Pemerintah diminta Segera Tuntaskan Konflik Agraria
SinPo.id - Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), meminta agar pemerintah dalam hal ini Pansus Penyelesaian Konflik Agraria DPR RI dan Presiden Prabowo menuntaskan konflik Agraria. Komite yang terdiri dari aliansi berbagai organisasi masyarakat sipil di Indonesia itu mengecam dan mengutuk keras kasus penembakan terhadap lima orang petani Pino Raya, Bengkulu Selatan, Senin, 24 November 2025.
“Kami minta Pansus Penyelesaian Konflik Agraria DPR RI dan Presiden Prabowo segera bertindak tuntaskan konflik agrari,” ujar juru bicara KNPA, Dewi Kartika, dalam pernyataan resmi, 26 November 2025.
Dewi yang juga Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai kasus kekerasan yang dialami sejumlah petani, termasuk terbaru petani Pino Raya sebagai akar persoalan belum terselesaikan konflik agraria yang selama ini terjadi.
Ia mengatakan kasus itu juga bukan satu-satunya yang terjadi dalam sebulan terakhir. Ia mencatat sedikitnya terjadi sembilan kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap para petani, masyarakat adat dan para pejuang hak atas tanah.
“Baik yang dilakukan aparat kepolisian maupun pihak keamanan perusahaan. Mereka mengalami kekerasan dan kriminalisasi karena berjuang mempertahankan hak atas tanahnya dari perampasan perusahaan negara dan swasta, maupun untuk kepentingan Proyek Strategis Nasional (PSN),” ujar Dewi menjelaskan.
Tercatat, selain kasus Pino Raya, para petani di Cot Girek, Aceh Utara juga mengalami kriminalisasi akibat berkonflik dengan PTPN IV. Empat orang petani secara tiba-tiba ditetapkan sebagai tersangka karena dituduh melakukan kekerasan. Di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, 15 orang petani Serikat Tani Kerakyatan Sumedang (STSK) mengalami kriminalisasi akibat berkonflik dengan PT Subur Setiadi. Pihak perusahaan berdalih para petani melakukan pengrusakan tanaman perusahaan.
Sedangkan di Cianjur, Jawa Barat, masyarakat dihadapkan ancaman perampasan tanah akibat rencana pembangunan PSN Geothermal milik PT Dayamas Geopatra Pangrango. Mereka sejak awal tahun terus mendapat intimidasi dan kekerasan dari aparat gabungan.
“Selain itu di Kendal, Jawa Tengah, dua orang petani mengalami kriminalisasi. Dua orang petani Paguyuban Petani Kawulo Alit Mandiri dan tokoh paguyuban dikriminalisasi oleh PT Soekarli,” ujar Dewi menambahkan
Ia juga menyebut di Jawa Timur, seorang petani di Ijen, Kabupaten Bondowoso dijemput paksa (kriminalisasi) berkaitan dengan konflik agraria antara warga dengan PTPN XII. Selain itu di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, sedikitnya 14 orang warga dan aktivis mahasiswa dikriminalisasi akibat melakukan protes terhadap operasi perusahaan perkebunan PT Sawindo Cemerlang yang merampas tanah masyarakat.
Sedangkan di Sumatera Utara, kekerasan dan kriminalisasi terjadi di dua tempat dalam waktu yang berdekatan, yakni di Kabupaten Dairi dan Toba Samosir akibat konflik agraria antara warga dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan PT Gruti.
Menurut Dewi, rentetan kasus ini membuktikan Pansus PKA DPR RI yang telah dibentuk pada 2 Oktober 2025 lalu belum bekerja.
Rentetan represif dan kekerasan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir di berbagai wilayah merupakan sinyal DPR RI dan Presiden belum serius menjalankan reforma agraria.
“Itu alasan kami mendesak Pansus PKA segera bekerja melakukan evaluasi terhadap penanganan konflik agraria dan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia,” katanya.
Dewi mengingatkan Pansus PKA harus segera diaktifkan dan bekerja secara efektif untuk menginventarisasi, memverifikasi, dan merekomendasikan penyelesaian konflik yang melibatkan perusahaan sawit seperti di Bengkulu Selatan, Sumedang, Kendal dan Banggai. Termasuk BUMN seperti PTPN di Aceh Utara dan Ijen, HTI perusahaan swasta di Dairi dan Toba Samosir serta proyek-proyek energi yang mengakibatkan perampasan tanah masyarakat seperti Geothermal Pangrango.
