Wamenkomdigi Soroti Ledakan Hoaks Berbasis AI
SinPo.id - Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, menilai pesatnya inovasi teknologi, terutama kecerdasan artifisial (AI), telah mengubah pola produksi hoaks menjadi jauh lebih canggih dan sulit dikenali.
Dia menyebut fenomena ini sebagai tantangan baru dalam menjaga ekosistem digital Indonesia yang dihuni ratusan juta pengguna.
“Video berbasis AI generatif sekarang makin halus. Bahkan para ahli pun kadang-kadang terkecoh,” ujar Nezar dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, 28 November 2025.
Menurut dia, kemajuan teknologi tersebut mempercepat laju hoaks di sektor kesehatan dan berbagai ranah lain yang bersinggungan dengan kepentingan publik.
Nezar menjelaskan ruang digital Indonesia kini menjadi arena interaksi yang sangat padat—dengan 143 juta pengguna media sosial dan 230 juta pengguna internet. Kepadatan itu, kata dia, diikuti lonjakan penyebaran hoaks yang disebutnya tidak lagi terbendung hanya dengan pendekatan teknis.
“Sepanjang 2024 terdapat 1.923 konten hoaks yang tertangani Kemkomdigi. Itu hanya puncak gunung es,” ungkapnya.
Dia menekankan, persoalan hoaks bukan hanya soal suplai konten menyesatkan, tetapi juga soal kerentanan psikologis dan sosial masyarakat.
“Seseorang mungkin tahu itu berita palsu tetapi tetap menyebarkannya karena motivasi partisan atau dorongan emosi,” ucap Nezar.
Dia pun merujuk temuan survei yang menunjukkan 11,9 persen responden mengakui pernah menyebarkan hoaks.
Dalam konteks eskalasi ancaman tersebut, Nezar menilai Indonesia membutuhkan architecture of trust yang dibangun lewat kolaborasi lintas sektor. Dia mendorong model pentahelix yang menghubungkan pemerintah, akademisi, komunitas masyarakat, pelaku usaha, dan media.
“Pemberantasan hoaks itu tanggung jawab bersama. Tak ada satu institusi pun yang bisa bekerja sendirian,” tegasnya.
Di sisi hulu, Nezar menempatkan literasi digital sebagai fondasi paling krusial. Peran pemeriksa fakta, kata Nezar, menjadi bagian penting dari mitigasi, terutama di tengah derasnya hoaks berbasis teknologi manipulatif.
“Literasi digital itu berkorelasi dengan kemampuan seseorang membedakan berita benar dan berita palsu,” imbuh dia.
“Stop, think, verify, and share. Kita bisa menciptakan ruang digital yang lebih aman dan sehat bagi kita semua,” tandasnya.
