasan dan toko oleh-oleh," ujarnya. 

Temuan produk tersebut didominasi produk impor asal Malaysia, Korea, India, dan Tiongkok, seperti minuman sari kacang, pasta dan mi, minuman serbuk coklat, krimer kental manis, serta olahan daging. 

Taruna menyatakan, kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak jalur masuk ilegal di wilayah perbatasan, menjadi tantangan dalam pengawasan.

"Produk ilegal banyak ditemukan di jalur tikus perbatasan, seperti Tarakan dan Dumai, sehingga sulit diawasi. Termasuk tingginya permintaan produk spesifik dari Malaysia dan Korea ditambah ketidaktahuan pelaku usaha akan regulasi, serta maraknya perdagangan melalui e-commerce, yang mempermudah distribusi produk ilegal secara luas tanpa pemeriksaan fisik," ujarnya.

Sementara itu, pangan kedaluwarsa banyak ditemukan di wilayah Kupang, Sumba Timur, Ambon, Bau-Bau, dan Kepulauan Tanimbar, dengan jenis produk antara lain minuman serbuk berperisa, permen, bumbu siap pakai, serta pasta dan mi. Sedangkan pangan rusak banyak ditemukan di Ambon, Mamuju, Sofifi, Balikpapan, dan Surabaya. Jenis pangan terbanyak yakni ikan dalam kaleng, susu kental manis, susu UHT, pasta, dan mi.

"Pangan rusak dan kedaluwarsa banyak terjadi di wilayah timur karena rantai pasok panjang. Sistem penyimpanan di gudang yang tidak benar (juga) dapat menyebabkan produk mudah rusak dan tertahan lama sehingga kedaluwarsa," jelasnya.

Selain pengawasan peredaran offline, BPOM juga mengawasi peredaran online melalui patroli siber pada 2.607 tautan penjualan pangan TMK di platform digital. 

Hasilnya, sebanyak 1.583 tautan (60,7 persen) menjual pangan TIE dan 1.024 tautan (39,3 persen) menjual pangan mengandung bahan berbahaya. Produk TIE tersebut mayoritas berasal dari Malaysia, Amerika Serikat, Italia, Turki, dan Uni Emirat Arab.

Nilai ekonomi temuan pangan TMK dari pengawasan offline diperkirakan mencapai Rp1,3 miliar, terdiri dari pangan TIE senilai Rp1 miliar, pangan kedaluwarsa Rp224 juta, dan pangan rusak Rp29 juta. Sementara itu, nilai ekonomi temuan dari patroli siber mencapai Rp40,8 miliar.

BPOM telah menindaklanjuti temuan tersebut melalui instruksi pengembalian produk kepada pemasok, pemusnahan produk TMK, serta pemberian sanksi administratif hingga proses hukum jika diperlukan.

BPOM juga berkoordinasi dengan Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) serta Kementerian Komunikasi dan Digital untuk melakukan penurunan konten penjualan produk ilegal.

Secara keseluruhan, Inwas Nataru 2025 menunjukkan adanya peningkatan kepatuhan pelaku usaha, seiring adanya pembinaan intensif oleh BPOM. 

"Kami mengimbau pelaku usaha untuk terus meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi dan memastikan keamanan produk pangan yang beredar di masyarakat," imbau Taruna.

Lebih lanjut, Taruna menyampaikan dampak kesehatan yang ditimbulkan dari pangan mengandung bahan kimia obat, seperti sildenafil sitrat. "Zat tersebut bisa mengakibatkan gagal ginjal, gagal jantung, bahkan kematian [jika tidak dikonsumsi secara tepat]. Sedangkan produk kedaluwarsa, bisa ditumbuhi bakteri dan mengakibatkan gangguan kesehatan. Begitupun produk rusak, bisa berdampak gangguan kesehatan karena mikroorganisme bisa masuk," terangnya.

Terkait maraknya hantaran bingkisan Nataru, Taruna berbagi tips memilih hampers yang benar dengan Cek KLIK (Cek Kemasan, Label, Izin edar, dan Kedaluwarsa). 

"Pelaku usaha jangan jual yang sudah ingin kedaluwarsa karena sampai ke penerima bisa sudah kedaluwarsa, rusak. Begitupun jual produk yang sudah ada nomor izin edar sebagai jaminan keamanan produk. Jangan tergiur dengan menjual produk yang TMK hanya untuk mengejar keuntungan," tegasnya.

BPOM juga menegaskan komitmennya dalam mendampingi pelaku usaha, termasuk UMKM, melalui berbagai program pembinaan dan fasilitasi. Langkah ini bertujuan agar produk pangan yang dihasilkan memenuhi ketentuan dan aman dikonsumsi masyarakat.

"Jelang Nataru ini risiko tinggi. Kami lakukan intensifikasi untuk pencegahan karena kita tidak ingin masyarakat keracunan, mengalami penipuan, dan hal lain yang tidak diinginkan," tutup Taruna.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI