DPR Ingatkan Etika Digital dan Donasi Darurat Bencana: Jangan Eksploitasi Korban
SinPo.id - Bencana alam yang melanda Aceh serta sejumlah wilayah di Sumatra menjadi sorotan DPR RI, tidak hanya dari sisi penanganan darurat di lapangan, tetapi juga tata kelola informasi dan penyaluran bantuan kemanusiaan. Dua anggota DPR dari komisi berbeda menekankan pentingnya etika digital, perlindungan korban, serta fleksibilitas aturan donasi di masa krisis.
Anggota Komisi I DPR RI Mahfudz Abdurrahman menegaskan bahwa situasi darurat bencana menuntut kedisiplinan semua pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga platform digital, dalam mengelola arus informasi. Ia menyoroti maraknya konten tidak etis di media sosial, seperti penyebaran video anak-anak korban bencana hingga narasi yang diduga dimanfaatkan untuk kepentingan komersial.
“Di tengah situasi darurat, arus informasi yang liar bisa memperburuk keadaan. Perlindungan anak dan keluarga terdampak harus menjadi prioritas, termasuk mencegah penyebaran foto atau data pribadi korban tanpa persetujuan,” ujar Mahfudz dalam keterangan tertulis yang dikutip Parlementaria di Jakarta, Sabtu 13 Desember 2025.
Mahfudz juga menekankan tanggung jawab penyelenggara platform digital untuk lebih patuh terhadap standar keselamatan pengguna, terlebih setelah terbitnya PP TUNAS terkait perlindungan anak di ruang digital. Menurutnya, platform harus cepat menurunkan konten hoaks dan berbahaya, serta tidak membiarkan algoritma mengorbankan keselamatan publik demi trafik dan klik.
Selain itu, ia mengimbau masyarakat agar tidak menjadikan bencana sebagai bahan sensasi. Distribusi informasi yang tidak akurat atau bersifat provokatif dinilai dapat mengganggu operasi kemanusiaan dan memicu kepanikan. Mahfudz juga mendorong pemerintah daerah dan aparat penanggulangan bencana memperkuat kanal komunikasi resmi, terutama di tengah maraknya manipulasi foto dan video berbasis kecerdasan buatan (AI).
“Pemerintah harus hadir di ruang digital setegas di lapangan. Informasi resmi harus cepat, jelas, dan mudah diakses untuk memotong ruang gerak hoaks,” tegasnya.
Sementara itu, dari sisi penyaluran bantuan, Anggota Komisi VIII DPR RI Dini Rahmania menyoroti pentingnya fleksibilitas aturan perizinan penggalangan dana di masa tanggap darurat. Ia menegaskan bahwa persyaratan izin tidak boleh sampai menghambat solidaritas warga dan kecepatan bantuan bagi korban bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
“Dalam keadaan darurat, yang utama adalah menyelamatkan nyawa. Mekanisme izin harus disesuaikan, dipermudah, dan jangan menghambat penyaluran bantuan,” kata Dini dalam keterangan tertulisnya.
Politisi Fraksi Partai NasDem itu menjelaskan bahwa kewajiban izin penggalangan dana memang diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1961 serta Permensos Nomor 8 Tahun 2021. Namun, ia menilai mekanisme perizinan saat ini kerap kurang responsif terhadap kondisi bencana, berpotensi memperlambat bantuan, bahkan menimbulkan risiko kriminalisasi relawan.
Dini mendorong pemerintah menyiapkan skema pengecualian prosedur izin atau mekanisme notifikasi cepat untuk donasi darurat, dengan kewajiban pelaporan setelahnya. Ia juga mengingatkan pemerintah daerah agar mengelola alokasi dana Rp4 miliar dari Presiden secara cepat, terukur, dan transparan sesuai kebutuhan mendesak masyarakat, seperti logistik, hunian sementara, dan layanan kesehatan.
“Pengelolaan harus cepat, namun tetap akuntabel. Regulasi jangan sampai menghalangi kedermawanan rakyat, tetapi tetap menjamin pertanggungjawaban,” ujarnya.
Kedua legislator sepakat bahwa di tengah krisis, fokus utama harus tertuju pada penyelamatan nyawa dan pemulihan warga terdampak. Etika digital yang kuat dan regulasi yang adaptif dinilai menjadi kunci agar ruang publik tidak dipenuhi disinformasi, sementara bantuan kemanusiaan dapat tersalurkan secara cepat dan tepat sasaran.
