Demokrat Minta Pemerintah Tak Terjebak 'Kejar Setoran' dalam Capai Target Penerimaan Negara
SinPo.id - Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Marwan Cik Asan meminta pemerintah mengambil langkah mitigasi yang tidak terjebak pada pola 'kejar setoran' jelang akhir 2025.
Demikian disampaikan Marwan menyoroti data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mencatat realisasi penerimaan pajak sampai akhir Oktober 2025 baru mencapai 70,2 persen dari proyeksi tengah tahun (outlook) yang sebesar Rp2.076,9 triliun atau 66,6 persen dari target yang dipasang di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp2.187 triliun.
Ia berkata, pengawasan terhadap wajib pajak besar dan sektor yang tetap tumbuh jauh lebih efektif dibandingkan menekan usaha yang justru sedang berjuang untuk bertahan.
"Pemerintah perlu menempuh langkah mitigasi yang lebih strategis dan tidak terjebak pada pola 'kejar setoran' di penghujung tahun anggaran," kata Marwan dalam keterangannya kepada wartawan pada Rabu, 26 November 2025.
Ia memandang, potensi shortfall penerimaan pajak 2025 perlu menjadi perhatian serius pemerintah dan pemangku kepentingan lain. Pasalnya, penerimaan negara bukan pajak juga diperkirakan terkoreksi karena harga komoditas yang melemah.
Menurutnya, situasi ini dapat berimplikasi langsung pada proyeksi pelebaran defisit APBN dan peningkatan kebutuhan pembiayaan melalui penambahan utang.
Marwan bilang, berbagai catatan dari Kemenkeu itu menunjukkan bahwa ruang fiskal pemerintah yang di awal ditopang penerimaan pajak, PNBP, dan pertumbuhan ekonomi mulai tergerus. Di saat bersamaan, lanjut dia, kebutuhan belanja negara tetap tinggi.
"Pemerintah tetap memprioritaskan program sosial, pembangunan infrastruktur, ketahanan pangan, dan pelayanan publik. Namun realitas fiskal menuntut agar prioritas itu dijalankan dengan strategi yang matang dan keberanian mengambil koreksi jika diperlukan," ucap Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR RI itu.
Oleh karena itu, ia berharap pemerintah tidak terjebak dalam logika bahwa rasio di bawah 60 PDB akan membuat situasi menjadi aman.
Marwan bilang, politik fiskal yang sehat bukan diukur oleh kedekatan dengan ambang batas legal, melainkan kedisplinan dalam mengelola ruang fiskal untuk generasi berikutnya.
Di sisi belanja, dia menyampaikan, pemerintah perlu memiliki keberanian politik untuk melakukan reprioritasi.
Menurutnya, program yang tidak kritikal dan tidak memiliki dampak langsung ke masyarakat harus ditunda atau dikoreksi, agar pelebaran defisit tidak harus selalu ditutup dengan menambah utang baru.
"Penggunaan Saldo Anggaran Lebih dapat dipertimbangkan sebagai bantalan fiskal, asalkan dilakukan secara terukur serta disertai komitmen jelas untuk mengembalikan disiplin fiskal pada tahun-tahun berikutnya," tuturnya.
Ia juga mendorong, strategi pembiayaan yang konservatif tetap dijaga, termasuk memperbesar porsi utang jangka panjang berdenominasi rupiah dan memanfaatkan momentum pasar untuk buyback surat utang jika diperlukan.
Namun begitu, Marwan mengingatkan, krisis fiskal terbesar bukanlah defisit sementara, melainkan ketergantungan panjang terhadap penerimaan yang bersumber pada komoditas dan insentif fiskal.
Menurutnya, basis pajak perlu diperluas secara berkeadilan dengan menjangkau sektor-sektor yang selama ini relatif belum tersentuh, termasuk ekonomi digital, aktivitas kekayaan tinggi, serta konsumsi kelas menengah atas.
"Reformasi perpajakan harus dijalankan sebagai bagian integral dari industrialisasi dan hilirisasi bernilai tambah, bukan sekadar penyesuaian administratif," ucap Marwan.
Ia menambahkan, pemerintah juga perlu memastikan defisit dikelola dengan penuh tanggung jawab dan tambahan utang diarahkan untuk kegiatan produktif.
"Jika langkah-langkah perbaikan dilakukan secara konsisten, potensi shortfall pajak 2025 akan menjadi titik balik menuju tata kelola fiskal yang lebih transparan, kuat, dan berkelanjutan," kata Marwan.

